Kamis, 27 Juni 2013

Menimbang Energi Alternatif

Menimbang Energi Alternatif
Fathur Anas ;    Peneliti di Developing Countries Studies Center (DCSC) Jakarta
SUARA KARYA, 26 Juni 2013


Dunia kini sedang dilanda kebingungan akan krisis energi yang makin memperihatinkan. Di mana, ketersediaan cadangan berbagai jenis energi mulai menipis, khususnya energi yang berbahan bakar minyak (BBM). Fakta bahwa cadangan minyak dunia hanya dapat digunakan sampai 30 tahun lagi membuat para stakeholder maupun korporasi-korporasi kebingungan untuk memenuhi kebutuhan energi di masa depan.
Semua negara di dunia maupun para stakeholder yang concern akan ketersediaan energi kini sedang serius berpikir bagaimana mengelola serta menghemat pemakaian energi dengan sebaik-baiknya, guna mengurangi krisis dan konflik energi yang mungkin akan timbul di masa depan.

Kini, banyak pihak di dunia sedang mengusahakan penggunaan energi alternatif untuk mengurangi ketergantungan dan sekaligus menghemat penggunaan energi fosil yang tidak dapat diperbarui seperti minyak 
bumi, gas dan lain-lain.

Di dalam negeri sendiri pemerintah kini sedang gencar mengampanyekan penggunaan energi alternatif sebagai langkah antisipasi atas kelangkaan bahan bakar minyak (BBM). Energi alternatif diyakini dapat mengurangi krisis energi minyak dan gas maupun energi tak terbarukan lainnya.

Namun, usaha ini belum menyentuh masyarakat luas, khususnya di level masyarakat bawah. Jangankan bicara masalah energi alternatif di kalangan masyarakat awam, banyak di kalangan pemerintah, pengusaha maupun sebagian kaum intelektual pun tidak memahami pentingnya menghemat energi sedini mungkin dan beralih ke energi alternatif seperti memaksimalkan pengunaan gas.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pidato sambutan ketika membuka konvensi dan pameran Indonesian Petroleum Asociation (IPA) Ke-37 di Jakarta Covention Center (JCC) Senayan, Jakarta, baru-baru ini mengajak jajaran pemerintah pusat dan daerah, badan usaha milik negara dan daerah (BUMN dan BUMD) untuk untuk memberi contoh dalam konsumsi energi secara hemat dan efisien. Di antaranya dengan menggalakkan penggunaan gas sebagai bahan bakar operasional kendaraan dinas.

Khusus untuk program pengalihan bahan bakar di sektor transportasi, Presiden SBY juga meminta kepada seluruh jajaran pemerintahan, baik di pusat maupun daerah termasuk di jajaran BUMN dan BUMD, untuk terus menggalakkan penggunaan bahan bakar gas untuk kegiatan operasional kendaraan dinas mereka.
Memang, keadaan harus segera diubah agar bangsa ini tetap eksis dan berjalan sesuai cita-cita para pendiri bangsa. Perlu ada kebijakan energi yang sustainable dan terencana serta bertanggung jawab oleh pemerintah dengan melakukan efisiensi energi secara serempak dan menasional. Namun, untuk mewujudkan langkah itu di tingkat implementasi perlu upaya yang nyata dari pemerintah. Jangan sampai ikrar hemat energi nasional itu hanya jalan di tempat dan hanya bersifat live service semata.

Upaya konkret itu adalah mengelola energi nasional dengan sistem tata-kelola energi secara terpadu. Sistem tata kelola energi nasional secara terpadu dengan menargetkan efisiensi energi per wilayah akan memudahkan pemerintah melakukan pemetaan penyebaran dan kebutuhan konsumsi energi secara nasional.

Pengeloalan Energi

Munculnya kelangkaan serta tiadanya jaminan ketersediaan pasokan minyak dan gas di negeri sendiri merupakan kenyataan paradoks dari sebuah negeri yang kaya sumber energi. Hal ini antara lain disebabkan tingginya ketimpangan antara produksi dan konsumsi energi nasional. Berbagai permasalahan mengenai carut-marutnya pengelolaan energi di Indonesia tidak lepas dari tiga hal.

Pertama, manajemen yang diterapkan oleh pemerintah sama sekali tidak tepat. Pemerintah dan pihak swasta yang bergerak di bidang pengembangan pengelolaan sumber daya energi belum memanfaatkan dan memperhatikan geostrategi Indonesia. Semua kebijakan yang dikeluarkan tidak lepas dari kepentingan komersial dan berdasarkan keuntungan pribadi. Akhirnya, rakyatlah yang menjadi korban dari kutukan ini.

Kedua, pemerintah sama sekali tidak tertarik dengan konsepsi pengembangan seumber daya terbarukan (renewable energy). Wacana-wacana mengenai pengembangan ini hanya sebatas ucapan pemerintah yang bersifat lips service semata dan tidak kunjung terlihat realisasinya. Pemerintah masih terus bergantung pada eksploitasi minyak dan gas bumi. Padahal, ketersediaannya terus merosot.

Ketiga, terdapat kesalahan kebijakan yang tercantum pada UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas yang menyebutkan bahwa negara hanya berperan sebagai regulator bagi pihak yang hanya mencari keuntungan semata, terutama perusahaan asing. Hal itu berentangan dengan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 bahwa "Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."

Berbagai persoalan ini sudah sepatutnya menjadi bahan diskusi penting pemerintah dalam menata ulang regulasi yang berlaku. Persoalan ini sudah terlalu lama tertanam dalam sistem kebijakan pemerintah. Perhatian lebih itu dapat menjadi solusi dari permasalahan krisis energi yang dialami bangsa. Sudah seharusnya pemerintah memerhatikan pembangunan berkelanjutan (sustainability development) untuk kemandirian energi nasional. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar