Selasa, 25 Juni 2013

Memahami Stand Up Comedy

Memahami Stand Up Comedy
Agus M Irkham ;   Kepala Departemen Litbang
Pengurus Pusat Forum Taman Bacaan Masyarakat
SUARA MERDEKA, 24 Juni 2013


RADITYADika. Hari-hari ini foto sosok ’’remaja bodoh’’ itu menghiasi gedung bioskop dan toko buku. Maklum, selain sebagai penulis yang buku-bukunya terjual lebih dari 100 ribu eksemplar, kini ia menulis skenario sekaligus menjadi pemain film layar lebar. Beberapa buku larisnya diangkat ke layar lebar.

Tak hanya itu, wajah penulis buku Kambing Jantan dan Cinta Brontosaurus itu juga sering nongol dalam televisi. Baik sebagai bintang iklan, maupun dewan juri lomba stand up comedy. Meskipun bukan pioner, Raditya telah berjasa mendongkrak minat remaja kita pada stand up comedy. Komunitas itu kini mulai tumbuh di banyak kota di Indonesia. Tak kalah penting dari itu, ia seperti telah membangunkan raksasa tidur, yakni minat baca remaja kita.

Tak soal jika yang dibaca pada awalnya adalah buku-buku yang sangat ringan, dan disyakwasangkai sementara pihak sebagai buku yang tidak ’’meninggalkan apa-apa’’ setelah selesai dibaca. Membaca adalah kegiatan aktif. Ia tumbuh dan berkembang. Membaca adalah proses, bukan hasil akhir. Seiring berjalannya waktu, tingkat kebutuhan orang akan bacaan juga berkembang. Buku sebagai media baca dan remaja sebagai pembaca merupakan entitas yang hidup dan berkembang. Bukan statis lantas mati. Melalui Radit pula, kita juga menjadi mahfum bahwa budaya lisan bukanlah lawan dari budaya baca.

Sesungguhnya yang terbaca itu adalah hasil pemadatan atas banyak fakta, baik yang terlihat (observasi) maupun terucap (wawancara, ucapan). Titik temu antara budaya lisan dan baca itu salah satunya stand up comedy. Stand up comedy ini dapat dijadikan model social marketing kampanye budaya baca. Apa pasal? Karena sebelum mereka tampil, terlebih dahulu mereka harus mengobservasi lingkungan, mencatat, membaca buku, menyusun menjadi naskah atau materi komik (untuk dilisankan). Buku, membaca, keaksaraan ditawarkan kepada khalayak dengan cara yang sangat empatif: humor dan bicara.

Jadi kurang relevan jika tingginya budaya ngobrol disebut sebagai salah satu penghambat pengembangan budaya baca, justru sebaliknya, bisa menjadi pintu awal orang masuk ke dunia baca. Salah satu asnad atau bukti terdekat yang bisa saya ajukan adalah peristiwa yang berlangsung medio Mei lalu. Pada 16 Mei 2013 secara khusus saya diminta Perpustakaan Kota Magelang untuk mencangkokkan kegiatan literasi yang unik, beda dan ada unsur kebaruan pada acara pameran buku dan arsip yang mereka gelar.

Ada tiga konsep acara yang saya tawarkan, yakni festival dolanan anak, lomba kampanye budaya baca, dan lomba stand up comedy literasi bertema ’’Aku dan Buku.’’. Mereka menerima ketiga usulan saya. Pada hari pelaksanaan lomba, tak kurang ada 20 peserta lomba stand up comedy. Menariknya yang mengikuti sebagian besar adalah siswa SMP dan SMA. Tidak hanya laki-laki tapi juga perempuan. Mereka harus ngo-mic tentang membaca, buku, dan diri mereka sendiri.

Percaya Diri

Saat lomba berlangsung mereka membawa pasukannya masing-masing sehingga tiap nama sekolah peserta disebut tiap ’’pasukan’’ yang dibawa peserta ini berteriak heboh. Acara pun berlangsung seru dan penuh ger-geran. Baik karena sanking lucunya atau sebaliknya, tidak lucu sama sekali. Sebagai salah satu dewan juri pada acara lomba stand up comedy tersebut, sekaligus aktivis literasi, saya sangat senang melihat semangat remaja Kota Magelang tampil sebagai peserta lomba. Terlepas materi yang mereka bawakan lucu atau wagu (tidak lucu sama sekali), saat melihat siswa SMP dan SMA tampil berbicara di muka banyak orang dengan rasa percaya diri yang tinggi, meskipun ada juga yang gugup, saya sangat bahagia. Apa yang mereka lakukan bisa menjadi sarana mereka melatih mental untuk berani berbicara di depan umum.

Menyampaikan apa yang ada di benak, menjadi anak yang berani beropini. Ini penting untuk membangun rasa percaya diri dan penghargaan atas eksistensi mereka sendiri. Sebelum ngo-mic mereka mencari bahan atau materinya terlebih dahulu. Dari mana mereka mendapatkan materi stand up comedy? Selain dari observasi dan diskusi, sudah barang tentu dari membaca (buku). Kemudian mereka menulis skenario untuk dilisankan.

Artinya sebelum tampil, ada proses mereka harus gaul, terlibat dalam kehidupan, keluar dari kamar mereka. Mencatat temuan-temuan saat membaca kehidupan dan buku. Mensistemasinya dan menyusun menjadi satu naskah utuh stand up. Yang patut dicatat dari perkembangan stand up comedy ini, kini banyak beredar pula buku-buku yang secara khusus ditulis dan disiapkan sebagai bahan atau materi stand up.


Artinya ada proses transliterasi. Dari budaya tonton atau melihat, membaca, menulis, berbicara, menonton, menulis, dan membaca lagi. Kehadiran stand up comedy tidak saja menjadi penanda zaman bahwa pada suatu masa tertentu di Indonesia para remaja sangat gandrung dengan seni membuat orang tertawa itu. Tapi saya melihatnya sekaligus menjadi salah satu bentuk jawaban atas tantangan zaman: keterbentukan komunitas masyarakat, dan kemelekatan budaya lisan, membaca, menulis, menonton, dan makan (kuliner). Kini semuanya bisa dihadirkan dalam situasi saling mendukung, bukan sebaliknya saling menegasi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar