|
MEDIA
INDONESIA, 25 Juni 2013
PEMERINTAH telah memutuskan
penaikan harga BBM. Masalah belum selesai karena di masa datang akan perlu lagi
membuat keputusan serupa. Sebagai pembelajaran ada yang luput dalam
pertimbangan pembuatan keputusan.
Di antaranya tentang kebijakan penyesuaian upah buruh dan pegawai rendah, opsi
pengurangan subsidi secara bertahap, dan opsi penerapan subsidi dalam jumlah
tetap dengan harga BBM mengambang.
Sabtu (22/6), harga BBM di nyatakan naik. Premium dinaikkan
44% dari Rp4.500 menjadi Rp6.500 per liter dan solar dinaikkan 22% dari Rp4.500
menjadi Rp5.500 per liter. Suatu kenaikan yang cukup besar yang mau tidak mau
akan berdampak terhadap harga bahan pokok dan harga komoditas pada umumnya.
Kalaulah kenaikan hargaharga semata memperhitungkan
kenaikan komponen biaya yang berhubungan dengan BBM mungkin dampaknya tak akan
begitu besar dan mudah dihitung. Pengalaman di masa lalu penaikan harga BBM direspons
dengan reaksi yang berlebihan oleh tiap-tiap jenis penyedia komoditas sehingga
kenaikan harga tidak semata kandungan BBM dalam biaya, tapi lebih dari itu.
Karena harga hampir semua komoditas naik, penaikan harga
BBM tidak hanya berdampak terhadap biaya transportasi, tetapi juga terhadap
biaya hidup lainnya secara keseluruhan. Salah satu alasan pokok pengurangan
subsidi yang dikemukakan Menteri Keuangan Chatib Basri beberapa waktu lalu
adalah karena yang lebih banyak menikmati subsidi tersebut adalah orang kaya.
Dengan mengurangi subsidi BBM, beban biaya (transportasi) orang kaya memang
akan naik, tetapi karena harga komoditas naik, orang yang kurang berpunya
bahkan orang miskin yang sama sekali tidak mengonsumsi BBM akan terkena
getahnya.
Kenapa? Karena mereka harus menanggung kenaikan biaya hidup, sedangkan tidak
ada kebijakan atau keputusan tentang keharusan penyesuaian gajiupah atau UMR
yang dibuat pemerintah bersamaan dengan keputusan tentang BBM. Mereka mengalami
pemiskinan, sesuatu yang tidak adil, tentu.
Luput dari
pertimbangan
Beberapa minggu terakhir, kita melihat banyak terjadi demo
mahasiswa dan juga masyarakat umum baik di pusat maupun di daerah yang menolak
penaikan harga BBM (pengurangan subsidi). Ketika sidang paripurna DPR digelar,
fraksi-fraksi yang tidak menyetujui APBN-P mengemukakan alasannya karena
penaikan harga BBM akan membebani masyarakat berpenghasilan rendah dan masalah
tersebut tak dapat diatasi hanya dengan BLSM.
Pertanyaan yang timbul apakah demo mahasiswa dan masyarakat
sungguh karena menolak penaikan harga BBM? Ataukah sebenarnya dapat menerima
kenaikan, asal disertai keputusan tentang penyesuaian gaji-upah dan UMR? Begitu
pula fraksi-fraksi yang tidak p menye tujui APBN-P, apakah m mereka menolak
penaikan harga BBM? Atau dapat menerimanya jika ada keputusan bagaimana
mengompensasi beban dampak penaikan har ga BBM yang dialami masyarakat? Hal
inilah yang luput dari pertimbangan pemerintah dan DPR serta juga terlewatkan
dalam begitu banyak bahasan media.
Pengalaman masyarakat pada setiap penaikan harga BBM dalam
jumlah besar, selalu terjadi kenaikan harga bahan pokok dan komoditas pada
umumnya, yang tidak dibarengi keputusan penyesuaian gaji-upah dan UMR sehingga
masyarakat berpenghasilan rendahlah yang paling berat terbebani.
Ketika mempertimbangkan penaikan harga BBM, Menteri Tenaga
Kerja atau pihak lainnya yang membicarakan penyesuaian UMR tidak pernah
terdengar dan terlihat keterlibatan mereka. Ini dilihat sebagai tidak adanya
upaya memberikan perlindungan kepada kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.
Bagi kelompok masyarakat yang tidak menjadi pegawai atau buruh, tentu (insya
Allah) ada kesempatan untuk merespons penaikan harga BBM dengan menyesuaikan
harga produk atau jasa.
Hal lain yang kiranya terluput dari pertimbangan keputusan
adalah mengenai tahapan pengurangan subsidi. Untuk premium, pemerintah
memutuskan mengurangi subsidi sebesar Rp2.000 sekaligus dalam satu tahap. Opsi
lain adalah mengurangi subsidi dalam beberapa tahap seperti yang ditempuh untuk
kenaikan harga listrik, misalnya dengan menaikkan maksimum 5% atau Rp250 per
liter setiap tahap dengan tahapan setiap 2 atau 3 bulan. Dengan kenaikan yang
tidak begitu besar yang juga sudah sering terjadi pada harga pertamax,
penyesuaian harga komoditas tentu akan berlangsung lebih mulus dan lebih bisa
dikendalikan dan reaksi berlebihan (over
reactive) oleh sektor pengguna dapat dihindari. Jika hal ini ditempuh,
penyesuaian harga BBM tentunya (pengurangan subsidi) bisa berlangsung terus
sampai subsidi menjadi tidak ada dalam 3 atau 4 tahun ke depan.
Yang juga terluput dari pertimbangan adalah antara memilih
subsidi tetap atau memilih harga tetap. Keputusan yang dibuat pemerintah adalah
harga tetap, yang dipatok pada angka seperti tersebut di atas. Dengan harga
tetap, pemerintah memberikan subsidi per liternya akan berubah ubah mengikuti
perubahan harga minyak mentah atau harga minyak dunia. Kalau harga minyak
mentah atau minyak impor naik, besar subsidi akan bertambah. Dalam hal ini,
risiko kenaikan harga minyak dunia akan menjadi beban pemerintah (APBN) dan
penurunan harga minyak dunia akan menjadi `keuntungan' berkurangnya nilai
subsidi.
Opsi yang luput dipertimbangkan adalah menerapkan subsidi
tetap, misalnya untuk sekarang (setelah kenaikan) sebesar Rp2.500 per liter
premium. Dengan opsi ini, harga premium menjadi mengambang dan selanjutnya akan
mengalami kenaikan atau penurunan mengikuti tren harga minyak mentah. Ini akan
membuat masyarakat belajar dan menjadi terbiasa dengan perubahan harga BBM
seperti yang sudah terjadi pada pertamax.
Karena penyedia BBM bersubsidi seluruhnya dilakukan
Pertamina, secara teknis dan administratif penerapan subsidi tetap dan harga
mengambang dapat dilakukan dengan mudah. Manfaat menerapkan subsidi tetap dan
harga mengambang untuk premium dan solar adalah memberikan kesempatan
pengurangan subsidi secara bertahap dengan lebih mulus. Mengapa? Karena
pemerintah dapat mengatur pengurangan subsidi yang agak besar ketika harga
minyak mentah turun, dan jika keadaan memerlukan, tidak melakukan pengurangan
subsidi ketika harga minyak mentah naik. Di samping itu, kalau pun menempuh
harga tetap pada akhirnya nanti ketika subsidi sudah hapus semua, yang akan
terjadi juga harga mengambang.
Keputusan harga BBM yang baru dibuat ini masih menyisakan
masalah ke depan karena masih ada subsidi sekitar Rp2.500 lagi untuk per liter
premium dan sekitar Rp3.500 lagi untuk per liter solar (ini pun dengan asumsi
harga minyak mentah tidak naik). Dengan pertimbangan bahwa perkiraan ke depan
harga minyak makin naik, konsumsi sebagian besar harus diimpor. Menyubsidi BBM
itu pada hakikatnya menyubsidi emisi CO2 dan merupakan `musuh' pengembangan
energi ter barukan. Karena itu, subsidi adalah suatu `penyakit' energi dan
ekonomi menahun yang harus kita sembuhkan.
Kita sudah banyak mendengar bahwa pengurangan subsidi
sampai habis itu adalah sesuatu yang memiliki dasar ilmiah. Dampak pengurangan
subsidi juga memiliki jalan untuk meminimumkannya dan jika pun terjadi
seharusnya dipisahkan sebagai masalah tersendiri, dihadapi, dan dicarikan jalan
keluarnya (bukan dielakkan). Percayalah untuk bangsa kita pengurangan subsidi
itu hanya sedikit ketidakenakan yang akan membawa banyak nikmat di masa depan.
Saat ini, konsumsi minyak bumi masih sekitar 45% dari
konsumsi energi primer nasional dan konsumsi energi transportasi sekitar 30%
dari konsumsi energi primer. Idealnya penggunaan BBM hanya untuk transportasi,
ditambah sedikit untuk kelistrikan dan rumah tangga. Jika sebagian BBM
transportasi menggunakan BBN, tantangan kita adalah mewujudkan pengurangan
konsumsi BBM menjadi 30% saja dari total energi primer. Pemerintah perlu be
kerja keras untuk menyubstitusi penggunaan BBM di luar sektor transportasi
(kelistrikan, industri dan rumah tangga) yang masih sangat besar.
Untuk mewujudkan ketahanan energi yang lebih baik, seperti
saya tulis sebelumnya (`Perlu Konsensus
Nasional Untuk Ketahanan Energi', Kompas, 27 Mei), hendaknya sebelum Pemilu
2014 dapat dicapai konsensus nasional untuk mengurangi subsidi BBM dan juga
listrik secara bertahap sampai habis. Dengan demikian, subsidi tidak lagi
menjadi pertentangan politik antara pemerintah dan partai-partai oposisi yang
menghabiskan banyak energi. Siapa pun pemerintah baru nantinya tinggal
melaksanakan keputusan dengan beban yang lebih ringan dan dapat lebih fokus
mengisi pembangunan di berbagai bidang yang sangat banyak diperlukan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar