|
SUARA
KARYA, 25 Juni 2013
Media massa memiliki relasi sangat
kuat dengan terciptanya sejarah dan demokrasi di negeri ini. Sebab, dengan
melihat berbagai kliping (koleksi) berita-berita yang sudah disajikan media
massa cetak maupun elektronik, kita bisa melihat berbagai realitas politik
maupun kenyataan politik yang tersembunyi di balik pemberitaan tersebut.
Pada masa prakemerdekaan, media
massa dijadikan alat perjuangan dalam menggelorakan semangat perjuangan
mengusir kaum penjajah. Di masa Orde Lama, media massa dikendalikan untuk
membangkitkan semangat nasionalisme dan membangun kedigdayaan berbudaya politik.
Atmosfer tersebut menciptakan adanya politisasi media massa, di mana setiap
partai politik cenderung memiliki media massanya masing-masing. Sedangkan di
era Orde Baru, media massa diatur sedemikian rupa (dikekang dan dipolitisir),
sehingga mampu menjadi kekuatan ampuh bagi penguasa untuk mendukung legitimasi
dan hegemoninya atas publik.
Di zaman Orde Reformasi, media
massa menjadi sangat liberal (bebas), bahkan berubah menjadi kekuatan yang
ampuh dalam mengontrol pusat-pusat kekuasaan. Kecenderungan yang terjadi selama
ini, malahan para praktisi media massa termasuk para konglomerat media massa di
Tanah Air berkeinginan menjadi penguasa politik. Entah dengan bergabung atau
mendirikan organisasi politik atau dengan mendeklarasikan keikutsertaannya
dalam pesta demokrasi lima tahunan bernama pemilu legislatif, pemilu presiden
dan pemilu kepala daerah.
Dari analisis politik, pemilu dan
pilkada merupakan agenda lima tahunan yang menjadi ajang pertarungan politik
paling nyata antara para politikus, pemilik modal (pebisnis), akademikus,
peneliti dan massa. Sah-sah saja para pemilik media massa memiliki kepentingan
besar dalam berbagai momentum politik berupa pesta demokrasi. Sebab hajatan
politik berupa pemilu dan pilkada, akan mengubah tatanan politik dalam skala
nasional dan lokal. Implikasinya sangat luas, pergantian kepemimpinan nasional
maupun lokal berpengaruh besar pada berbagai kebijakan politik, ekonomi,
sosial, budaya bahkan hingga pertahanan dan keamanan.
Sangat wajar, para konglomerat
media massa berlomba-lomba dalam memberikan dukungan politik maupun finansial
kepada para kandidat pemimpin, entah mereka yang memperebutkan jabatan
eksekutif maupun legislatif. Dengan harapan, adanya pergantian atau
pemertahanan pucuk-pucuk pimpinan di berbagai institusi pemerintahan, secara
tidak langsung memberikan keuntungan bisnis pada keberlangsungan eksistensi
media massa yang dimiliki.
Kompetisi bisnis antara para
konglomerat media massa, akhirnya tidak murni bersinggungan dengan masalah
perebutan pangsa pasar yang terbuka bebas (likuid). Melainkan sudah memasuki
wilayah pengaruh politik, di mana masing-masing konglomerat media merasa
memiliki kepentingan politik untuk melipatgandakan keuntungan bisnis perusahaan
media, sekaligus kalau bisa menancapkan pengaruhnya pada pusat-pusat kekuasaan.
Sebab pusat-pusat kekuasaan itu sangat efektif dalam mempengaruhi pasar atau
masyarakat.
Terjunnya para konglomerat media
massa dalam dunia politik, apakah dapat dikatakan akan mengurangi idealisme
media massa dan juga berpengaruh negatif pada masa depan politik di Indonesia?
Pertanyaan di atas, sangat tepat menjadi bahan penelitian/kajian lintas
sektoral, khususnya para peneliti politik, tata negara, hukum dan psikologi
komunikasi. Sebab dengan keterlibatan para pengusaha media massa, misalnya
Surya Paloh yang memiliki Media Group (Metro TV, Media Indonesia, Lampungpost
dan lain-lain) melalui Partai Nasional Demokrat, dan Dahlan Iskan yang memiliki
Jawa Pos Group kini menjadi Menteri BUMN, jelas berpengaruh besar pada
kemurnian media massa dalam mencerdaskan publik.
Sebab, pada konteks itu, Media
Group akan memiliki "sikap ganda" dalam memberitakan berbagai hal
yang berkaitan dengan Surya Paloh dan Partai Nasional Demokrat serta
berita-berita yang dinilai sebagai kontrapolitiknya. Begitu pun dengan Jawa Pos
Group, tentu saja akan memiliki "ambiguitas" dalam menentukan sikap
ketika mengkritisi keburukan/kekurangan yang dimiliki oleh Dahlan Iskan,
Kementerian BUMN dan jajaran di bawahnya.
Dalam teori ekonomi politik media,
sebuah gagasan yang dimunculkan oleh kelompok pemikir dari Frankfurt School
Jerman, menyatakan bahwa berbagai kebijakan redaksional yang digulirkan oleh
perusahaan-perusahaan media massa sangat terdekteksi oleh berbagai kepentingan
ekonomi (bisnis) dan kepentingan politik (kekuasaan) dan menihilkan pengaruh
idealisme dalam mendirikan media massa. Hal ini menyebabkan adanya fenomena
persekongkolan (konspirasi) antara para politikus dan pengusaha media massa.
Sebab para politikus memiliki kepentingan untuk mempublikasikan berbagai
pemikiran dan gagasannya agar diketahui publik, sedangkan media massa
membutuhkan sumber-sumber berita yang mampu menarik minat dari kalangan
pembaca, pendengar dan pemirsa.
Dengan terjunnya para pengusaha
media massa (konglomerat media), teori politik ekonomi media massa tersebut
seolah lebur dalam satu pihak. Kini para pengusaha media massa itu sekaligus
yang menjadi politikusnya. Artinya, mereka akan menggunakan perusahaan media
massa yang dimiliki sebagai alat propaganda. Yakni, menyosialisasikan berbagai
manuver-manuver politik maupun nonpolitik yang dimiliki oleh pengusaha media
massa yang telah berprofesi ganda menjadi politikus tersebut, untuk
merealisasikan keinginan atau cita-cita (ambisi) politik para pemilik media
massa atas kekuasaan legislatif dan eksekutif.
Politik hegemoni dan hegemoni
politik akan mendera kehidupan bangsa ini, ketika negeri ini dikuasai oleh para
politikus yang notabene-nya para pemilik atau konglomerat media massa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar