|
JAWA
POS, 28 Juni 2013
KPU pusat
merilis daftar riwayat hidup calon legislator (caleg) sementara DPR yang masuk
dalam daftar calon legislator sementara (DCS) sejak pekan lalu. Daftar riwayat
hidup caleg itu bisa diakses melalui situs kpu.go.id. Publikasi profil caleg sementara tersebut
bertujuan untuk memudahkan masyarakat mengenal calon wakilnya. Selain itu,
dengan pembeberan data caleg sementara tersebut, KPU berkepentingan untuk
mendapat masukan dari masyarakat. KPU berharap tidak ada caleg yang masuk
daftar calon legislator tetap (DCT) yang cacat hukum, moral, maupun sosial.
Namun, saat saya mengumpulkan data tentang caleg sementara DPR dari Provinsi Jawa Barat Dapil VI yang berasal dari Kota Bekasi, ternyata tidak semua data bisa diakses. Misalnya, data riwayat hidup (curriculum vitae/CV) dua caleg PPP yang tidak bisa dibuka. Caleg tersebut adalah Bambang Hernawan dan Kinkin Mulyati. Ketika diklik, muncul keterangan ''Tidak Bersedia Dipublikasikan''.
Tidak ada kecurigaan yang mengarah pada caleg yang bersangkutan yang memang enggan membeberkan data dirinya. Dugaan awal saat itu, mungkin petugas KPU luput saat meng-input data, sehingga data sebagian caleg tidak bisa diakses.
Namun, saat membaca sejumlah koran nasional kemarin, ditemukan jawaban mengapa data CV caleg tidak bisa diakses. KPU mengakui tidak semua caleg DPR yang masuk DCS berkenan dibeber datanya. Setidaknya terdapat 140 caleg yang menolak data riwayat hidupnya dibuka (Jawa Pos, 25/6).
Lantas, alasan apa yang sebenarnya mendasari para caleg enggan datanya diketahui publik? Kalau disimak, format CV caleg yang dibeber KPU sangat bersifat umum. Misalnya, soal nama, alamat, riwayat pendidikan, riwayat pekerjaan, organisasi, aktivitas dalam parpol, dan penghargaan yang pernah didapat. Bukankah itu data yang bersifat umum? Sebab, tidak menyinggung data jumlah kekayaan atau mungkin jumlah istri yang kerap disembunyikan pejabat publik.
Padahal, antusiasme publik untuk mengetahui data diri caleg yang masuk DCS cukup tinggi. Dengan demikian, sebenarnya caleg yang enggan CV-nya diketahui publik mendapat kerugian. Sebab, mereka gagal memanfaatkan peluang dirinya diketahui publik. Kecenderungan pemilih tentunya akan memilih caleg yang dikenal. Atau, setidaknya riwayat hidupnya diketahui.
Dengan demikian, sebenarnya tidak ada alasan bagi caleg untuk takut datanya diketahui publik. Budaya tidak transparan yang dibawa para caleg akan berbahaya jika mereka berhasil melenggang ke Senayan. Bagaimana jika sikap tidak terbuka itu dibawa dan diterapkan dalam aktivitas mereka sebagai politikus Senayan? Padahal, saat ini adalah era transparansi. Calon pejabat publik harus terbiasa transparan sebelum mereka benar-benar menjadi pejabat.
Partai politik memiliki andil juga dalam masalah ini. Kultur parpol selama ini memang terkesan menyuburkan praktik ketertutupan. Masih kuatnya budaya oligarki secara tidak langsung melanggengkan sikap tertutup dalam tubuh partai politik. Hal itu pun diikuti kader, termasuk caleg.
Selain sikap caleg atau parpol yang enggan terbuka, sikap KPU juga perlu disorot. Sebenarnya KPU telah menggambil langkah maju dengan membeber profil caleg yang masuk DCS. Hal itu tidak dilakukan menjelang Pileg 2009. Namun, ketika keterbukaan tersebut tidak dilakukan seluruh caleg, ada kesan KPU melakukannya setengah hati.
Langkah KPU itu mudah ditembus jika ada yang memerkarakan. Menggunakan ''senjata'' UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), profil 140 caleg akan terungkap. Pasal 7 ayat 1 Badan Publik menyebutkan, wajib menyediakan, memberikan, dan atau menerbitkan informasi publik yang berada di bawah kewenangannya kepada pemohon informasi publik, selain informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan. Dan profil caleg bukanlah masuk dalam jenis informasi yang dikecualikan.
Agar hal itu tidak terulang, sebaiknya regulasi penyelenggaraan pemilu secara jelas mencantumkan asas transparansi. Dalam UU Nomor 8/2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, transparansi tidak termasuk dalam asas penyelenggaraan pemilu.
Dalam pasal 2 disebutkan, pemilu dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasar asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Semestinya, selain efektif dan efisien, penyelenggaraan pemilu harus dilaksanakan secara transparan. Meskipun, kalau legislator mau transparan, sebenarnya bisa jadi ''kampanye'' bagi dirinya karena membawa kesan tidak ada sesuatu yang perlu ditutupi.
Dengan transparansi, perbaikan kualitas penyelenggaraan pemilu bisa terus meningkat. Selain itu, produk pemilu menjadi berkualitas. Yakni, wakil rakyat yang berkompeten, berintegritas, amanah, dan jujur. Memang banyak kata indah yang diangankan untuk para wakil dan pemimpin kita. ●
Namun, saat saya mengumpulkan data tentang caleg sementara DPR dari Provinsi Jawa Barat Dapil VI yang berasal dari Kota Bekasi, ternyata tidak semua data bisa diakses. Misalnya, data riwayat hidup (curriculum vitae/CV) dua caleg PPP yang tidak bisa dibuka. Caleg tersebut adalah Bambang Hernawan dan Kinkin Mulyati. Ketika diklik, muncul keterangan ''Tidak Bersedia Dipublikasikan''.
Tidak ada kecurigaan yang mengarah pada caleg yang bersangkutan yang memang enggan membeberkan data dirinya. Dugaan awal saat itu, mungkin petugas KPU luput saat meng-input data, sehingga data sebagian caleg tidak bisa diakses.
Namun, saat membaca sejumlah koran nasional kemarin, ditemukan jawaban mengapa data CV caleg tidak bisa diakses. KPU mengakui tidak semua caleg DPR yang masuk DCS berkenan dibeber datanya. Setidaknya terdapat 140 caleg yang menolak data riwayat hidupnya dibuka (Jawa Pos, 25/6).
Lantas, alasan apa yang sebenarnya mendasari para caleg enggan datanya diketahui publik? Kalau disimak, format CV caleg yang dibeber KPU sangat bersifat umum. Misalnya, soal nama, alamat, riwayat pendidikan, riwayat pekerjaan, organisasi, aktivitas dalam parpol, dan penghargaan yang pernah didapat. Bukankah itu data yang bersifat umum? Sebab, tidak menyinggung data jumlah kekayaan atau mungkin jumlah istri yang kerap disembunyikan pejabat publik.
Padahal, antusiasme publik untuk mengetahui data diri caleg yang masuk DCS cukup tinggi. Dengan demikian, sebenarnya caleg yang enggan CV-nya diketahui publik mendapat kerugian. Sebab, mereka gagal memanfaatkan peluang dirinya diketahui publik. Kecenderungan pemilih tentunya akan memilih caleg yang dikenal. Atau, setidaknya riwayat hidupnya diketahui.
Dengan demikian, sebenarnya tidak ada alasan bagi caleg untuk takut datanya diketahui publik. Budaya tidak transparan yang dibawa para caleg akan berbahaya jika mereka berhasil melenggang ke Senayan. Bagaimana jika sikap tidak terbuka itu dibawa dan diterapkan dalam aktivitas mereka sebagai politikus Senayan? Padahal, saat ini adalah era transparansi. Calon pejabat publik harus terbiasa transparan sebelum mereka benar-benar menjadi pejabat.
Partai politik memiliki andil juga dalam masalah ini. Kultur parpol selama ini memang terkesan menyuburkan praktik ketertutupan. Masih kuatnya budaya oligarki secara tidak langsung melanggengkan sikap tertutup dalam tubuh partai politik. Hal itu pun diikuti kader, termasuk caleg.
Selain sikap caleg atau parpol yang enggan terbuka, sikap KPU juga perlu disorot. Sebenarnya KPU telah menggambil langkah maju dengan membeber profil caleg yang masuk DCS. Hal itu tidak dilakukan menjelang Pileg 2009. Namun, ketika keterbukaan tersebut tidak dilakukan seluruh caleg, ada kesan KPU melakukannya setengah hati.
Langkah KPU itu mudah ditembus jika ada yang memerkarakan. Menggunakan ''senjata'' UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), profil 140 caleg akan terungkap. Pasal 7 ayat 1 Badan Publik menyebutkan, wajib menyediakan, memberikan, dan atau menerbitkan informasi publik yang berada di bawah kewenangannya kepada pemohon informasi publik, selain informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan. Dan profil caleg bukanlah masuk dalam jenis informasi yang dikecualikan.
Agar hal itu tidak terulang, sebaiknya regulasi penyelenggaraan pemilu secara jelas mencantumkan asas transparansi. Dalam UU Nomor 8/2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, transparansi tidak termasuk dalam asas penyelenggaraan pemilu.
Dalam pasal 2 disebutkan, pemilu dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasar asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Semestinya, selain efektif dan efisien, penyelenggaraan pemilu harus dilaksanakan secara transparan. Meskipun, kalau legislator mau transparan, sebenarnya bisa jadi ''kampanye'' bagi dirinya karena membawa kesan tidak ada sesuatu yang perlu ditutupi.
Dengan transparansi, perbaikan kualitas penyelenggaraan pemilu bisa terus meningkat. Selain itu, produk pemilu menjadi berkualitas. Yakni, wakil rakyat yang berkompeten, berintegritas, amanah, dan jujur. Memang banyak kata indah yang diangankan untuk para wakil dan pemimpin kita. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar