|
SUARA
KARYA, 26 Juni 2013
Dunia kini sedang dilanda
kebingungan akan krisis energi yang makin memperihatinkan. Di mana,
ketersediaan cadangan berbagai jenis energi mulai menipis, khususnya energi
yang berbahan bakar minyak (BBM). Fakta bahwa cadangan minyak dunia hanya dapat
digunakan sampai 30 tahun lagi membuat para stakeholder maupun
korporasi-korporasi kebingungan untuk memenuhi kebutuhan energi di masa depan.
Semua negara di dunia maupun para
stakeholder yang concern akan ketersediaan energi kini sedang serius berpikir
bagaimana mengelola serta menghemat pemakaian energi dengan sebaik-baiknya,
guna mengurangi krisis dan konflik energi yang mungkin akan timbul di masa
depan.
Kini, banyak pihak di dunia sedang
mengusahakan penggunaan energi alternatif untuk mengurangi ketergantungan dan
sekaligus menghemat penggunaan energi fosil yang tidak dapat diperbarui seperti
minyak
bumi, gas dan lain-lain.
Di dalam negeri sendiri pemerintah
kini sedang gencar mengampanyekan penggunaan energi alternatif sebagai langkah
antisipasi atas kelangkaan bahan bakar minyak (BBM). Energi alternatif diyakini
dapat mengurangi krisis energi minyak dan gas maupun energi tak terbarukan
lainnya.
Namun, usaha ini belum menyentuh
masyarakat luas, khususnya di level masyarakat bawah. Jangankan bicara masalah
energi alternatif di kalangan masyarakat awam, banyak di kalangan pemerintah,
pengusaha maupun sebagian kaum intelektual pun tidak memahami pentingnya
menghemat energi sedini mungkin dan beralih ke energi alternatif seperti
memaksimalkan pengunaan gas.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) dalam pidato sambutan ketika membuka konvensi dan pameran Indonesian
Petroleum Asociation (IPA) Ke-37 di Jakarta Covention Center (JCC) Senayan,
Jakarta, baru-baru ini mengajak jajaran pemerintah pusat dan daerah, badan
usaha milik negara dan daerah (BUMN dan BUMD) untuk untuk memberi contoh dalam
konsumsi energi secara hemat dan efisien. Di antaranya dengan menggalakkan
penggunaan gas sebagai bahan bakar operasional kendaraan dinas.
Khusus untuk program pengalihan
bahan bakar di sektor transportasi, Presiden SBY juga meminta kepada seluruh
jajaran pemerintahan, baik di pusat maupun daerah termasuk di jajaran BUMN dan
BUMD, untuk terus menggalakkan penggunaan bahan bakar gas untuk kegiatan
operasional kendaraan dinas mereka.
Memang, keadaan harus segera
diubah agar bangsa ini tetap eksis dan berjalan sesuai cita-cita para pendiri
bangsa. Perlu ada kebijakan energi yang sustainable dan terencana serta
bertanggung jawab oleh pemerintah dengan melakukan efisiensi energi secara
serempak dan menasional. Namun, untuk mewujudkan langkah itu di tingkat
implementasi perlu upaya yang nyata dari pemerintah. Jangan sampai ikrar hemat
energi nasional itu hanya jalan di tempat dan hanya bersifat live service semata.
Upaya konkret itu adalah mengelola
energi nasional dengan sistem tata-kelola energi secara terpadu. Sistem tata
kelola energi nasional secara terpadu dengan menargetkan efisiensi energi per
wilayah akan memudahkan pemerintah melakukan pemetaan penyebaran dan kebutuhan
konsumsi energi secara nasional.
Pengeloalan Energi
Munculnya kelangkaan serta
tiadanya jaminan ketersediaan pasokan minyak dan gas di negeri sendiri
merupakan kenyataan paradoks dari sebuah negeri yang kaya sumber energi. Hal
ini antara lain disebabkan tingginya ketimpangan antara produksi dan konsumsi energi
nasional. Berbagai permasalahan mengenai carut-marutnya pengelolaan energi di
Indonesia tidak lepas dari tiga hal.
Pertama, manajemen yang diterapkan
oleh pemerintah sama sekali tidak tepat. Pemerintah dan pihak swasta yang
bergerak di bidang pengembangan pengelolaan sumber daya energi belum
memanfaatkan dan memperhatikan geostrategi Indonesia. Semua kebijakan yang
dikeluarkan tidak lepas dari kepentingan komersial dan berdasarkan keuntungan
pribadi. Akhirnya, rakyatlah yang menjadi korban dari kutukan ini.
Kedua, pemerintah sama sekali
tidak tertarik dengan konsepsi pengembangan seumber daya terbarukan (renewable energy). Wacana-wacana
mengenai pengembangan ini hanya sebatas ucapan pemerintah yang bersifat lips service semata dan tidak kunjung
terlihat realisasinya. Pemerintah masih terus bergantung pada eksploitasi
minyak dan gas bumi. Padahal, ketersediaannya terus merosot.
Ketiga, terdapat kesalahan
kebijakan yang tercantum pada UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas yang
menyebutkan bahwa negara hanya berperan sebagai regulator bagi pihak yang hanya
mencari keuntungan semata, terutama perusahaan asing. Hal itu berentangan dengan
Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 bahwa "Bumi
dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."
Berbagai persoalan ini sudah
sepatutnya menjadi bahan diskusi penting pemerintah dalam menata ulang regulasi
yang berlaku. Persoalan ini sudah terlalu lama tertanam dalam sistem kebijakan
pemerintah. Perhatian lebih itu dapat menjadi solusi dari permasalahan krisis
energi yang dialami bangsa. Sudah seharusnya pemerintah memerhatikan
pembangunan berkelanjutan (sustainability
development) untuk kemandirian energi nasional. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar