|
KOMPAS,
27 Juni 2013
Hukum
kian diragukan. Negara hukum Indonesia makin menjauh dari cita-cita para
pendiri Republik. Bahkan, sesudah 15 tahun reformasi, penegakan hukum dinilai
makin merosot. Wibawa hukum dapat dipulihkan bila kita kembali pada hal-hal
mendasar seperti independensi hakim.
”Hakim itu harus tabu terhadap suap. Itu saja dulu. Kalau (hakim) sudah terima suap, tidak bebas dan tidak berani memutus,” kata mantan Hakim Agung Benjamin Mangkoedilaga, Selasa (18/6), saat ditemui di kediamannya, di Jakarta Selatan.
Apakah kini pada masa Reformasi ini, hakim masih menerima suap? ”Ah, saya masih banyak dengar tentang hakim terima suap. Mulai dari (hakim) bawah sampai atas,” ujar Benjamin.
Jaringan pertemanan Banjamin sangat luas. Jaringan itu semakin luas setelah ia dilantik menjadi hakim pada 10 Mei 1067 di Rangkasbitung, Banten. Hakim, kata Benjamin, juga harus membentuk diri supaya berhati nurani baik. ”Hati nurani harus digembleng,” katanya.
Hakim juga penting untuk beriman dan selalu ingat Tuhan Yang Maha Esa. ”Jadi begitu harus memutus (perkara) ya jepret saja,” ujarnya.
Independensi hakim, bagi Benjamin, adalah harga mati. ”Polisi dan jaksa boleh menyimpang, tetapi kalau hakim benar, (penyimpangan) takkan ’menembus’ hakim,” kata Benjamin.
Namun, dia sependapat dengan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD. ”Pak Mahfud mengatakan, pengadilan beres kalau masyarakat juga beres. Ini masyarakatnya juga menggoda. Kalau masyarakat tidak macam-macam, hakim takkan berani,” tambahnya.
Meski mengaku bukan pengikut Aa Gym, Benjamin mengutip pesan Aa Gym, penceramah Islam, untuk memulihkan negara hukum Indonesia. ”Mulai dari perbaiki sekarang juga, mulai dari hal-hal kecil, dan dari diri sendiri,” ujarnya.
Menurut Benjamin, masyarakat harus tabu juga dengan suap dan mau menaati aturan. ”Sepuluh tahun lalu, misalnya, tak ada yang berani (naik sepeda motor) melawan arus lalu lintas,” ujarnya mengingatkan.
Namun,
Benjamin juga menekankan pentingnya pembenahan sumber daya hakim. Dia
mengkritik seleksi hakim agung. ”Kasihan (hakim) yang dari bawah. Berjuang dari
bawah untuk menjadi ”jenderal”, tetapi mereka dipangkas ketika tinggal satu
langkah,” ujarnya.
”Adi Andojo (mantan hakim agung) bilang, di dunia ini hanya di Indonesia profesi hakim agung dapat diraih melalui lamaran, seperti seorang mencari pekerjaan,” keluh Benjamin.
Bagi dia, mahkota hakim adalah putusan-putusan yang telah diambilnya, jadi memilukan bila calon hakim agung hanya diseleksi dari makalah dan diukur dari wawancara sekitar 1,5 jam itu.
Hidup untuk negara
Benjamin selalu kritis dengan profesi hakim karena itulah panggilan hidupnya. Selama menjadi hakim, Benjamin berupaya menyatakan yang benar adalah benar, yang salah adalah salah.
Tahun 1995, saat menjabat Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Benjamin memenangkan gugatan Majalah Tempo. Dunia hukum geger atas keberanian Benjamin yang tampak “melawan” rezim Orde Baru. Putusan dari Benjamin memerintahkan pencabutan SK Menteri Penerangan tentang pembatalan Surat Izin Penerbitan Pers (SIUPP) Majalah Tempo.
”(Putusan) itu simpel, tinggal lihat UU Pokok Pers. Ngapain takut dengan Soeharto? Takut itu kalau salah,” kata Benjamin.
Beberapa bulan setelah putusan itu, Profesor Sri Edi Swasono memberi tahu Benjamin bahwa Presiden Soeharto tak marah karena Benjamin dianggap profesional memutus perkara.
Tahun 1996, Benjamin meraih penghargaan ”Suwardi Tasrif SH”. Kemudian, pada 2000-2001, dia menjadi anggota Dewan Pers Indonesia. Komunitas pers, lanjut Benjamin, meminta dirinya meneruskan kerja tokoh hukum pers, seperti Oemar Senoadji, Suwardi Tasrif, Sumanang, dan PK Ojong.
Namun, persinggungannya dengan dunia jurnalistik sebetulnya sudah jauh lebih lama. Di SMA Kanisius di Menteng, Jakarta (tahun 1959), dia menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Majalah Pemancar Kanisius sekaligus jualan koran. Kemudian karena gaji hakim kecil, Benjamin pernah menjadi agen koran dan majalah.
Saat menjadi hakim di Pengadilan Negeri Rangkasbitung (1967-1974), ia pernah berniat mundur untuk melamar di Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) karena gajinya kurang. Profesor Asikin Kusumaatmaja pernah membentaknya dengan perkataan, ”Kamu hidup bukan untuk keluarga, tetapi hidup justru untuk negara.” Benjamin pun akhirnya bertahan.
Kini, kata Benjamin, gaji hakim jauh lebih besar. ”Tetapi, mengapa makin banyak ketidakpuasan dan merasa dizalimi,” ujarnya, sambil menerka kebutuhan hakim saat ini. ”Tapi dulu, kan, tidak ada (kedai kopi) Starbucks. Ha-ha-ha. Tidak juga ada Coffee Bean,” tambahnya, memberi gambaran.
Benjamin mengaku, dari dulu dia terbiasa makan di warteg. ”Saya juga enggak main golf, enggak main tenis. Dari mana duitnya?” ujarnya.
Tiap Sabtu atau Minggu pagi, Benjamin berolahraga di Stadion Gelora Bung Karno. Ia maniak atletik. Bahkan, pernah menjadi anggota tim cadangan PON Jakarta Raya untuk nomor 400 meter, 800 meter, 400 meter gawang, dan tim estafet 4 x 400 meter. ”Dulu lari, sekarang jalan cepat. Jalan cepat 10 menit, (lalu) makan bubur 2 jam,” ujar Benjamin sambil tertawa.
Benjamin juga masih mengajar. Tahun 1967, dia sudah mengajar di SMA, SMEA, dan STM Rangkasbitung. ”Berapa sih gaji hakim? Dulu tambahannya juga sebagai dosen,” ceritanya.
Kini,
Benjamin masih mengajar di Universitas Trisakti dan Universitas Bhayangkara.
Memelihara naluri hakim
Benjamin mengisi masa pensiunnya dengan aktif di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). ”Alhamdullilah, saya dipercaya banyak orang. Arbiter justru dipilih para pihak, tidak seperti hakim yang dipilih negara,” kata Benjamin. Naluri hakimnya tetap dipelihara.
Penyelesaian perkara di arbitrase lebih cepat karena tanpa banding dan kasasi. Pelaksanaan putusan juga lebih pasti karena para pihak telah bersepakat. Ketidakpuasan terhadap lembaga peradilan dan kondisi hukum telah ”mengangkat” arbitrase. ”Bahkan, pengacara-pengacara yang saya temui mengeluh. Mereka mengeluh di PN dan MA ada kejadian begini… begini… begini,” katanya.
Benjamin menegaskan, kepemimpinan negara kurang tegas. Meski yudikatif tidak sepenuhnya bergantung pada eksekutif, tetapi, kata Benjamin, ”Pelaksanaan hukum tetap butuh kepemimpinan.”
”Tapi, Alhamdullilah, persoalan (kepemimpinan) ini selesai dalam satu tahun. Namun, banyak yang bingung juga (siapa) pemimpin barunya,” katanya.
Kehidupan bermasyarakat, menurut Benjamin, juga dipengaruhi media massa. ”Kalau tiap hari kekerasan dipertontonkan di televisi malah (pelaku) belajar (kekerasan) juga, bangga terlibat dalam kekerasan itu,” kata Benjamin getir.
Benjamin aktif menulis di harian Kompas pada 1990-an, bahkan ada ”Catatan Hukum Benjamin Mangkoedilaga”. Kini, dia tetap menuangkan pemikirannya meski tak rutin. Mengapa? ”Terus terang, saya gaptek (gagap teknologi). Saya masih memakai mesin tik. Orang lain kan e-mail, dan besok pagi terbit di Kompas. Saya mungkin (menulis) seminggu kemudian mengirim,” katanya.
Tidak pernah bertemu teman seangkatan, para senior, untuk membahas nasib bangsa? ”Wah, teman-teman saya sudah tersebar. Ada yang di (pemakaman) Tanah Kusir, di Jeruk Purut. Ha-ha-ha. Angkatan saya di Kolose Kanisius juga tersebar di sana,” ujar Benjamin.
Nada suaranya jadi ceria saat membicarakan Kanisius. Namun, Benjamin mengaku berambut cepak ketika itu, tidak gondrong seperti teman-temannya karena mengagumi dunia tentara. Sebelum lulus dari Kanisius, dia pernah berniat menjadi masinis kereta api atau masuk Akademi Angkatan Laut, tetapi gagal karena berkacamata. ”AL gagal mengajari saya berenang,” ujar Benjamin sambil tertawa.
Akhirnya dia tidak dapat mengelak dari takdir menjadi penegak hukum. Dalam darahnya mengalir darah penegak hukum. Sang kakek adalah jaksa di Banten, sedangkan ayah—bernama Mas Achmad Mangkoedilaga—adalah jaksa di Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta.
Tidak pernah menyesal jadi hakim? Tidakkah menyesal menjadi bagian dunia hukum yang kini makin amburadul?
”Tidak,
saya tidak pernah menyesal (menjadi hakim),” kata Benjamin mantap. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar