|
KORAN
SINDO, 26 Juni 2013
Bagi yang pernah merasakan tidak nyamannya bernapas dalam
udara bercampur asap polusi, apalagi polusi karena barang terbakar (disebut haze), mereka akan paham mengapa
Singapura dan Malaysia menetapkan keadaan darurat di negerinya minggu lalu dan
minggu ini.
Di tataran individu, mata terasa pedih, napas sesak, pandangan terbatas, bahkan bagi yang usia lanjut, hamil atau anak-anak akan berisiko tinggi terganggu kesehatannya. Di tataran negara, gangguan tadi menunda sejumlah kegiatan ekonomi yang artinya pemasukan negara tercekat juga. Tentu bisa dipahami ketika kemudian Singapura dan Malaysia bersikukuh meminta Indonesia mencari jalan keluar yang tuntas bagi masalah ini.
Yang mengganjal di benak saya adalah bahwa diskusi soal polusi asap ini sebenarnya seperti lagu lama yang terus diputar sehingga cenderung membosankan daripada memberi angin segar. Ketika saya telusuri apa saja hal-hal yang sudah pernah dibahas antara Indonesia dengan negara-negara tetangganya mengenai haze, ternyata hampir semua aspek sudah pernah dibahas. Usia pembahasan pun hampir memasuki 20 tahun! Jadi, apa yang membuat solusi atas masalah haze ini terkesan “jalan di tempat”? Pertama-tama mari kita lihat perspektif atas solusi yang diusulkan.
Karena Singapura yang paling getol menekan Indonesia, mari kita tinjau perspektif mereka. Singapura merasa paling dirugikan oleh proses pencarian solusi yang menurut mereka terlalu lamban. Di dalam negeri, pemerintah Singapura diolok-olok oleh sejumlah kalangan karena dianggap terlalu lembek kepada Indonesia, padahal jelas kerugian materiil yang dialami Singapura terbilang besar.
Menurut Pemerintah Singapura, Pemerintah Indonesia bisa berbuat jauh lebih banyak dengan jauh lebih cepat. Dengan teknologi satelitnya yang canggih, Singapura merasa bahwa kebakaran hutan dapat dengan mudah terdeteksi dan dihentikan sedini mungkin. Mereka mengutip hasil kerja sama Indonesia-Singapura di Muaro Jambi yang berhasil mendeteksi titik api sehingga daerah tersebut bebas dari kebakaran meskipun cuaca kering.
Studi dari Helena Varkkey dari Universiti Utara Malaysia mencatat jejak upaya-upaya Singapura untuk mendesakkan sejumlah solusi hazeini kepada Indonesia, ASEAN, bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Tidak bisa disangkal, Singapura ingin ada tekanan yang lebih besar dan sistematis dari negara-negara kawasan dan dunia kepada Indonesia untuk tidak mengecilkan masalah hazeini.
Di ASEAN, Singapura mendesakkan sejumlah agenda dialog di tingkat menteri lingkungan hidup dan menteri luar negeri sehingga dihasilkan Kuala Lumpur Accord on Environment and Development 19 Juni 1990, ASEAN Cooperation Plan on Transboundary Pollution 1995, Regional Haze Action Plan 1997, dan Hanoi Plan of Action yang mendesakkan agar Action Plan tadi bisa terlaksana paling lambat tahun 2001, serta lahirnya Agreement on Transboundary Haze Pollution.
Secara umum tujuan dari semua kesepakatan tadi adalah mulia. Intinya bahwa negaranegara yang menandatangani kerangka kerja sama tersebut berjanji untuk melakukan harmonisasi upaya-upaya pencegahan dan pengurangan dampak negatif dari haze. Kesepakatan Transboundary Haze Pollution mengarah pada pembentukan ASEAN Center yang fungsinya memfasilitasi kerja sama dalam mengendalikan dampak haze, termasuk untuk menerima laporan dari national monitoring center (pusat pemantauan nasional) di tiap negara seputar titik api dan kemungkinan bentuk penanganan yang diusulkan negara pengirim asap.
Kenyataannya Pemerintah Indonesia sampai sekarang belum mau menandatangani Kesepakatan Transboundary Haze Pollution tadi. Menuding bahwa Pemerintah Indonesia tidak kompeten atau keras kepala bukanlah solusi. Menekan Pemerintah Indonesia lebih keras dengan pernyataan yang tidak diplomatis pun justru akan kontraproduktif. Kenyataannya Indonesia sebenarnya peduli pada masalah haze ini. Kepedulian ini bukan semata karena tekanan negara-negara tetangga, tetapi karena Indonesia merasa membutuhkan solusi demi kepentingan domestik sendiri.
Di Indonesia, perkebunan sawit yang kerap dituding sebagai sumber masalah haze adalah penghasil devisa negara nonmigas yang signifikan. Dengan besaran lahan dan kecocokan tanah, Indonesia adalah produsen minyak sawit terbesar di dunia. Penghasilan Indonesia selama 5 tahun terakhir meningkat pesat karena pesanan dari China dan Pakistan terus meningkat.
Momen menjelang hari raya adalah kegembiraan bagi produsen sawit karena permintaan akan minyak goreng, kue-kue, dan kosmetik melonjak sehingga kuantitas penjualan minyak sawit pun meningkat. Jadi, bisnis penanaman kelapa sawit adalah bisnis yang menguntungkan. Karena keuntungan tersebut, Pemerintah Indonesia menganggap perlu untuk menetralkan kritik-kritik tajam yang selama ini sering sekali terarah pada produsen sawit.
Kementerian Pertanian dan Kementerian Perkebunan, didukung juga oleh Dewan Sawit Nasional dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, menyepakati bahwa perlu ada penegakan hukum yang konsisten akan standar-standar perkebunan sawit yang ramah lingkungan dan berkelanjutan (sustainable). Ada paket aturan ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) yang wajib dipatuhi semua petani dan pengusaha sawit yang beroperasi di Indonesia dan ada paket aturan RSPO (Rountable of Sustainable Palm Oil) yang sifatnya sukarela, tetapi standarnya diakui secara internasional.
Praktik membakar hutan untuk membuka lahan diharamkan oleh ISPO maupun RSPO. Para petani sawit mandiri pun sangat sering mendengar aturan-aturan tersebut walaupun memang penegakannya belum semudah membalikkan telapak tangan. Menyadari kesulitan meredam naluri pembukaan “ladang bisnis” dengan cara bertanam sawit, Pemerintah Indonesia memilih untuk memperpanjang moratorium pembukaan lahan bagi keperluan perkebunan sawit, khususnya di lahan gambut.
Artinya Pemerintah Indonesia sudah berupaya membangun mekanisme penegakan standar perkebunan sawit. Untuk mengurangi tudingan “cari untung” dan demi mengakomodasi kepentingan otonomi daerah, pemerintah pusat membagi-bagi jatah mengeluarkan izin pembukaan lahan sawit. Untuk luas lahan kurang dari 25.000 hektare, bupati yang mengeluarkan izin pengolahan lahan, sementara untuk lahan 25.000–50.000 hektare, gubernur yang mengeluarkan izin.
Untuk ukuran lahan lebih besar dari 50.000 hektare dibutuhkan izin dari pemerintah pusat. Artinya, mengikat pemerintah pusat dengan kesepakatan di tingkat ASEAN tidak berarti mengikat pemerintah daerah karena pembagian otonomi tadi. Dengan demikian jika Singapura atau ASEAN ingin mencari solusi permanen untuk masalah haze ini, perlu dicari jalan keluar yang sejalan dengan insentif yang dibutuhkan pemerintah dan pelaku usaha sawit di Indonesia.
Percuma jika berputar-putar pada wacana “tanggung jawab negara” karena implementasi peraturan apa pun terkait sawit terletak di banyak tangan. Secara teoretis mungkin betul apa pun yang terjadi negara harus bisa bertanggung jawab atas apa pun yang dilakukan perusahaan dan individu yang beroperasi di negaranya, tetapi dalam praktiknya negara tidak bisa dianggap dewa pengatur segala yang kemudian layak diberi hukuman (penalty) ketika ada warganya yang melanggar hukum.
Jangan lupa banyak juga dari pemilik lahan sawit adalah perusahaan-perusahaan asing, termasuk dari Malaysia. Singapura pun tak bisa cuci tangan dengan menempatkan diri mereka semata sebagai korban karena sejumlah perusahaan sawit terbesar yang beroperasi di Indonesia melakukan listing di bursa saham Singapura. Artinya Singapura diuntungkan juga oleh pajak dan kegiatan perdagangan mereka yang “mampir” di Singapura. Kita harus kembalikan segala hal pada proporsinya.
Mengelola lahan sawit di wilayah seluas Indonesia bukanlah hal yang sederhana, apalagi jika ada konsekuensi hukum yang harus dihadapi Indonesia ketika menandatangani perjanjian Transboundary Haze Pollution. Karena sektor sawit menyangkut hajat hidup banyak orang, Pemerintah Indonesia harus berpikir panjang sebelum mengikat diri pada aturan regional yang berisiko pada praktik dunia usaha di sektor perkebunan. Satu hal yang perlu dipertimbangkan adalah bisnis sawit sangat ditentukan oleh harga pasaran sawit.
Sampai saat ini tidak ada insentif harga bagi petani dan pebisnis sawit yang menerapkan kebijakan “bebas dari membakar hutan”. Tidak ada harga premium bagi produk sawit yang ditanam dan diolah dengan ramah lingkungan. Harganya sama saja dengan yang tidak ramah lingkungan. Jika negara-negara ASEAN bisa memikirkan cara memberi insentif pada pengusaha sawit, baik yang besar maupun yang kecil, ada nuansa dialog seputar haze yang mudah-mudahan lebih produktif. ●
Di tataran individu, mata terasa pedih, napas sesak, pandangan terbatas, bahkan bagi yang usia lanjut, hamil atau anak-anak akan berisiko tinggi terganggu kesehatannya. Di tataran negara, gangguan tadi menunda sejumlah kegiatan ekonomi yang artinya pemasukan negara tercekat juga. Tentu bisa dipahami ketika kemudian Singapura dan Malaysia bersikukuh meminta Indonesia mencari jalan keluar yang tuntas bagi masalah ini.
Yang mengganjal di benak saya adalah bahwa diskusi soal polusi asap ini sebenarnya seperti lagu lama yang terus diputar sehingga cenderung membosankan daripada memberi angin segar. Ketika saya telusuri apa saja hal-hal yang sudah pernah dibahas antara Indonesia dengan negara-negara tetangganya mengenai haze, ternyata hampir semua aspek sudah pernah dibahas. Usia pembahasan pun hampir memasuki 20 tahun! Jadi, apa yang membuat solusi atas masalah haze ini terkesan “jalan di tempat”? Pertama-tama mari kita lihat perspektif atas solusi yang diusulkan.
Karena Singapura yang paling getol menekan Indonesia, mari kita tinjau perspektif mereka. Singapura merasa paling dirugikan oleh proses pencarian solusi yang menurut mereka terlalu lamban. Di dalam negeri, pemerintah Singapura diolok-olok oleh sejumlah kalangan karena dianggap terlalu lembek kepada Indonesia, padahal jelas kerugian materiil yang dialami Singapura terbilang besar.
Menurut Pemerintah Singapura, Pemerintah Indonesia bisa berbuat jauh lebih banyak dengan jauh lebih cepat. Dengan teknologi satelitnya yang canggih, Singapura merasa bahwa kebakaran hutan dapat dengan mudah terdeteksi dan dihentikan sedini mungkin. Mereka mengutip hasil kerja sama Indonesia-Singapura di Muaro Jambi yang berhasil mendeteksi titik api sehingga daerah tersebut bebas dari kebakaran meskipun cuaca kering.
Studi dari Helena Varkkey dari Universiti Utara Malaysia mencatat jejak upaya-upaya Singapura untuk mendesakkan sejumlah solusi hazeini kepada Indonesia, ASEAN, bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Tidak bisa disangkal, Singapura ingin ada tekanan yang lebih besar dan sistematis dari negara-negara kawasan dan dunia kepada Indonesia untuk tidak mengecilkan masalah hazeini.
Di ASEAN, Singapura mendesakkan sejumlah agenda dialog di tingkat menteri lingkungan hidup dan menteri luar negeri sehingga dihasilkan Kuala Lumpur Accord on Environment and Development 19 Juni 1990, ASEAN Cooperation Plan on Transboundary Pollution 1995, Regional Haze Action Plan 1997, dan Hanoi Plan of Action yang mendesakkan agar Action Plan tadi bisa terlaksana paling lambat tahun 2001, serta lahirnya Agreement on Transboundary Haze Pollution.
Secara umum tujuan dari semua kesepakatan tadi adalah mulia. Intinya bahwa negaranegara yang menandatangani kerangka kerja sama tersebut berjanji untuk melakukan harmonisasi upaya-upaya pencegahan dan pengurangan dampak negatif dari haze. Kesepakatan Transboundary Haze Pollution mengarah pada pembentukan ASEAN Center yang fungsinya memfasilitasi kerja sama dalam mengendalikan dampak haze, termasuk untuk menerima laporan dari national monitoring center (pusat pemantauan nasional) di tiap negara seputar titik api dan kemungkinan bentuk penanganan yang diusulkan negara pengirim asap.
Kenyataannya Pemerintah Indonesia sampai sekarang belum mau menandatangani Kesepakatan Transboundary Haze Pollution tadi. Menuding bahwa Pemerintah Indonesia tidak kompeten atau keras kepala bukanlah solusi. Menekan Pemerintah Indonesia lebih keras dengan pernyataan yang tidak diplomatis pun justru akan kontraproduktif. Kenyataannya Indonesia sebenarnya peduli pada masalah haze ini. Kepedulian ini bukan semata karena tekanan negara-negara tetangga, tetapi karena Indonesia merasa membutuhkan solusi demi kepentingan domestik sendiri.
Di Indonesia, perkebunan sawit yang kerap dituding sebagai sumber masalah haze adalah penghasil devisa negara nonmigas yang signifikan. Dengan besaran lahan dan kecocokan tanah, Indonesia adalah produsen minyak sawit terbesar di dunia. Penghasilan Indonesia selama 5 tahun terakhir meningkat pesat karena pesanan dari China dan Pakistan terus meningkat.
Momen menjelang hari raya adalah kegembiraan bagi produsen sawit karena permintaan akan minyak goreng, kue-kue, dan kosmetik melonjak sehingga kuantitas penjualan minyak sawit pun meningkat. Jadi, bisnis penanaman kelapa sawit adalah bisnis yang menguntungkan. Karena keuntungan tersebut, Pemerintah Indonesia menganggap perlu untuk menetralkan kritik-kritik tajam yang selama ini sering sekali terarah pada produsen sawit.
Kementerian Pertanian dan Kementerian Perkebunan, didukung juga oleh Dewan Sawit Nasional dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, menyepakati bahwa perlu ada penegakan hukum yang konsisten akan standar-standar perkebunan sawit yang ramah lingkungan dan berkelanjutan (sustainable). Ada paket aturan ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) yang wajib dipatuhi semua petani dan pengusaha sawit yang beroperasi di Indonesia dan ada paket aturan RSPO (Rountable of Sustainable Palm Oil) yang sifatnya sukarela, tetapi standarnya diakui secara internasional.
Praktik membakar hutan untuk membuka lahan diharamkan oleh ISPO maupun RSPO. Para petani sawit mandiri pun sangat sering mendengar aturan-aturan tersebut walaupun memang penegakannya belum semudah membalikkan telapak tangan. Menyadari kesulitan meredam naluri pembukaan “ladang bisnis” dengan cara bertanam sawit, Pemerintah Indonesia memilih untuk memperpanjang moratorium pembukaan lahan bagi keperluan perkebunan sawit, khususnya di lahan gambut.
Artinya Pemerintah Indonesia sudah berupaya membangun mekanisme penegakan standar perkebunan sawit. Untuk mengurangi tudingan “cari untung” dan demi mengakomodasi kepentingan otonomi daerah, pemerintah pusat membagi-bagi jatah mengeluarkan izin pembukaan lahan sawit. Untuk luas lahan kurang dari 25.000 hektare, bupati yang mengeluarkan izin pengolahan lahan, sementara untuk lahan 25.000–50.000 hektare, gubernur yang mengeluarkan izin.
Untuk ukuran lahan lebih besar dari 50.000 hektare dibutuhkan izin dari pemerintah pusat. Artinya, mengikat pemerintah pusat dengan kesepakatan di tingkat ASEAN tidak berarti mengikat pemerintah daerah karena pembagian otonomi tadi. Dengan demikian jika Singapura atau ASEAN ingin mencari solusi permanen untuk masalah haze ini, perlu dicari jalan keluar yang sejalan dengan insentif yang dibutuhkan pemerintah dan pelaku usaha sawit di Indonesia.
Percuma jika berputar-putar pada wacana “tanggung jawab negara” karena implementasi peraturan apa pun terkait sawit terletak di banyak tangan. Secara teoretis mungkin betul apa pun yang terjadi negara harus bisa bertanggung jawab atas apa pun yang dilakukan perusahaan dan individu yang beroperasi di negaranya, tetapi dalam praktiknya negara tidak bisa dianggap dewa pengatur segala yang kemudian layak diberi hukuman (penalty) ketika ada warganya yang melanggar hukum.
Jangan lupa banyak juga dari pemilik lahan sawit adalah perusahaan-perusahaan asing, termasuk dari Malaysia. Singapura pun tak bisa cuci tangan dengan menempatkan diri mereka semata sebagai korban karena sejumlah perusahaan sawit terbesar yang beroperasi di Indonesia melakukan listing di bursa saham Singapura. Artinya Singapura diuntungkan juga oleh pajak dan kegiatan perdagangan mereka yang “mampir” di Singapura. Kita harus kembalikan segala hal pada proporsinya.
Mengelola lahan sawit di wilayah seluas Indonesia bukanlah hal yang sederhana, apalagi jika ada konsekuensi hukum yang harus dihadapi Indonesia ketika menandatangani perjanjian Transboundary Haze Pollution. Karena sektor sawit menyangkut hajat hidup banyak orang, Pemerintah Indonesia harus berpikir panjang sebelum mengikat diri pada aturan regional yang berisiko pada praktik dunia usaha di sektor perkebunan. Satu hal yang perlu dipertimbangkan adalah bisnis sawit sangat ditentukan oleh harga pasaran sawit.
Sampai saat ini tidak ada insentif harga bagi petani dan pebisnis sawit yang menerapkan kebijakan “bebas dari membakar hutan”. Tidak ada harga premium bagi produk sawit yang ditanam dan diolah dengan ramah lingkungan. Harganya sama saja dengan yang tidak ramah lingkungan. Jika negara-negara ASEAN bisa memikirkan cara memberi insentif pada pengusaha sawit, baik yang besar maupun yang kecil, ada nuansa dialog seputar haze yang mudah-mudahan lebih produktif. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar