|
JAWA
POS, 27 Juni 2013
DALAM beberapa
bulan terakhir, muncul berbagai variasi tulisan yang berbunyi ''Penak
jamanku to, Le?'' Tulisan tersebut disertai foto penguasa Orde Baru
Soeharto yang sedang tersenyum dan melambaikan tangan.
Tulisan seperti itu bisa ditemui dalam banyak media penyampai: stiker, kaus, poster, bak truk, media sosial, dan sebagainya. Aneka desain menarik dihadirkan. Ada yang digunakan untuk merespons para pejabat yang korup, untuk merespons meningkatnya kriminalitas, maraknya kerusuhan, dan semacamnya.
Tulisan bermakna ''Nyaman zaman siapa, Nak'' itu kali ini muncul mengiringi kenaikan harga BBM. Mereka menuliskan harga BBM ''enak di zaman Soeharto''. Mereka membandingkan harga BBM di era Orde Baru yang Rp 700 dengan harga BBM setelah dinaikkan, 15 Juni 2013, yang Rp 6.500.
Sepintas, apa yang disampaikan di atas benar adanya. Banyak yang menganggap bahwa harga BBM saat ini jauh lebih buruk jika dibandingkan dengan zaman Soeharto. Setidaknya, dari angka yang dibandingkan, terlihat harga saat ini hampir sepuluh kali lipat. Itu tentu menjadi satu indikasi yang digunakan untuk menggambarkan bahwa situasi saat ini tidak penak.
Entah siapa yang menebar tulisan nostalgia zaman Mbah Harto itu. Tapi, marilah mengedepankan akal sehat. Mari melihat kebenaran dari statemen yang dilontarkan lewat tulisan-tulisan yang membandingkan harga BBM zaman Soeharto dengan harga BBM mutakhir. Dengan akal sehat, akan banyak terlihat upaya pengaburan fakta yang nyata dari ''kampanye'' model ''Penak jamanku'' tersebut.
Pertama, mari kita lihat fakta yang tersaji. Di berbagai tulisan ''Penak jamanku'' yang disajikan hanyalah harga Rp 700/liter. Benarkah itu harga tertinggi di era Soeharto? Atau, apakah era Soeharto hanya sekali menaikkan harga BBM?
Jawaban untuk dua pertanyaan itu pasti: tidak. Harga tertinggi BBM di era Soeharto adalah Rp 1.200. Itu terjadi saat menjelang berakhirnya rezim Soeharto, 1998. Waktu itu harga BBM dinaikkan dari Rp 700 per liter menjadi Rp 1.200 per liter.
Lalu, era pemerintahan Soeharto dengan ''kepenak'' juga menaikkan harga BBM beberapa kali. Ambil contoh, Soeharto menaikkan harga BBM pada 1991 dari Rp 150/liter menjadi Rp 550 per liter (hampir 400 persen). Lalu, pada 1993, Soeharto menaikkan harga BBM dari Rp 550 per liter itu menjadi Rp 700 per liter. Kemudian, pada 1998, dari Rp 700 per liter menjadi Rp 1.200 per liter.
Ada upaya pengaburan fakta di sini. Mengapa bukan angka Rp 1.200 per liter yang dijadikan rujukan dalam ''kampanye'' model ''Penak jamanku'' itu?
Kemudian, jika kita mengukur kenaikan harga BBM dari Rp 150 per liter (1991) menjadi Rp 1.200 per liter (1998), Soeharto menaikkan harga BBM sebesar 700 persen. ''Presiden Soeharto tercatat sebagai presiden yang paling tinggi menaikkan harga premium, dengan kenaikan 700 persen dari Rp 150 menjadi Rp 1.200,'' kata ekonom Dradjad H. Wibowo.
Sedangkan pemerintahan SBY, persentase menaikkan harga BBM-nya lebih rendah daripada Soeharto. Saat awal SBY berkuasa, harga BBM adalah Rp 1.810 per liter. Tapi, dalam beberapa kali kenaikan, harga BBM saat ini adalah Rp 6.500 per liter. ''Jadi kenaikannya sebesar 359,1 persen,'' tegas Dradjad.
Kedua, mari kita baca harga bensin zaman Soeharto itu dengan harga komoditas lain. Kita ambil harga beras pada 1993 saat BBM dihargai Rp 700 per liter.
Dari berbagai referensi dan data yang didapat, harga beras pada 1993 adalah Rp 750/kilogram. Itu berarti satu liter bensin setara dengan 0,9 kg beras. Pada 2013, harga bensin Rp 6.500/lt dan harga beras Rp 9.000/kg. Seliter bensin setara dengan 0,7 kg beras. Jadi, harga bensin sekarang masih lebih murah jika dibandingkan dengan harga bensin pada 1993. Penak mana?
Ketiga, mari kita lihat dengan akal sehat, harga BBM dibandingkan dengan harga minyak dunia dan kurs rupiah. Lagi-lagi, mari kita cari tahu lewat ''Mbah Google''. Harga minyak dunia 1993 adalah USD 16,75 per barel. Sedangkan harga minyak dunia pada 2013 adalah USD 87,13/barel. Harga minyak dunia naik 5,2 kali lipat.
Nilai rupiah terhadap dolar AS juga menurun hampir seperlima. Dari Rp 1.842 per dolar (1993) merosot ke Rp 9.890 per dolar (2013). Jadi, kalau ingin memperoleh tingkat keuntungan yang sama dengan 1993, harga setara Rp 700 (1993) itu sama dengan Rp 19.550 pada 2013 ini.
Keempat, mari kita lihat dengan perbandingan nilai daya beli masyarakat (berdasar GDP). Berdasar data BPS, pendapatan per kapita Indonesia pada 1993 adalah USD 780 dan USD 3.850 pada 2012. Sedangkan penurunan nilai rupiah terhadap dolar seperti tersebut di atas.
Jadi, dari segi daya beli masyarakat, nilai Rp 700 (1993) itu setara dengan Rp 14.997 (2013). Atau, jika logika hitungannya dibalik, nilai Rp 6.500 pada 2013 ini ''hanya'' senilai Rp 303 pada 1993.
Angka Rp 700 pada 1993 itu jelas lebih mencekik bagi masyarakat miskin. Tetep ora penak bagi wong cilik. So, jangan pernah teperdaya dengan ''kampanye'' romantis-nostalgik gaya ''Penak jamanku to, Le?''
Selalu gunakan akal sehat, apalagi menghadapi tahun politik yang pasti akan gaduh dengan gaya kampanye ''Penak jamanku to, Le?'' itu. Di Jogja sudah mulai ada partai politik memasang baliho dengan gaya mirip ''penak jamanku'' itu. Tulisannya merespons ''senyuman Soeharto'' tersebut. Bergambar ketua umum DPP dan DPD sebuah partai, baliho itu mengumbar janji: ''Tenang Mbah, jamanku mesti luwih penak.''
Semoga Mbah Harto tidak lagi diganggu hitung-hitungan ngawur dan bisa tenang di alam sana. ●
Tulisan seperti itu bisa ditemui dalam banyak media penyampai: stiker, kaus, poster, bak truk, media sosial, dan sebagainya. Aneka desain menarik dihadirkan. Ada yang digunakan untuk merespons para pejabat yang korup, untuk merespons meningkatnya kriminalitas, maraknya kerusuhan, dan semacamnya.
Tulisan bermakna ''Nyaman zaman siapa, Nak'' itu kali ini muncul mengiringi kenaikan harga BBM. Mereka menuliskan harga BBM ''enak di zaman Soeharto''. Mereka membandingkan harga BBM di era Orde Baru yang Rp 700 dengan harga BBM setelah dinaikkan, 15 Juni 2013, yang Rp 6.500.
Sepintas, apa yang disampaikan di atas benar adanya. Banyak yang menganggap bahwa harga BBM saat ini jauh lebih buruk jika dibandingkan dengan zaman Soeharto. Setidaknya, dari angka yang dibandingkan, terlihat harga saat ini hampir sepuluh kali lipat. Itu tentu menjadi satu indikasi yang digunakan untuk menggambarkan bahwa situasi saat ini tidak penak.
Entah siapa yang menebar tulisan nostalgia zaman Mbah Harto itu. Tapi, marilah mengedepankan akal sehat. Mari melihat kebenaran dari statemen yang dilontarkan lewat tulisan-tulisan yang membandingkan harga BBM zaman Soeharto dengan harga BBM mutakhir. Dengan akal sehat, akan banyak terlihat upaya pengaburan fakta yang nyata dari ''kampanye'' model ''Penak jamanku'' tersebut.
Pertama, mari kita lihat fakta yang tersaji. Di berbagai tulisan ''Penak jamanku'' yang disajikan hanyalah harga Rp 700/liter. Benarkah itu harga tertinggi di era Soeharto? Atau, apakah era Soeharto hanya sekali menaikkan harga BBM?
Jawaban untuk dua pertanyaan itu pasti: tidak. Harga tertinggi BBM di era Soeharto adalah Rp 1.200. Itu terjadi saat menjelang berakhirnya rezim Soeharto, 1998. Waktu itu harga BBM dinaikkan dari Rp 700 per liter menjadi Rp 1.200 per liter.
Lalu, era pemerintahan Soeharto dengan ''kepenak'' juga menaikkan harga BBM beberapa kali. Ambil contoh, Soeharto menaikkan harga BBM pada 1991 dari Rp 150/liter menjadi Rp 550 per liter (hampir 400 persen). Lalu, pada 1993, Soeharto menaikkan harga BBM dari Rp 550 per liter itu menjadi Rp 700 per liter. Kemudian, pada 1998, dari Rp 700 per liter menjadi Rp 1.200 per liter.
Ada upaya pengaburan fakta di sini. Mengapa bukan angka Rp 1.200 per liter yang dijadikan rujukan dalam ''kampanye'' model ''Penak jamanku'' itu?
Kemudian, jika kita mengukur kenaikan harga BBM dari Rp 150 per liter (1991) menjadi Rp 1.200 per liter (1998), Soeharto menaikkan harga BBM sebesar 700 persen. ''Presiden Soeharto tercatat sebagai presiden yang paling tinggi menaikkan harga premium, dengan kenaikan 700 persen dari Rp 150 menjadi Rp 1.200,'' kata ekonom Dradjad H. Wibowo.
Sedangkan pemerintahan SBY, persentase menaikkan harga BBM-nya lebih rendah daripada Soeharto. Saat awal SBY berkuasa, harga BBM adalah Rp 1.810 per liter. Tapi, dalam beberapa kali kenaikan, harga BBM saat ini adalah Rp 6.500 per liter. ''Jadi kenaikannya sebesar 359,1 persen,'' tegas Dradjad.
Kedua, mari kita baca harga bensin zaman Soeharto itu dengan harga komoditas lain. Kita ambil harga beras pada 1993 saat BBM dihargai Rp 700 per liter.
Dari berbagai referensi dan data yang didapat, harga beras pada 1993 adalah Rp 750/kilogram. Itu berarti satu liter bensin setara dengan 0,9 kg beras. Pada 2013, harga bensin Rp 6.500/lt dan harga beras Rp 9.000/kg. Seliter bensin setara dengan 0,7 kg beras. Jadi, harga bensin sekarang masih lebih murah jika dibandingkan dengan harga bensin pada 1993. Penak mana?
Ketiga, mari kita lihat dengan akal sehat, harga BBM dibandingkan dengan harga minyak dunia dan kurs rupiah. Lagi-lagi, mari kita cari tahu lewat ''Mbah Google''. Harga minyak dunia 1993 adalah USD 16,75 per barel. Sedangkan harga minyak dunia pada 2013 adalah USD 87,13/barel. Harga minyak dunia naik 5,2 kali lipat.
Nilai rupiah terhadap dolar AS juga menurun hampir seperlima. Dari Rp 1.842 per dolar (1993) merosot ke Rp 9.890 per dolar (2013). Jadi, kalau ingin memperoleh tingkat keuntungan yang sama dengan 1993, harga setara Rp 700 (1993) itu sama dengan Rp 19.550 pada 2013 ini.
Keempat, mari kita lihat dengan perbandingan nilai daya beli masyarakat (berdasar GDP). Berdasar data BPS, pendapatan per kapita Indonesia pada 1993 adalah USD 780 dan USD 3.850 pada 2012. Sedangkan penurunan nilai rupiah terhadap dolar seperti tersebut di atas.
Jadi, dari segi daya beli masyarakat, nilai Rp 700 (1993) itu setara dengan Rp 14.997 (2013). Atau, jika logika hitungannya dibalik, nilai Rp 6.500 pada 2013 ini ''hanya'' senilai Rp 303 pada 1993.
Angka Rp 700 pada 1993 itu jelas lebih mencekik bagi masyarakat miskin. Tetep ora penak bagi wong cilik. So, jangan pernah teperdaya dengan ''kampanye'' romantis-nostalgik gaya ''Penak jamanku to, Le?''
Selalu gunakan akal sehat, apalagi menghadapi tahun politik yang pasti akan gaduh dengan gaya kampanye ''Penak jamanku to, Le?'' itu. Di Jogja sudah mulai ada partai politik memasang baliho dengan gaya mirip ''penak jamanku'' itu. Tulisannya merespons ''senyuman Soeharto'' tersebut. Bergambar ketua umum DPP dan DPD sebuah partai, baliho itu mengumbar janji: ''Tenang Mbah, jamanku mesti luwih penak.''
Semoga Mbah Harto tidak lagi diganggu hitung-hitungan ngawur dan bisa tenang di alam sana. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar