|
SUARA
MERDEKA, 28 Juni 2013
Menjelang tahun pelajaran baru, masyarakat pendidikan
disibukkan oleh penyiapan penerimaan peserta didik baru (PPDB), diikuti
’’kesibukan’’ orang tua calon peserta didik mencari informasi pendaftaran
sekolah. Jenjang SD/sekolah yang sederajat wajib menerima anak usia 7-12 tahun
sebagai peserta didik sesuai batas daya tampungnya.
Penerimaan peserta didik baru untuk kelas I SD/ sederajat
tak boleh mendasarkan hasil tes kemampuan membaca, menulis, dan berhitung
(biasa disebut calistung) atau bentuk tes lain. Bila jumlah peserta didik
melebihi daya tampung sekolah maka pemilihan peserta didik harus berdasarkan
usia, dengan memprioritaskan yang paling tua.
Seandainya berumur sama, pihak sekolah harus
memprioritaskan menerima calon yang jarak tempat tinggalnya terdekat dengan
sekolah tersebut. Jika usia dan jarak tempat tinggal sama maka peserta yang
mendaftar paling awal harus diprioritaskan. Untuk jenjang SMP/ sekolah yang
sederajat, pihak sekolah wajib menerima anak berusia 13-15 tahun, sesuai dengan
daya tampung sekolah. Seleksi PPDB hanya mendasarkan hasil ujian nasional
(UN), selain boleh melakukan tes bakat skolastik. Seleksi PPDB pada SMA/ SMK
juga mendasarkan hasil UN, di samping tes bakat skolastik.
Pada prinsipnya, PPDB untuk semua jenjang wajib dilakukan
secara objektif, transparan, dan akuntabel. Selain itu, tanpa diskriminasi atas
dasar pertimbangan gender, agama, etnis, status sosial, atau kemampuan ekonomi.
Pada tingkat eksekusi, pola dan waktu pelaksanaan PPDB antardaerah bervariasi.
Ada yang menyelenggarakan lewat cara online, tapi ada yang memilih secara
manual, dan ada yang menerapkan rayonisasi. Sejatinya cara online dapat
memaksimalkan prinsip transparansi dan objektivitas karena masyarakat
bisa memantau langsung semua tahapan.
Melalui sistem itu, masyarakat bisa mengetahui jumlah
pendaftar di satu sekolah dan nilai ujian nasional para pendaftar. Pola ini
menguntungkan orang tua calon peserta didik karena bisa segera memindahkan
berkas pendaftaran bila melihat kemenipisan peluang anak mereka diterima di
sekolah itu.
Selain lebih objektif, pola online juga lebih efektif dan efisien.
Namun hal itu tidak berarti penerimaan peserta didik baru yang masih
mengandalkan cara manual tak dapat dipertanggungjawabkan. Kendati proses
dilakukan manual, pola itu tetap mengedepankan objektivitas dan transparansi.
Tiap hari, biasanya siang, sekolah wajib menginformasikan data pendaftar lewat
jurnal.
Kewibawaan
Sekolah
Jurnal itu memberikan gambaran lengkap kepada calon
pendaftar. Sejatinya kewibawaan sekolah ikut terjaga karena melalui jurnal
masyarakat akan mengetahui nilai terendah yang bisa diterima di sekolah itu.
Dengan demikian, secara otomatis sekolah tak mempunyai keberanian untuk
melakukan penyimpangan.
Dinamika yang sering mewarnai pelaksanaan PPDB adalah
mobilisasi dana dari masyarakat kepada sekolah. Namun pemerintah telah menetapkan
Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya
Pendidikan pada Satuan Pendidikan Dasar. Regulasi itu mengatur larangan sekolah
melakukan pungutan kepada peserta didik.
Pada sisi lain pemerintah masih memberikan kesempatan
kepada masyarakat untuk memberikan sumbangan untuk sekolah anak mereka. Khusus
untuk satuan pendidikan SMA/ SMK diharapkan memanfaatkan sebaik mungkin dana
yang diterima dari pemerintah untuk membantu pembiayaan siswa yang direkrut
dari keluarga miskin. Sekolah juga harus menerapkan mekanisme subsidi silang
untuk membantu pembiayaan siswa miskin.
Penerapannya pun harus ditempuh lewat proses musyawarah
yang objektif, adil, dan demokratis antara sekolah dan orang tua siswa, serta
dilaksanakan dengan manajemen yang transparan dan akuntabel. Yang tidak boleh
dilupakan, sekolah wajib menerapkan langkah afirmasi lain yang diperlukan guna
menjamin pemenuhan hak siswa dari keluarga miskin untuk memperoleh pendidikan
tanpa menghambat upaya sekolah itu meningkatkan mutu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar