|
JAWA
POS, 24 Juni 2013
AKHIRNYA Presiden SBY
berani membuat keputusan berat di masa kepemimpinannya, yaitu kenaikan harga
BBM subsidi. Memang, jika keputusan itu tidak diambil, subsidi BBM akan terus
membengkak mencapai Rp 300 triliun sehingga defisit anggaran menyentuh tiga
persen PDB yang merupakan batas tertinggi yang bisa ditoleransi APBN.
Kebijakan tersebut jelas-jelas akan menggoyahkan sistem perekonomian di negeri ini karena akan disusul kenaikan harga-harga. Tetapi, sebagai warga negara yang baik, kita harus memahami bahwa keputusan tersebut adalah pilihan yang terbaik di antara yang terburuk. Daripada membiarkan anak cucu kita menanggung beban yang berat karena defisit APBN sangat besar, lebih baik kita berkorban saat ini. Semoga berbagai program bantuan langsung ke masyarakat miskin bisa mengobati sebagian pengorbanan ini.
Setelah subsidi dikurangi, ada secercah harapan yang mencuat terkait masa depan negeri ini, terutama di bidang energi alternatif. Selama ini pengembangan sumber energi baru dan terbarukan terkesan jalan di tempat karena tidak mampu mengimbangi harga BBM subsidi yang termasuk termurah di dunia. Selain biaya produksi yang lebih mahal, regulasi-regulasi terkait energi alternatif tidak ramah bagi investasi. Jadi, tidaklah mengherankan jika target muluk pemerintah untuk mengonversi penggunaan BBM dengan sumber energi alternatif tidak pernah tercapai.
Adanya kenaikan harga BBM subsidi ini merupakan momen yang tepat bagi kebangkitan energi alternatif di Indonesia. Salah satu komponen energi alternatif yang merasakan langsung manfaat kenaikan harga BBM ini adalah bahan bakar nabati (BBN) atau biofuel.
Di antara beberapa jenis BBN, biodiesel merupakan komoditas yang paling siap mengisi pasar Indonesia. Berdasar data dari Kementerian ESDM, pada 2012 saja jumlah campuran biodiesel dalam bentuk biosolar mencapai 669 ribu kiloliter, meningkat dua kali lipat dari 2011 yang mencapai 358 ribu kiloliter. Jumlah itu dihasilkan dari 25 industri yang tersebar di Indonesia. Tahun ini ditargetkan konsumsi biodiesel dalam negeri mencapai 1.838 ribu kiloliter atau hampir tiga kali lipat dari tahun lalu.
Sebenarnya, mencapai target tersebut tidaklah terlalu sulit karena kapasitas terpasang industri biodiesel di Indonesia mencapai 5,14 juta kiloliter. Namun, karena harga jual dalam negeri masih rendah, mereka lebih memilih mengekspornya ke luar negeri, terutama ke negara-negara Eropa (80 persen). Tidak tanggung-tanggung, jumlahnya mencapai 1,5 juta ton. Bayangkan saja, jika harga di dalam negeri lebih tinggi daripada harga pasar dunia, mereka akan lebih memilih menjual ke pasar domestik karena keuntungannya lebih besar.
Hal ini sangat memungkinkan. Dengan harga solar Rp 5.500 per liter dan subsidi Rp 3.000 per liter sesuai RAPBN 2014, keuntungan mereka cukup lumayan, karena biaya pokok produksinya tidak lebih dari Rp 7.000 per liter. Kondisi tersebut tentu saja akan mengundang para investor untuk berbondong-bondong menanamkan modal di Indonesia. Pastinya, jika itu terwujud, akan tercipta jutaan lapangan pekerjaan dan negeri ini akan menjadi produsen biofuel terbesar di dunia.
Setali tiga uang, hal yang sama akan terjadi pada pengembangan bioetanol. Selama ini bioetanol seolah mati suri karena biaya produksinya tidak mampu menutupi harga yang dipatok pemerintah untuk substitusi premium. Hitung saja, dengan harga premium kemarin (Rp 4.500) dan subsidi Rp 2.500 per liter, harga bioetanol hanya dipatok Rp 7.000 per liter. Hal ini jauh sekali dibandingkan biaya pokok produksi yang mencapai lebih dari Rp 8.000 per liter.
Karena itu, jika harga premium naik menjadi Rp 6.500 dan subsidi naik menjadi Rp 3.500 per liter, harga jual akan mencapai Rp 10.000 per liter. Nilai ini sangat signifikan bagi pengembangan bioetanol di Indonesia. Apalagi, potensi bahan baku bioetanol juga sangat berlimpah karena bisa dihasilkan dari berbagai jenis tanaman yang berpati dan bergula yang tersebar merata di negeri ini.
Jika kita mau berpikir jernih, sebenarnya cukup banyak berkah yang bisa diambil dari kenaikan harga BBM tersebut, terutama dalam pengembangan energi alternatif di Indonesia. Harapannya, berkah tersebut bisa menutupi mudarat yang dihasilkan dari kenaikan harga BBM subsidi tersebut. Semua demi satu tujuan, menjadikan negeri ini sebagai negeri yang besar dan bermartabat. ●
Kebijakan tersebut jelas-jelas akan menggoyahkan sistem perekonomian di negeri ini karena akan disusul kenaikan harga-harga. Tetapi, sebagai warga negara yang baik, kita harus memahami bahwa keputusan tersebut adalah pilihan yang terbaik di antara yang terburuk. Daripada membiarkan anak cucu kita menanggung beban yang berat karena defisit APBN sangat besar, lebih baik kita berkorban saat ini. Semoga berbagai program bantuan langsung ke masyarakat miskin bisa mengobati sebagian pengorbanan ini.
Setelah subsidi dikurangi, ada secercah harapan yang mencuat terkait masa depan negeri ini, terutama di bidang energi alternatif. Selama ini pengembangan sumber energi baru dan terbarukan terkesan jalan di tempat karena tidak mampu mengimbangi harga BBM subsidi yang termasuk termurah di dunia. Selain biaya produksi yang lebih mahal, regulasi-regulasi terkait energi alternatif tidak ramah bagi investasi. Jadi, tidaklah mengherankan jika target muluk pemerintah untuk mengonversi penggunaan BBM dengan sumber energi alternatif tidak pernah tercapai.
Adanya kenaikan harga BBM subsidi ini merupakan momen yang tepat bagi kebangkitan energi alternatif di Indonesia. Salah satu komponen energi alternatif yang merasakan langsung manfaat kenaikan harga BBM ini adalah bahan bakar nabati (BBN) atau biofuel.
Di antara beberapa jenis BBN, biodiesel merupakan komoditas yang paling siap mengisi pasar Indonesia. Berdasar data dari Kementerian ESDM, pada 2012 saja jumlah campuran biodiesel dalam bentuk biosolar mencapai 669 ribu kiloliter, meningkat dua kali lipat dari 2011 yang mencapai 358 ribu kiloliter. Jumlah itu dihasilkan dari 25 industri yang tersebar di Indonesia. Tahun ini ditargetkan konsumsi biodiesel dalam negeri mencapai 1.838 ribu kiloliter atau hampir tiga kali lipat dari tahun lalu.
Sebenarnya, mencapai target tersebut tidaklah terlalu sulit karena kapasitas terpasang industri biodiesel di Indonesia mencapai 5,14 juta kiloliter. Namun, karena harga jual dalam negeri masih rendah, mereka lebih memilih mengekspornya ke luar negeri, terutama ke negara-negara Eropa (80 persen). Tidak tanggung-tanggung, jumlahnya mencapai 1,5 juta ton. Bayangkan saja, jika harga di dalam negeri lebih tinggi daripada harga pasar dunia, mereka akan lebih memilih menjual ke pasar domestik karena keuntungannya lebih besar.
Hal ini sangat memungkinkan. Dengan harga solar Rp 5.500 per liter dan subsidi Rp 3.000 per liter sesuai RAPBN 2014, keuntungan mereka cukup lumayan, karena biaya pokok produksinya tidak lebih dari Rp 7.000 per liter. Kondisi tersebut tentu saja akan mengundang para investor untuk berbondong-bondong menanamkan modal di Indonesia. Pastinya, jika itu terwujud, akan tercipta jutaan lapangan pekerjaan dan negeri ini akan menjadi produsen biofuel terbesar di dunia.
Setali tiga uang, hal yang sama akan terjadi pada pengembangan bioetanol. Selama ini bioetanol seolah mati suri karena biaya produksinya tidak mampu menutupi harga yang dipatok pemerintah untuk substitusi premium. Hitung saja, dengan harga premium kemarin (Rp 4.500) dan subsidi Rp 2.500 per liter, harga bioetanol hanya dipatok Rp 7.000 per liter. Hal ini jauh sekali dibandingkan biaya pokok produksi yang mencapai lebih dari Rp 8.000 per liter.
Karena itu, jika harga premium naik menjadi Rp 6.500 dan subsidi naik menjadi Rp 3.500 per liter, harga jual akan mencapai Rp 10.000 per liter. Nilai ini sangat signifikan bagi pengembangan bioetanol di Indonesia. Apalagi, potensi bahan baku bioetanol juga sangat berlimpah karena bisa dihasilkan dari berbagai jenis tanaman yang berpati dan bergula yang tersebar merata di negeri ini.
Jika kita mau berpikir jernih, sebenarnya cukup banyak berkah yang bisa diambil dari kenaikan harga BBM tersebut, terutama dalam pengembangan energi alternatif di Indonesia. Harapannya, berkah tersebut bisa menutupi mudarat yang dihasilkan dari kenaikan harga BBM subsidi tersebut. Semua demi satu tujuan, menjadikan negeri ini sebagai negeri yang besar dan bermartabat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar