|
SUARA
MERDEKA, 24 Juni 2013
RADITYADika. Hari-hari ini foto sosok ’’remaja bodoh’’ itu
menghiasi gedung bioskop dan toko buku. Maklum, selain sebagai penulis yang
buku-bukunya terjual lebih dari 100 ribu eksemplar, kini ia menulis skenario
sekaligus menjadi pemain film layar lebar. Beberapa buku larisnya diangkat ke
layar lebar.
Tak hanya itu, wajah penulis buku Kambing Jantan dan Cinta
Brontosaurus itu juga sering nongol dalam televisi. Baik sebagai bintang iklan,
maupun dewan juri lomba stand up comedy.
Meskipun bukan pioner, Raditya telah berjasa mendongkrak minat remaja kita pada
stand up comedy. Komunitas itu kini
mulai tumbuh di banyak kota di Indonesia. Tak kalah penting dari itu, ia
seperti telah membangunkan raksasa tidur, yakni minat baca remaja kita.
Tak soal jika yang dibaca pada awalnya adalah buku-buku
yang sangat ringan, dan disyakwasangkai sementara pihak sebagai buku yang tidak
’’meninggalkan apa-apa’’ setelah selesai dibaca. Membaca adalah kegiatan aktif.
Ia tumbuh dan berkembang. Membaca adalah proses, bukan hasil akhir. Seiring
berjalannya waktu, tingkat kebutuhan orang akan bacaan juga berkembang. Buku
sebagai media baca dan remaja sebagai pembaca merupakan entitas yang hidup dan
berkembang. Bukan statis lantas mati. Melalui Radit pula, kita juga menjadi
mahfum bahwa budaya lisan bukanlah lawan dari budaya baca.
Sesungguhnya yang terbaca itu adalah hasil pemadatan atas
banyak fakta, baik yang terlihat (observasi) maupun terucap (wawancara,
ucapan). Titik temu antara budaya lisan dan baca itu salah satunya stand up comedy. Stand up comedy ini dapat dijadikan model social marketing kampanye budaya baca. Apa pasal? Karena sebelum
mereka tampil, terlebih dahulu mereka harus mengobservasi lingkungan, mencatat,
membaca buku, menyusun menjadi naskah atau materi komik (untuk dilisankan).
Buku, membaca, keaksaraan ditawarkan kepada khalayak dengan cara yang sangat
empatif: humor dan bicara.
Jadi kurang relevan jika tingginya budaya ngobrol disebut
sebagai salah satu penghambat pengembangan budaya baca, justru sebaliknya, bisa
menjadi pintu awal orang masuk ke dunia baca. Salah satu asnad atau bukti
terdekat yang bisa saya ajukan adalah peristiwa yang berlangsung medio Mei
lalu. Pada 16 Mei 2013 secara khusus saya diminta Perpustakaan Kota Magelang
untuk mencangkokkan kegiatan literasi yang unik, beda dan ada unsur kebaruan
pada acara pameran buku dan arsip yang mereka gelar.
Ada tiga konsep acara yang saya tawarkan, yakni festival
dolanan anak, lomba kampanye budaya baca, dan lomba stand up comedy literasi bertema ’’Aku dan Buku.’’. Mereka menerima
ketiga usulan saya. Pada hari pelaksanaan lomba, tak kurang ada 20 peserta
lomba stand up comedy. Menariknya
yang mengikuti sebagian besar adalah siswa SMP dan SMA. Tidak hanya laki-laki
tapi juga perempuan. Mereka harus ngo-mic tentang membaca, buku, dan diri
mereka sendiri.
Percaya Diri
Saat lomba berlangsung mereka membawa pasukannya
masing-masing sehingga tiap nama sekolah peserta disebut tiap ’’pasukan’’ yang
dibawa peserta ini berteriak heboh. Acara pun berlangsung seru dan penuh ger-geran. Baik karena sanking lucunya
atau sebaliknya, tidak lucu sama sekali. Sebagai salah satu dewan juri pada
acara lomba stand up comedy tersebut,
sekaligus aktivis literasi, saya sangat senang melihat semangat remaja Kota
Magelang tampil sebagai peserta lomba. Terlepas materi yang mereka bawakan lucu
atau wagu (tidak lucu sama sekali), saat melihat siswa SMP dan SMA tampil
berbicara di muka banyak orang dengan rasa percaya diri yang tinggi, meskipun
ada juga yang gugup, saya sangat bahagia. Apa yang mereka lakukan bisa menjadi
sarana mereka melatih mental untuk berani berbicara di depan umum.
Menyampaikan apa yang ada di benak, menjadi anak yang
berani beropini. Ini penting untuk membangun rasa percaya diri dan penghargaan
atas eksistensi mereka sendiri. Sebelum ngo-mic
mereka mencari bahan atau materinya terlebih dahulu. Dari mana mereka
mendapatkan materi stand up comedy?
Selain dari observasi dan diskusi, sudah barang tentu dari membaca (buku).
Kemudian mereka menulis skenario untuk dilisankan.
Artinya sebelum tampil, ada proses mereka harus gaul,
terlibat dalam kehidupan, keluar dari kamar mereka. Mencatat temuan-temuan saat
membaca kehidupan dan buku. Mensistemasinya dan menyusun menjadi satu naskah
utuh stand up. Yang patut dicatat
dari perkembangan stand up comedy
ini, kini banyak beredar pula buku-buku yang secara khusus ditulis dan
disiapkan sebagai bahan atau materi stand
up.
Artinya ada proses transliterasi. Dari budaya tonton atau
melihat, membaca, menulis, berbicara, menonton, menulis, dan membaca lagi.
Kehadiran stand up comedy tidak saja
menjadi penanda zaman bahwa pada suatu masa tertentu di Indonesia para remaja
sangat gandrung dengan seni membuat orang
tertawa itu. Tapi saya melihatnya sekaligus menjadi salah satu bentuk
jawaban atas tantangan zaman: keterbentukan komunitas masyarakat, dan
kemelekatan budaya lisan, membaca, menulis, menonton, dan makan (kuliner). Kini
semuanya bisa dihadirkan dalam situasi saling mendukung, bukan sebaliknya
saling menegasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar