|
KOMPAS,
26 Juni 2013
Konflik
agraria dan sengketa pertanahan di negeri ini merebak di segala sektor dan
penjuru yang memicu konflik sosial lebih luas. Masalah pertanahan bersifat
multidimensi dan kompleks sebab aspek sosial, ekonomi, ekologi, politik, dan
pertahanan keamanan berkelindan.
Maraknya
konflik dan sengketa pertanahan belum bisa diselesaikan regulasi dan institusi
yang ada. Penyebab utamanya, ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah, serta kekayaan alam lain sehingga lahirlah rasa
ketidakadilan dan ketakpastian hukum di masyarakat. Orientasi politik agraria
nasional pun cenderung memihak pemodal besar dan meminggirkan rakyat kecil.
Peraturan perundang-undangan keagrariaan bersifat sektoral, tak sinkron, dan
tak harmonis sehingga terjadi tumpang-tindih regulasi. Birokrasi pemerintah
pengelola keagrariaan pun cenderung ego-sektoral, tak terkoordinasi dengan
solid dan sinergis.
Selain
itu, otonomi daerah tanpa strategi pemberdayaan pemerintah dan masyarakat juga
memicu ketegangan kewenangan pemerintah pusat dan daerah. Yang paling pokok,
hingga kini belum ada produk legislasi, regulasi, dan institusi khusus yang
berwenang menangani dan menyelesaikan konflik pertanahan secara komprehensif.
Arah
kebijakan baru
Kini,
perlu reorientasi politik dan kebijakan agraria nasional. Orientasi pembangunan
perlu diarahkan kepada paradigma dan praktik pembangunan ekonomi populis dan
demokratis yang mengutamakan semangat gotong royong berdasarkan Pancasila dan
konstitusi. Politik agraria nasional harus dijauhkan dari kapitalisme dan
neoliberalisme. Politik agraria nasional harus menempatkan rakyat sebagai tuan
di atas tanahnya sendiri.
Pada
aspek peraturan perundang-undangan, perlu dikaji ulang dan penataan menyeluruh
dengan merujuk nilai-nilai dasar Pancasila, UUD 1945 (Pasal 33 Ayat 3), dan UU
No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria. Presiden hendaknya
membentuk ”satgas” yang mengkaji ulang seluruh peraturan perundang-undangan
terkait tanah dan kekayaan alam yang melibatkan instansi terkait dibantu pakar
dan LSM yang kompeten. Pembentukan mekanisme dan kelembagaan untuk menangani
konflik dan sengketa pertanahan harus dilandasi dasar hukum yang kokoh.
Birokrasi
keagrariaan pemerintah pun perlu direnovasi. Kewenangan BPN diperkuat dan
diperluas, disertai pembenahan birokrasi dan peningkatan kualitas komitmen
aparaturnya. Semua kementerian terkait yang membidangi pertanahan, pertanian,
perkebunan, kehutanan, pertambangan, kelautan, dan pesisir diarahkan ke satu
kebijakan strategis nasional. Lebih mantap jika dibentuk ”Kementerian
Koordinator Agraria dan Pengelolaan SDA” yang mengonsolidasikan kementerian
terkait menuju efektivitas politik dan kebijakan agraria baru.
Tak
kalah penting, penataan ulang otonomi daerah. Kewenangan pemerintah di bidang
pertanahan yang dimiliki pemerintah pusat untuk menjaga integritas NKRI
ditegaskan sambil menata arah kebijakan desentralisasi yang lebih terintegrasi.
Pembagian kewenangan di bidang pertanahan antara pemerintah pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota diperjelas dan dijalankan secara konsisten.
Kelembagaan
khusus
Terkait
kelembagaan, tak terelakkan diperlukan pembentukan kelembagaan khusus untuk
menangani dan menyelesaikan konflik dan sengketa pertanahan secara tuntas,
utuh, dan menyeluruh. Paradigmanya: hukum progresif dan keadilan transisional.
Pendekatannya, sosial dan budaya yang mengakomodasi kebinekaan sistem
penguasaan dan penggunaan tanah rakyat dipadukan, khususnya masyarakat adat dan
lokal. Ruang mediasi dan mekanisme resolusi konflik alternatif perlu dibuka.
Penyelesaian masalah pertanahan mengedepankan kebersamaan yang menguntungkan
semua pihak secara adil dan berkepastian hukum.
Mengingat
kompleksitas permasalahan pertanahan dan keterbatasan kapasitas dan respons
kelembagaan yang ada, di sinilah relevansi menghadirkan peradilan khusus
keagrariaan. Kini saatnya merintis pembentukan pengadilan pertanahan di bawah
peradilan umum di lingkungan Mahkamah Agung. Pengadilan pertanahan ini diisi
para hakim dan aparatus yang terdidik dan terlatih khusus untuk menangani
perkara keagrariaan yang kompleks dan multidimensi.
Tentu
saja, penanganan konflik agraria dan sengketa pertanahan harus diletakkan dalam
konteks pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam sebagai
jalan menuju perwujudan masyarakat adil, makmur, bahagia, dan sejahtera,
seperti impian pendiri republik. Jika pemerintahan sekarang tak sanggup
mewujudkannya, ini pekerjaan rumah bagi pemerintahan baru yang akan dibentuk
melalui Pemilu 2014. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar