|
KOMPAS,
28 Juni 2013
Apakah ”pemilu” lebih tepat
dimaknai sebagai pemilihan umum atau sebagai pembuat pilu? Pertanyaan yang
cenderung nyeleneh ini muncul setelah melihat beberapa perkembangan terakhir.
Contoh paling mutakhir, sebagaimana dilansir Komisi Pemilihan Umum, sejumlah
calon sementara anggota DPR keberatan daftar riwayat hidupnya dipublikasikan.
Meskipun secara kuantitas hanya 140
nama yang keberatan (Kompas, 26/6), kejadian ini menjadi bukti awal adanya
kesenjangan antara rakyat dan calon wakil mereka di lembaga perwakilan. Jika
dalam status ”calon sementara” saja menghindar dari prinsip keterbukaan, bukan
tidak mungkin pada saat menjadi anggota DPR mereka bertindak di luar logika
rakyat.
Dalam konteks demokrasi, pemilu tak
hanya dimaksudkan untuk menghadirkan mandat baru bagi suatu
pemerintahan,
tetapi juga memilih pemimpin yang kredibel. Membiarkan pemilu minus keterbukaan
sama saja dengan memilih ”kucing dalam karung” dan berpeluang memberikan mandat
politik kepada penjahat.
Rangkaian
kepiluan
Keberatan membuka daftar riwayat
hidup hanya salah satu dari peristiwa memilukan dalam penyelenggaraan pemilu di
negeri ini. Sebelumnya, tersiar pula data yang tidak kalah memilukan, yaitu
lebih dari 62 persen calon sementara anggota DPR yang diajukan partai politik
berdomisili dalam wilayah Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek).
Bagi sebagian partai politik
peserta pemilu, angka itu pasti tidak sepenuhnya dilihat sebagai persoalan
serius dalam konsep representasi. Penumpukan calon di Jabodetabek akan
menghadirkan pula anggota DPR yang secara faktual bukan berasal dari atau
mewakili daerah pemilihan. Karena itu, tidak terlalu berlebihan pula bentangan
fakta selama ini banyak anggota DPR hilang keterikatan dan ketersambungan
dengan pemilih setelah pelaksanaan pemilu.
Dengan komposisi seperti itu,
sebagian anggota DPR kehilangan legitimasi secara signifikan untuk
merepresentasikan kepentingan daerah pemilihan. Karena itu, tidak perlu heran
jika dari satu periode ke periode pemilihan yang lain seorang calon memilih
daerah pemilihan yang berbeda. Selain menegasikan signifikansi daerah
pemilihan, parpol yang memilih dan mempertahankan pola seperti ini gagal keluar
dari sentralisme kekuasaan di tengah tuntutan desentralisasi.
Tidak hanya dalam soal jumlah yang
tersentralisasi di Jabodetabek, daerah kian pilu juga karena parpol cenderung
menempatkan calon yang tak berdomisili di daerah pemilihan pada nomor urut
kecil. Bahkan, sebagian terbukti tak menunjukkan kepedulian di daerah pemilihan
dan sebagian hadir dengan catatan bermasalah. Benar, yang terpilih adalah
mereka yang meraih suara terbanyak, tetapi merujuk pengalaman yang ada, calon
yang berada di nomor urut kecil memiliki peluang lebih besar terpilih.
Selain gambaran di tahapan
pencalonan, kepiluan lain juga dapat ditelusuri dari praktik politik uang yang
makin masif. Sadar atau tidak, penyelenggaraan pemilu dalam beberapa waktu
terakhir benar-benar menjebak rakyat dalam memilih. Anjuran ”terima uangnya,
tetapi jangan pilih orangnya” gagal mencegah meruyaknya praktik politik uang.
Bahkan, dalam batas-batas tertentu, anjuran tersebut telah memerosokkan pemilih
kian pragmatis dan permisif dalam politik uang.
Ketika upaya meraih dukungan
pemilih oleh sebagian calon anggota DPR dilakukan dengan politik berbiaya
tinggi, segala cara dilakukan demi menumpuk uang. Terlepas dari mana sumber
uangnya, hampir dapat dipastikan, bagi sebagian yang terpilih jadi anggota DPR,
mengembalikan modal selama proses pemilu jelas jadi target khusus mereka. Tak
perlu heran bila sebagian anggota DPR tersangkut kasus korupsi ”menggoreng”
anggaran di DPR.
Tidak hanya anggota DPR,
berdasarkan catatan Kementerian Dalam Negeri, hingga akhir Mei 2013 juga
terdapat 293 kepala daerah terbelit masalah hukum. Tak hanya eksekutif,
legislator daerah pun terjangkit masalah serupa.
Jalan
keluar
Gambaran rangkaian kepiluan
tersebut tak perlu terjadi sampai pada level yang dapat dikatakan akut. Di
antara cara yang paling mungkin, parpol memperbaiki komitmen mereka untuk
mengubah potret buram perjalanan demokrasi di negeri ini. Dalam banyak
kesempatan, saya acap kali mengemukakan, kunci utama memperbaiki kondisi saat
ini: parpol harus dibenahi dengan serius dan mendasar. Tidak sebatas itu,
parpol juga harus didorong bergerak dengan paradigma baru.
Alasan mendasar untuk mengatakan
bahwa parpol sebagai kunci utama tidak dapat dilepaskan dari posisinya dalam
UUD 1945. Jamak diketahui, pasca-perubahan UUD 1945, hampir tidak ada proses
pengisian lembaga-lembaga negara yang tidak bersentuhan dengan parpol. Terkait
masalah ini, dalam sesi tanya jawab diskusi Lingkar Muda Indonesia (LMI)-Kompas (15/5/2013),
dikemukakan, posisi parpol benar-benar superior dan punya peran paling
menentukan dalam pengisian lembaga-lembaga demokrasi, termasuk dalam pengisian
anggota DPR, DPRD, dan presiden/wakil presiden.
Dengan memperbaiki komitmen, parpol
tidak akan bergerak di luar kendali dalam membangun demokrasi. Komitmen yang
dibutuhkan antara lain meraup suara pemilih minus politik uang. Selama parpol
gagal menempatkan praktik politik uang sebagai sesuatu yang haram, jangan
pernah bermimpi pemilu akan segera memendekkan jarak guna mencapai tujuan
bernegara. Jangankan memangkas jarak, bukan tidak mungkin negeri ini akan kian
terlilit dalam labirin kepiluan.
Sebelum itu terjadi, sebagai
pemegang kedaulatan, rakyat (terutama pemilih) harus berada di garis terdepan
mengakhiri rangkaian kepiluan yang terjadi. Karena sekarang dalam situasi menjelang
Pemilu 2014, harusnya rakyat menghukum parpol yang telah terbukti menghadirkan
rangkaian kepiluan. Misalnya, bagi parpol yang memaksakan calon bukan dari
daerah pemilihan yang bersangkutan, langkah menolak harus dilakukan secara
masif dan sistematis.
Rakyat harus mampu mengakhiri bahwa
pemilihan anggota DPR ajang pesta calon dari Jabodetabek. Hukuman setimpal pun
perlu diberikan kepada parpol yang selama ini cenderung mengabaikan rakyat.
Karena itu, perlu komitmen bersama: Pemilu 2014 tidak lagi memberikan
kesempatan bagi politisi yang memiliki kebiasaan menggadaikan mandat rakyat.
Sekiranya hal ini terjadi, pemilu tidak lagi perlu dimaknai sebagai pembuat
pilu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar