|
SUARA
KARYA, 27 Juni 2013
Disahkannya Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2013 oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI
memuluskan jalan bagi pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM)
bersubsidi sebesar 33 persen. Harga premium akhirnya naik dari Rp. 4.500 per
liter menjadi Rp 6.500 per liter, sedangkan solar dari sebelumnya berharga Rp
4.500 per liter naik menjadi Rp 5.500 per liter.
Kenaikan harga BBM saat ini
merupakan yang kedua kalinya dalam masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) selama kurang lebih 9 tahun. Kita ingat, pada tahun 2008 harga
BBM untuk premium dan solar sempat dinaikkan, namun kemudian kembali diturunkan
karenan stabilnya harga minyak dunia saat itu.
Memang, kenaikan harga BBM ini
dianggap menjadi momok bagi masyarakat miskin dan menengah ke bawah. Seperti
dikhawatirkan jauh hari sebelumnya, kenaikan harga BBM mengakibatkan harga
barang-barang kebutuhan pokok ikut melambung tinggi. Terlebih lagi, menjelang
datangnya bulan Ramadhan menyambut Hari Raya Idul Fitri. Dalam kondisi stabil
pun, tidak ada kenaikan BBM, setiap memasuki bulan puasa menyambut Idul Fitri,
harga barang-barang kebutuhan selalu naik karena tingginya permintaan. Dhus,
kalau harga BBM juga naik, maka dapat dipastikan kenaikan harga kebutuhan pokok
akan membubung secara signifikan.
Padahal, tujuan utama dari
kenaikan harga BBM adalah untuk mengalokasikan subsidi agar tepat sasaran,
sehingga tidak hanya dinikmati oleh masyarakat yang tergolong mampu. Selain
itu, kenaikan BBM mendesak perlu dilakukan untuk mencegah jebolnya APBN akibat
menanggung besarnya subsidi yang diberikan terhadap BBM. Tanpa penyelamatan
melalui kenaikan harga BBM bersubsidi, perekonomian nasional terancam berada di
ambang kehancuran.
Kurangi Konsumsi
Sudah menjadi pengetahuan umum
bahwa Indonesia bukan lagi menjadi negara pengeskpor minyak sejak mundurnya
Indonesia dari keanggotaan Organization of the Petroleum Exporting Countries
(OPEC) tahun 2008. Produksi minyak Indonesia saat ini rata-rata mencapai 930
ribu barel per hari (bph), padahal jumlah kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) di
dalam negeri rata-rata diperkirakan 1,4 juta bph. Oleh sebab itu, untuk
memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri, kita harus mengimpor BBM yang menyebabkan
membengkaknya APBN.
Dengan keluarnya Indonesia dari
OPEC, kita harus menyadari bahwa cadangan minyak dalam negeri sudah semakin
menipis. Berdasarkan laporan Satuan Kerja Khusus Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), cadangan minyak Indonesia saat ini hanya
3,9 miliar barel dan apabila diproduksi sekitar 800-900 barel setiap hari, maka
kira-kira cadangan minyak Indonesia akan habis dalam jangka waktu 12 tahun ke
depan.
Oleh karenanya, salah satu cara
untuk mencegah hal tersebut adalah dengan mengurangi konsumsi BBM itu sendiri,
baik untuk keperluan rumah tangga maupun untuk keperluan industri. Pengurangan
konsumsi ini dapat dilakukan dengan pembatasan pembelian BBM. Apabila hal ini
tidak segera dilakukan, dapat dibayangkan, betapa banyak anggaran yang terbuang
untuk mengimpor BBM seluruhnya dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri, apabila cadangan
minyak dalam negeri habis.
Energi Terbarukan
Subsidi BBM seharusnya dialihkan
untuk membangkitkan penggunaan energi terbarukan. Harus dihindari subsidi BBM
digunakan untuk bantuan yang hanya dapat dirasakan sementara manfaatnya. Energi
terbarukan ini harus dijadikan pioner di masa yang akan datang. Jangan lagi
menyamakan bahwa energi terbarukan sama dengan energi alternatif, karena
apabila kita tetap menggunakan istilah energi alternatif, dengan kata lain,
kita tetap memprioritaskan BBM sebagai energi yang utama. Mengingat menipisnya
cadangan minyak di Indonesia dan kita berusaha untuk tetap menjaga cadangan
minyak tersebut, pemerintah harus berupaya membangkitkan penggunaan bahan bakar
nabati (biofuel), seperti biodiesel dan bioetanol, gas atau panas bumi.
Namun, dengan kenyataan bahwa
biaya produksi pembuatan biofuel masih di atas BBM, membuat banyak pihak
terkesan malas menggarap biofuel. Padahal, bahan bakar ini seharusnya menjadi
potensi ekonomi yang sangat besar di Indonesia. Sebab, bisa diproduksi oleh
rumah tangga. Biofuel bisa diproduksi dari sumber yang terbarukan mulai dari
biji jarak pagar, atau jathropa, kelapa sawit, singkong, aren, hingga alga yang
dengan mudah dikembangbiakkan di laut. Akan tetapi, adanya subsidi secara
besar-besaran dan terus-menerus yang diberikan pemerintah membuat satu per satu
produsen biofuel gulung tikar karena tidak mampu bersaing dengan BBM.
Rencana konversi BBM ke bahan
bakar gas (BBG) juga masih jalan di tempat. Konversi yang telah diwacanakan
dari tahun lalu seakan-akan tidak berjalan hingga saat ini. Bila kita cermati,
BBG juga lebih menguntungkan konsumen. BBG memiliki oktan 130, sangat jauh
berbeda jika dibandingkan dengan premium yang hanya memiliki kadar oktan 88.
Selain oktannya lebih tinggi, BBG juga ramah lingkungan karena tidak mengandung
SO2/NOx (sulfur dioksida/nitrogen monoksida).
Oleh karena itu, alangkah baiknya
dengan adanya momentum kenaikan harga BBM subsidi ini, pemerintah harus
memberikan perhatian yang besar dalam pembuatan biofuel dan konversi BBM ke
BBG, karena terbukti lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan BBM dan juga
dapat menjadi potensi bagi perekonomian Indonesia. Jangan sampai BBM hanya
dinikmati oleh segelintir orang saja dan juga jangan kita memberikan beban
besar kepada anak cucu kita kelak, dikarenakan kita salah mengelola potensi
energi yang ada di bumi Pertiwi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar