|
JAWA
POS, 28 Juni 2013
''One thing you
can't hide is when you are crippled inside.''
(John Lennon)
soal jilbab kembali meramaikan publik, kadang mengiringi isu lain seperti korupsi. Memang banyak pemaknaan atas fenomena penggunaan jilbab. Sedikit kita ingat nama-nama yang sempat menghiasi beberapa media massa, mulai tokoh politik hingga peristiwa kriminal yang berujung pada kematian (pidana).
Sebut saja, ada Neneng Sri Wahyuni yang terdakwa korupsi seperti suaminya, M. Nazaruddin. Juga Afriyani Susanti, pengemudi mobil Xenia yang menewaskan sembilan orang di Halte Tugu Tani, Jakarta. Bahkan, termasuk kasus terbaru, mucikari yang masih siswi SMP di Surabaya yang digiring ke kantor polisi menyelinapkan raut muka di balik kerudung/slayer yang dibawanya.
Jilbab pada kasus-kasus tersebut bisa jadi dimaknai sebagai pelindung wajah dari aib yang sedang menimpa dirinya. Atau, bisa dimaknai bahwa si pemakai jilbab itu mengharapkan masyarakat memandang bahwa dirinya bukanlah perempuan yang jelek amat, buktinya masih berjilbab.
Tidak tertinggal Nunun Nurbaeti, Yulianis, dan Wa Ode Nurhayati dengan kasus yang sedang menjeratnya. Mereka semua berjilbab. Pada poin seperti ini, tentu ada masyarakat yang memaknai bahwa wanita-wanita itu secara tidak langsung memberikan citra buruk terhadap jilbab (Islam). Terbukti, mereka berjilbab, tapi terseret perbuatan tercela.
Ada yang berbeda. Polwan melakukan pilihan dengan keinginan berjilbab. Sudah jamak diketahui, kecuali di Aceh, tidak ada polwan (berani) yang berjilbab. Tentu fenomena itu sangat mungkin akan dimaknai sebagai kesadaran beragama yang datang dari nurani yang dimiliki, bukan karena model fashion belaka maupun karena aib yang menimpanya.
Menariknya, pada satu sisi, salah satu pemimpin atasan korps seragam cokelat itu menyerukan mundur bagi sang polwan tersebut. Sedangkan pada sisi lain, terdengar berita bahwa sang polwan siap mengundurkan diri. Tidak tertinggal, mulai pengurus MUI, anggota DPR, kalangan akademis, hingga komnas HAM ikut berbicara. Suatu hal yang sebenarnya gampang dan tidak perlu diributkan akhirnya menjadi rumit atau mungkin dirumitkan karena pikiran rancu.
Pada tingkat remaja, terkadang jilbab mengalami pergeseran makna. Jilbab yang semestinya dipakai sebagai pengontrol atas perilaku yang over bagi remaja perempuan seolah telah keluar dari pakem tersebut. Sering kita jumpai segala aktivitas (termasuk hiburan, konser, panggung rakyat) tidak pernah luput dari pengunjung remaja perempuan berjilbab yang mengekspresikan euforianya yang terkadang terasa janggal.
Belum lagi terkadang remaja pengguna jilbab dalam memilih busana kurang sesuai dengan pakem-pakem syariat. Mudah dilihat, remaja perempuan berjilbab tapi lengan terbuka atau pakaian dan celana ketat hingga ke atas. Saya sendiri menganggap itu adalah gejala awal menuju kesempurnaan berjilbab. Di sini, fungsi edukasi orang tua dan tokoh panutan sangat diperlukan.
Dalam Islam, kewajiban menutup aurat adalah hal yang esensial dan tidak banyak pertentangan. Mayoritas ulama Islam menyatakan bahwa seluruh tubuh perempuan yang sudah akil balig, kecuali muka dan telapak tangan, adalah aurat yang harus ditutup. Sarana menutup aurat tersebut adalah dengan jilbab sebagaimana dalam QS An-Nur (24:31). Ada juga istilah himar yang banyak diartikan dengan kerudung panjang. Jilbab dan himar itu berfungsi sebagai pelindung perempuan (hijab) dari terlihatnya aurat maupun gangguan dari luar.
Perintah Allah untuk menutup aurat di dalam Alquran selalu diawali dengan kata-kata perempuan yang beriman, yang menunjukkan betapa asasinya kedudukan hijab (jilbab/himar) bagi perempuan-perempuan mukminah. Jilbab/himar dalam kamus Arab disebut penutup aurat yang mengikat kepada perempuan untuk dikenakan dalam kehidupan sehari-hari, terutama ketika beraktivitas di ruang publik. Jilbab memberikan sinyal kepada makhluk jenis lain (kaum maskulin) bahwa yang mengenakannya (kaum feminin) mempunyai kontrol atau kendali dalam berperilaku, baik secara verbal maupun tindakan, agar terhindar dari perilaku yang menyimpang.
Itulah esensi makna jilbab dalam Islam. Jilbab memang bukan segala-galanya. Tapi, jilbab hanya salah satu cara agama Islam untuk menjadikan perempuan lebih terkendali. Harapan kita, semoga perempuan yang berjilbab tidak sekadar menutupi aib atas perilaku mereka. Perlu disadari, suatu aib atau cacat perilaku itu suatu saat pasti akan terbuka. Menyitir ucapan John Lennon di atas, satu hal yang tidak bisa kamu tutupi adalah ketika kamu mengalami kecacatan dalam dirimu.
Agama memang jangan sekadar simbol belaka, tetapi menjadi fondasi kebaikan. ●
soal jilbab kembali meramaikan publik, kadang mengiringi isu lain seperti korupsi. Memang banyak pemaknaan atas fenomena penggunaan jilbab. Sedikit kita ingat nama-nama yang sempat menghiasi beberapa media massa, mulai tokoh politik hingga peristiwa kriminal yang berujung pada kematian (pidana).
Sebut saja, ada Neneng Sri Wahyuni yang terdakwa korupsi seperti suaminya, M. Nazaruddin. Juga Afriyani Susanti, pengemudi mobil Xenia yang menewaskan sembilan orang di Halte Tugu Tani, Jakarta. Bahkan, termasuk kasus terbaru, mucikari yang masih siswi SMP di Surabaya yang digiring ke kantor polisi menyelinapkan raut muka di balik kerudung/slayer yang dibawanya.
Jilbab pada kasus-kasus tersebut bisa jadi dimaknai sebagai pelindung wajah dari aib yang sedang menimpa dirinya. Atau, bisa dimaknai bahwa si pemakai jilbab itu mengharapkan masyarakat memandang bahwa dirinya bukanlah perempuan yang jelek amat, buktinya masih berjilbab.
Tidak tertinggal Nunun Nurbaeti, Yulianis, dan Wa Ode Nurhayati dengan kasus yang sedang menjeratnya. Mereka semua berjilbab. Pada poin seperti ini, tentu ada masyarakat yang memaknai bahwa wanita-wanita itu secara tidak langsung memberikan citra buruk terhadap jilbab (Islam). Terbukti, mereka berjilbab, tapi terseret perbuatan tercela.
Ada yang berbeda. Polwan melakukan pilihan dengan keinginan berjilbab. Sudah jamak diketahui, kecuali di Aceh, tidak ada polwan (berani) yang berjilbab. Tentu fenomena itu sangat mungkin akan dimaknai sebagai kesadaran beragama yang datang dari nurani yang dimiliki, bukan karena model fashion belaka maupun karena aib yang menimpanya.
Menariknya, pada satu sisi, salah satu pemimpin atasan korps seragam cokelat itu menyerukan mundur bagi sang polwan tersebut. Sedangkan pada sisi lain, terdengar berita bahwa sang polwan siap mengundurkan diri. Tidak tertinggal, mulai pengurus MUI, anggota DPR, kalangan akademis, hingga komnas HAM ikut berbicara. Suatu hal yang sebenarnya gampang dan tidak perlu diributkan akhirnya menjadi rumit atau mungkin dirumitkan karena pikiran rancu.
Pada tingkat remaja, terkadang jilbab mengalami pergeseran makna. Jilbab yang semestinya dipakai sebagai pengontrol atas perilaku yang over bagi remaja perempuan seolah telah keluar dari pakem tersebut. Sering kita jumpai segala aktivitas (termasuk hiburan, konser, panggung rakyat) tidak pernah luput dari pengunjung remaja perempuan berjilbab yang mengekspresikan euforianya yang terkadang terasa janggal.
Belum lagi terkadang remaja pengguna jilbab dalam memilih busana kurang sesuai dengan pakem-pakem syariat. Mudah dilihat, remaja perempuan berjilbab tapi lengan terbuka atau pakaian dan celana ketat hingga ke atas. Saya sendiri menganggap itu adalah gejala awal menuju kesempurnaan berjilbab. Di sini, fungsi edukasi orang tua dan tokoh panutan sangat diperlukan.
Dalam Islam, kewajiban menutup aurat adalah hal yang esensial dan tidak banyak pertentangan. Mayoritas ulama Islam menyatakan bahwa seluruh tubuh perempuan yang sudah akil balig, kecuali muka dan telapak tangan, adalah aurat yang harus ditutup. Sarana menutup aurat tersebut adalah dengan jilbab sebagaimana dalam QS An-Nur (24:31). Ada juga istilah himar yang banyak diartikan dengan kerudung panjang. Jilbab dan himar itu berfungsi sebagai pelindung perempuan (hijab) dari terlihatnya aurat maupun gangguan dari luar.
Perintah Allah untuk menutup aurat di dalam Alquran selalu diawali dengan kata-kata perempuan yang beriman, yang menunjukkan betapa asasinya kedudukan hijab (jilbab/himar) bagi perempuan-perempuan mukminah. Jilbab/himar dalam kamus Arab disebut penutup aurat yang mengikat kepada perempuan untuk dikenakan dalam kehidupan sehari-hari, terutama ketika beraktivitas di ruang publik. Jilbab memberikan sinyal kepada makhluk jenis lain (kaum maskulin) bahwa yang mengenakannya (kaum feminin) mempunyai kontrol atau kendali dalam berperilaku, baik secara verbal maupun tindakan, agar terhindar dari perilaku yang menyimpang.
Itulah esensi makna jilbab dalam Islam. Jilbab memang bukan segala-galanya. Tapi, jilbab hanya salah satu cara agama Islam untuk menjadikan perempuan lebih terkendali. Harapan kita, semoga perempuan yang berjilbab tidak sekadar menutupi aib atas perilaku mereka. Perlu disadari, suatu aib atau cacat perilaku itu suatu saat pasti akan terbuka. Menyitir ucapan John Lennon di atas, satu hal yang tidak bisa kamu tutupi adalah ketika kamu mengalami kecacatan dalam dirimu.
Agama memang jangan sekadar simbol belaka, tetapi menjadi fondasi kebaikan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar