|
MEDIA
INDONESIA, 26 Juni 2013
SERBUAN narkotika dan obat/bahan
berbahaya (narkoba) tak henti menggempur negeri ini. Banyaknya celah pintu
masuk narkoba, mulai harganya tinggi, peminatnya membeludak, ditambah penegakan
hukum yang kurang bergigi dan mentalitas aparat yang bobrok, praktis makin
menyuburkan peredaran dan penyalahgunaan narkoba di Tanah Air.
Sulitnya penanganan permasalahan narkoba di Indonesia tak
lepas dari ketiadaan sinergi dan komitmen aparat penegak hukum baik kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, maupun lembaga pemasyarakatan (LP). Hal itu terlihat
dalam setiap proses peradilan, dari proses penyidikan, penuntutan, vonis hakim,
sampai pelaksanaan eksekusi pemidanaan di LP, yang masih dipenuhi nuansa intrik
dan tipu daya. Keinginan Undang-Undang No 35/2009 tentang Narkotika tidak
berbanding lurus dengan proses penegakan hukum di lapangan.
Permasalahan narkoba kian akut dengan beralih fungsinya LP
menjadi pusat kendali peredaran narkoba. LP yang seharusnya bisa memutus mata
rantai kejahatan narkoba justru menjadi sarang bandar narkoba mengembangkan
bisnis haram tersebut. Belakangan muncul opini bahwa LP telah menjadi lahan
subur peredaran dan pengendalian narkoba di Indonesia, bahkan 80% kasus narkoba
di Indonesia dikendalikan dari penjara.
Beberapa tahun terakhir, aparat Badan Narkotika Nasional
(BNN) bersama kepolisian menangkap sejumlah pengendali peredaran gelap narkoba
skala besar yang beroperasi dari dalam LP, di antaranya kasus di Nusakambangan
yang melibatkan Surya Bahadur Tamang alias Boskhi alias Kiran alias David. Warga
Nepal itu mengendalikan peredaran gelap 4,2 kilogram (kg) sabu, dan 870 gram
heroin, lalu uang tunai US$175 ribu serta Rp4 miliar disita dari jaringan itu.
Di Nusakambangan, BNN juga menangkap Kepala LP dan ja ringan narkoba yang
digawangi Hartoni yang mengendalikan peredaran sabu 1 kg per hari dalam lima
tahun.
Selain di Nusakambangan, aparat BNN dan kepolisian
menangkap sipir dan narapidana yang terlibat peredaran narkoba di LP Cipinang.
Sipir Deni Sastori alias Densos ditangkap aparat BNN karena mengoperasikan
pabrik sabu berkedok konveksi di Jakarta Timur. George Oblina, seorang
narapidana yang masih berada dalam LP, bahkan memesan 103 gram heroin dari
Nigeria.
Begitu leluasa
Kasus lain yang menyedot perhatian publik ialah kasus Adami
Wilson alias Adam alias Abu, warga negara Malawi yang ditangkap pada 2003. Saat
menanti eksekusi mati, ia kembali ditangkap petugas BNN pada September 2012
ketika menjalani perawatan di RS t Cilacap. Adam terlibat bisnis C sabu seberat
8,7 kg senilai Rp17,4 miliar dengan menugasi kurir dalam menjalankan bisnis
barang haram tersebut.
Kasus terkini terkait dengan peredaran narkoba dari dalam
penjara ialah penangkapan Nico alias Siang Fuk, narapidana yang divonis 17
tahun penjara dan denda Rp2 miliar karena kasus penembakan bus Trans-Jakarta di
halte busway Pluit, Jakarta Utara, dan kepemilikan narkotika pada awal 2011.
Nico alias Siang Fuk ialah pengendali pabrik ekstasi rumahan di Citra Garden,
Kalideres, Jakarta Barat, yang dioperasikan tersangka Ricky alias Piong. Terali
besi ternyata tak cukup kuasa menghentikan upaya para penjahat narkoba
berbisnis barang haram tersebut. Vonis mati pun bahkan seolah tidak cukup men
jerakan para penjahat narkoba.
Beralih fungsinya LP menjadi pusat kendali peredaran
narkoba merupakan potret buram manajemen LP yang compang-camping. LP ternyata
bukanlah tempat para penjahat narkoba, para bandit, dan koruptor dibina
mental-spi ritual untuk menjadi manusia `utuh dan bermartabat' yang siap hidup
normal dalam lingkungan sosialnya kelak.
LP tak lebih dari lahan subur bagi tersemainya benih-benih
penyakit sosial seperti perjudian, narkoba, pemerasan, kekerasan, dan altar
tempat bisnis berbahaya.
Mengurai problematik yang terjadi di LP ten tunya tidak
bisa ditimpakan pada problem yang dihadapi s u b sistem lembaga penegakan hukum
di LP saja. Persoalan seputar LP yang beralih fungsi menjadi tempat peredaran
narkoba disebabkan adanya problem utama dalam criminal justice system. Salah satunya ialah ketidakpastian
eksekusi mati para penjahat narkoba yang berada di LP.
Terkait dengan eksekusi mati para penjahat narkoba, data
teranyar Kejaksaan Agung menyebutkan jumlah terpidana mati kasus narkoba
mengalami penyusutan dari 71 orang menjadi 49 orang lantaran mengalami
peringanan hukuman, 4 di antaranya sudah berkekuatan hukum tetap dan akan
dieksekusi tahun ini.
Penyusutan jumlah terpidana mati kasus narkoba akibat
peringanan hukuman tentu menimbulkan pertanyaan di benak publik. Kenapa
terpidana mati kasus nar koba diberi keringanan hukuman? Bukankah kerusakan
akibat yang ditimbulkan perbuatan mereka sangat luar biasa dahsyat? Apakah hukuman
mati sudah dihapus di negara ini? Atau, apakah sistem penegakan hukum di negeri
ini telah dibajak jaringan kartel narkoba?
Hukum mati
Wacana seputar hukuman mati akan selalu menuai pro dan
kontra. Tiap pihak memiliki argumentasi sebagai dasar pembenaran. Kendati
wacana hukuman mati cenderung luntur terutama dikaitkan dengan HAM, faktanya
hukuman mati masih dipraktikkan di berbagai negara. Pada 2012 terdapat sebanyak
24 negara yang menjatuhkan hukuman mati kepada pelaku kejahatan narkoba. Negara
tersebut antara lain Afghanistan, Bangladesh, Brunei, Tiongkok/China, Mesir,
Taiwan, Iran, Irak, Kuwait, Malaysia, Oman, Thailand, Filipina, Amerika
Serikat, dan Singapura.
Kalangan yang tidak setuju dengan hukuman mati beralasan
bahwa hukuman mati di luar perikemanusiaan dan melanggar hak asasi manusia
(HAM). Hukuman mati dianggap tak edukatif. Bila di kemudian hari ditemukan
kesalahan dalam penjatuhan vonis, hukuman tersebut tak dapat dikoreksi karena
sang terpidana telanjur dieksekusi.
Nyatanya sampai saat ini masih ada 40 negara yang masih
mempertahankan hukuman mati atau disebut kelompok negara retensionis dan 7
negara kelompok retensionis untuk kondisi khusus, misalnya dalam keadaan
perang. Ada 100 negara yang telah menghapuskan hukuman mati atau disebut
kelompok negara abolosionis.
Sementara itu, terdapat pula 38 negara sekalipun mengatur hukuman mati, tetapi
telah 10 tahun melakukan moratorium seperti Chad, Kuba, Qatar, dan Zimbabwe (Muladi, 2013).
Dalam hal ini Indonesia termasuk kelompok negara
retensionis yang berarti bahwa secara de
facto dan de jure Indonesia
mengakui hukuman mati untuk segala kejahatan. Amerika Serikat sebagai negara
yang dianggap simbol dan pelopor demokrasi dan HAM juga termasuk kategori ini. Setidaknya
terdapat 38 negara bagian di Amerika Serikat yang masih mengatur dan
melaksanakan hukuman mati.
Terkait dengan urgensi pemberian sanksi hukuman mati pada
kasus kejahatan narkoba, terdapat beberapa alasan yang dapat dijadikan
pertimbangan.
Pertama, hukuman mati dinilai dapat memberikan efek bagi mereka yang ingin
mencoba masuk dalam bisnis narkoba. Kedua, sebagian besar terpidana kasus
narkoba tidak menunjukkan rasa bersalah dan penyesalan telah melakukan
kejahatan luar biasa membunuh generasi penerus bangsa serta mereka terus
berbisnis narkoba dari balik penjara. Dana dari bisnis narkoba digunakan untuk
`membiayai' upaya hukum dalam rangka mendapatkan keringanan hukuman. Ketiga,
perbuatan mereka mengakibatkan penderitaan hidup yang luar biasa bagi para
korban penyalahgunaan narkoba.
Kendati hukuman mati menurut kalangan yang kontra tidak
akan mampu memberikan efek jera bagi para pelaku kejahatan narkoba, yang lebih
penting dan harus dijadikan pertimbangan utama dalam penentuan vonis hukuman
mati ialah dampak atau akibat buruk yang ditimbulkan dari perbuatan pelaku
kejahatan narkoba. Pemberlakuan hukuman mati kepada para penjahat narkoba
merupakan pilihan bijak dan mencerminkan nilai-nilai keadilan.
Menyegerakan eksekusi mati penjahat narkoba setidaknya akan
memutus mata rantai sindikat narkoba sekaligus menyelamatkan jutaan generasi
penerus bangsa dari jeratan narkoba. Alhasil, segerakan eksekusi mati para
penjahat narkoba sebelum mereka mengeksekusi mati para generasi penerus bangsa
dengan narkoba. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar