|
KOMPAS,
27 Juni 2013
Jika
ada hal mengusikmu, bertanyalah. Sebab dari pertanyaan akan lahir pengetahuan.
Namun, terus bertanya tanpa berbuat apa-apa, itu sia-sia. Jadi, lebih baik
setelah bertanya, berbuatlah. Itu jauh lebih berguna untuk semua.
Pertanyaan-pertanyaan
itu pula yang saat ini terus bergelayut di benak Salahuddin Wahid (71), pengasuh
Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.
Bagaimana
mungkin Indonesia, negeri yang begitu kaya sumber daya, tidak bisa
memanfaatkannya. Justru Bank Dunia menyebut 50 persen dari 230-an juta warga
Indonesia masuk kategori miskin? Dan bagaimana pula, dari negeri yang kaya ini,
jutaan warganya harus bergantung hidup ke negara lain yang lebih kecil dan
tidak dianugerahi sumber daya melimpah seperti Indonesia?
”Saya
tidak tahu jawabannya. Ya, hanya pertanyaan demi pertanyaan tentang Indonesia
saja,” ungkap Gus Sholah, panggilan akrabnya. Pertanyaan itu pula yang selalu
dibaginya kepada siapa pun yang diajak berbicara. Siapa tahu, satu dari sekian
orang yang diajak bicara itu mampu menemukan jawabannya.
Daripada
hanya bertanya dan tidak berbuat apa-apa tentang hal yang mengusiknya, Gus
Sholah pun memilih mengerjakan apa yang ia bisa, yaitu berkiprah di dunia
pendidikan. Baginya, pendidikan adalah pilar.
Pada
2006, Gus Sholah diserahi tanggung jawab oleh pamannya, Yusuf Hasjim, untuk
menggantikannya mengasuh Ponpes Tebuireng. Pada saat yang sama, kala itu ia
bersiap-siap mengemban tugas baru untuk menjadi duta besar di Mesir atau
Aljazair. Namun, panggilan jiwa akhirnya membawa Gus Sholah memilih mengabdikan
ilmu dan kemampuannya mendidik generasi muda Indonesia di Ponpes Tebuireng.
Meski
tidak memiliki dasar sebagai pendidik, kemampuan mengelola orang serta bekerja
sistematis saat menjadi arsitek, ditambah bekal pengetahuan agama dan ilmu
kehidupan dari orangtua, meyakinkan Salahuddin bahwa dirinya mampu mengemban
amanat memajukan pondok pesantren yang dibangun pada 1899 tersebut.
Jujur
Tiga
hal pertama yang disyaratkan Gus Sholah kepada santri, siswa, dan komunitas
Ponpes Tebuireng, yaitu bersikap jujur, anti-kekerasan, dan bersih. ”Bagi saya,
jujur adalah kunci segalanya. Semua karakter unggul tidak ada artinya kalau
tidak jujur. Kepandaian tidak ada gunanya kalau tidak jujur. Yang ada, nantinya
hanya akan menjadi koruptor dan menipu bangsa sendiri,” ujar suami dari Farida
Saifudin Zuhri tersebut.
Tiga
dasar itulah yang diletakkan adik Gus Dur tersebut dalam mengelola Ponpes
Tebuireng. Siapa yang berbuat salah, dia harus melakukan ’pengakuan dosa’ di
hadapan seluruh komunitas pesantren Tebuireng seusai Shalat Dhuha. Di Ponpes
Tebuireng, Shalat Dhuha dilakukan lebih kurang pada pukul 06.45.
Kejujuran
dan anti-kekerasan bagi Gus Sholah penting. Ia tidak ingin melahirkan generasi
muda pintar, tetapi hanya pandai menipu atau menyakiti sesama. Gus Sholah
dikenal sebagai sosok anti-kekerasan. Ia salah seorang aktivis penegakan hak
asasi manusia (HAM) di Indonesia. Ia pun ingin melahirkan generasi penerus yang
bisa mengikuti jejaknya membela hak-hak orang tertindas.
”Bicara
soal penegakan HAM, saat ini yang menjadi perhatian hanya hak sipil politik.
Untuk hak ekonomi, sosial, dan budaya masih belum tersentuh,” ujarnya, seakan
mengingatkan dan memberikan pekerjaan rumah kepada semua orang bahwa masih
banyak hal harus dilakukan.
Gus
Sholah selalu mengajak anak didiknya berdiskusi mengenai perkembangan bangsa.
Kasus kekerasan di Indonesia, seperti kekerasan Sampang, Ahmadiyah, atau
kekerasan kepada minoritas lain, menjadi bahasan bersama. Berdiskusi dengan
sudut pandang agama, sosial kemasyarakatan, ataupun sudut pandang negara. Bukan
untuk mengajarkan dogma, tetapi mengingatkan kepada anak didiknya bahwa
perbedaan akan selalu ada.
”Berbeda
itu pasti. Namun, berbeda bukan berarti harus bermusuhan,” tutur ayah tiga anak
dan kakek tujuh cucu ini. Dan perbedaan, bagi Gus Sholah, harus disikapi dengan
toleran.
Sikap
toleran diajarkan Gus Sholah kepada komunitas Ponpes Tebuireng dengan cara
menerima live-in pastor atau pemuka agama lain di dalam pondok. Puasa tahun
ini, ia juga kembali menerima serombongan pastor yang ingin mengetahui tentang
puasa.
”Ini
membiasakan siswa dan santri dengan perbedaan. Membiasakan mereka menerima,
mengenal, dan toleran dengan perbedaan. Sehingga saat ada bisikan radikalisme
dan anti-perbedaan, mereka tidak mudah dihasut,” ujar Gus Sholah.
Saat
ini, ada enam institusi pendidikan di bawah Ponpes Tebuireng, yaitu SMP, SMA,
MTS, MAN, Mualimin, dan Ma’had Ali. Dua jenjang pendidikan terakhir adalah
jenjang pendidikan setara SMA dan perguruan tinggi bagi mereka yang ingin
menjadi ulama. Dua institusi ini dihidupkan kembali oleh Gus Sholah saat ia
mulai mengasuh ponpes tersebut.
Sains
Di
luar itu, Ponpes Tebuireng juga membangun SD dan SMA sains, tidak jauh dari
lokasi Ponpes Tebuireng. SD ini dibangun karena membangun pendidikan
berkualitas harus dimulai dari pendidikan dasar. Adapun SMA sains, dirintis
untuk melahirkan generasi cakap di bidang sains, yang bersumber pada Al Quran.
Selama
ini, ilmu agama dianggap bertentangan dengan ilmu sains. Gus Sholah ingin
menepis hal itu. Bahwa sains dan ilmu agama bisa berjalan beriringan.
Melalui
pendidikan, Gus Sholah mengajak bangsa ini berbenah. Ponpes Tebuireng
menerapkan standar pendidikan tinggi bagi 2800-an anak didiknya. Sebanyak 250
guru di sana selalu menjalani tes atau peningkatan kemampuan (upgrading).
Tujuannya, sebelum mencetak siswa berkualitas, pesantren harus memiliki guru
berkualitas terlebih dahulu. Jika kemampuan guru belum mencukupi, guru tersebut
harus menjalani upgrading.
Guru
Ponpes Tebuireng pun akan diminta magang di sekolah lain. Tujuannya, terjadi
transfer ilmu bagi kedua belah pihak. Berbagi ilmu, berbagi pengalaman, berbagi
harapan munculnya perbaikan dunia pendidikan di negeri ini.
Mendidik
generasi muda dengan caranya, Gus Sholah berharap, nantinya anak-anak muda ini
bisa menyelesaikan empat persoalan utama bangsa, yaitu lemahnya penegakan
hukum, hukum hanya garang pada orang miskin dan tumpul bagi orang berada;
birokrasi berbelit yang hanya tunduk pada uang; pendidikan yang tidak
memintarkan; serta ekonomi yang tidak menyejahterakan. Kapan itu semua
teratasi? Semua masih menjadi pertanyaan hingga kini.
Mari
terus bertanya tentang Indonesia. Karena selama ada yang bertanya, maka akan
ada yang berpikir, berusaha mencari jawab dan berbuat atasnya. Bertanya,
berpikir, dan berbuat bersama demi bangsa.... ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar