|
KOMPAS,
25 Juni 2013
Ekshibisionisme adalah suatu dorongan untuk
memamerkan hal-hal yang selayaknya disembunyikan. Dalam psikologi dikenal
ekshibisionisme seksual, ketika seseorang suka memperlihatkan bagian-bagian
tubuh yang sepatutnya tak dilihat orang lain. Ini adalah suatu kelainan mental
karena yang bersangkutan tak dapat mengontrol dorongan untuk melakukannya
meskipun dia barangkali sadar bahwa perbuatan tersebut melanggar norma-norma
kesopanan dan mengganggu ketertiban umum.
Dalam politik Indonesia saat ini kita
mengalami gejala yang dapat dinamakan ekshibisionisme sosial. Pasalnya,
seseorang melakukan pelanggaran hukum dalam mengumpulkan kekayaan, tetapi tidak
menyembunyikan hasil pelanggaran hukumnya, malah memamerkannya dengan cara amat
mencolok. Kalau seorang ketua umum partai politik yang tadinya hidup dengan
standar yang wajar, dalam waktu satu dua tahun memamerkan kekayaan yang sulit
dijelaskan berdasarkan penghasilannya sebagai ketua umum partai, maka di sana
terjadi ekshibisionisme sosial.
Seorang koruptor yang cerdas akan berbuat
sebaliknya. Dia menimbun sebanyak mungkin uang ilegal, tapi tidak
memperlihatkan gaya hidup yang melambung tinggi secara mendadak asal saja
keamanan ekonominya terjamin untuk jangka panjang. Di Indonesia rupanya terjadi
hal sebaliknya. Tiap orang yang mempunyai jabatan politik, atau, lebih khusus
lagi, jabatan publik sebagai penyelenggara negara, merasa perlu menegaskan
statusnya yang baru. Meski begitu, penegasan status ini tak dilakukan melalui
kinerja dan prestasi, tapi melalui perubahan gaya hidup.
Tidak dihayati
Jabatan politik dan jabatan publik tidak
dihayati sebagai tanggung jawab dan amanah, sebagaimana sering dislogankan para
pejabat dan pemimpin politik, tetapi sebagai kesempatan menampilkan gaya hidup
baru. Tak ada yang salah dengan gaya hidup, tetapi hubungannya dengan basis
materiil harus jelas juga. Seorang bankir investasi yang muda-usia di Wall
Street, New York, dengan penghasilan 600.000 dollar AS setahun, dengan
sendirinya cenderung bergaya hidup tinggi, kecuali dia seorang yang amat
asketis atau penganut setia counter-culture.
Dalam kasus Indonesia, gaya hidup tinggi
berdiri di atas suatu shadow economy
yang gelap gulita. Kita tahulah berapa penghasilan resmi seorang anggota DPR
atau DPRD, seorang bupati, atau seorang gubernur. Namun, mengapa gerangan
mereka dapat memperlihatkan gaya hidup seorang bankir investasi di Wall Street?
Bagaimana hal ini mungkin terjadi?
Salah satu sebabnya barangkali harus dicari
dalam perilaku dan penerimaan masyarakat sendiri. Orang jarang mempersoalkan
bagaimana mungkin seorang pejabat pemerintah atau seorang politikus dapat
mempunyai beberapa rumah yang harga masing-masing bisa mencapai beberapa miliar
rupiah dan mengoleksi lebih dari lima atau enam mobil mewah, sementara orang
tahu, dengan penghasilan dari golongan gaji mana pun hal itu tak mungkin
dilakukannya? Tetangga atau orang serukun tetangga sudah senang kalau pejabat
itu membuka sebuah lapangan voli untuk para pemuda, mendirikan sebuah taman
kanak-kanak, atau menyumbang bagi pembangunan sebuah rumah ibadat.
Tidak pernah dipertanyakan dari mana uang itu
berasal atau bagaimana cara memperolehnya. Apakah mungkin seseorang dapat
memproduksi sesuatu tanpa menguasai alat-alat produksi dan terlibat aktif dalam
hubungan produksi? Sikap tak acuh masyarakat ini secara tak sengaja telah
memberikan suatu impunitas kepada orang-orang yang mendapat uang dengan cara
yang tidak legal secara hukum dan tidak halal secara moral.
Dewasa ini kecenderungan ekshibisionisme ini
agak direm dengan adanya kemungkinan seseorang dikenai pasal tindakan pidana
pencucian uang di pengadilan karena dapat diterapkan prinsip pembuktian
terbalik sehingga seorang terdakwa harus membuktikan asal-usul kekayaannya.
Namun, gebrakan hukum belum cukup terpadu secara solid untuk membuat koruptor
jera. Seorang yang melakukan megakorupsi lebih sering dihukum dengan hukuman
penjara dengan jangka waktu, yang memungkinkan yang bersangkutan masih
mengenyam banyak tahun kebebasan selepas penjara dengan uang yang masih lebih
dari cukup.
Psikologi politik
Ini mungkin dilakukan karena jumlah uang yang
harus dikembalikan kepada negara sering kali jauh lebih kecil daripada besarnya
dana publik yang telah dirampasnya melalui korupsi. Contoh yang ekstrem
tentulah Muhammad Nazaruddin, yang punya obsesi jadi salah satu orang terkaya
di Indonesia apabila dia telah bebas dari penjara (Tempo, 17-23 Juni 2013).
Ini semua rupanya berhubungan dengan
psikologi politik di Indonesia, yaitu kejahatan ekonomi dipandang kurang berbahaya
dibandingkan dengan kejahatan yang mengancam stabilitas politik atau keamanan
nasional. Pemerintah akan memberikan perhatian dengan kewaspadaan yang tinggi
apabila diketahui ada sekelompok orang sedang merencanakan suatu subversi
politik. Akan tetapi, pemerintah tidak memperlihatkan kewaspadaan yang sama
kalau sudah diketahui ada orang-orang tertentu melakukan subversi ekonomi
melalui korupsi atau kolusi dalam angka-angka yang astronomis.
Mungkin masih ada yang ingat bahwa selama
Orde Baru, pemerintahan Soeharto amat waspada terhadap paham-paham liberal
dalam politik, sementara ekonomi nasional berjalan menurut pola pasar bebas
yang serba liberal. Pada masa Reformasi sekarang sering diributkan
neoliberalisme, tetapi sasaran utama kritik adalah perusahaan asing di
Indonesia. Patut diingat bahwa perusahaan bisnis mana pun di dunia selalu
mempunyai satu tujuan yang sama: menciptakan keuntungan dan mengakumulasi
modal, dan bukan menciptakan kesejahteraan masyarakat karena ini merupakan
tugas negara.
Kalau suatu perusahaan bisnis asing masuk ke
Indonesia, maka dia masuk ke suatu negara yang mempunyai pemerintah yang sah.
Perilaku ekonomi perusahaan itu dapat dikendalikan melalui peraturan yang
ditetapkan pemerintah. Dengan demikian, kalau suatu perusahaan asing terlalu
merugikan kepentingan rakyat Indonesia, tanggung jawab pertama ada pada
pemerintah, yang tak dapat mengendalikan perilaku ekonomi perusahaan bisnis
asing itu agar kehadiran dan kinerjanya membawa manfaat juga bagi kesejahteraan
rakyat di tempat perusahaan itu beroperasi.
Mencontoh China
China dapat menjadi contoh soal tentang
bagaimana kekuatan ekonomi global dapat dikendalikan dan sedikit banyaknya
dijinakkan sehingga membawa manfaat juga bagi ekonomi nasional, antara lain
dengan menetapkan persentase dari keuntungan per tahun yang tak boleh dibawa
keluar sebuah perusahaan asing, tetapi harus diinvestasikan kembali di China.
Globalisasi di China kemudian dikenal sebagai managed globalization.
Semua ini dapat menunjukkan bahwa sikap alert
Pemerintah Indonesia terhadap ancaman politik jauh lebih tinggi daripada
kewaspadaan terhadap bahaya ekonomi, dan hukuman terhadap kejahatan ekonomi tak
sepadan dengan besarnya kejahatan terhadap ekonomi nasional. Rupanya dalam
psikologi politik kita apa yang dianggap sebagai ancaman nasional adalah apa
yang membahayakan kekuasaan politik, sementara apa yang menghancurkan
kesejahteraan sosial tak dianggap sebagai bahaya nasional. Maka, janganlah kita
terlalu heran kalau para koruptor kakap datang ke pengadilan dengan wajah
tersenyum simpul. Ekshibisionisme sosial di sekitar kita adalah konstruksi
sosial dari sikap permisif kita sendiri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar