|
KORAN
SINDO, 28 Juni 2013
Tahun 2013 disebut ”tahun politik”.
Alasannya, tahun ini sampai 2014 terjadi banyak peristiwa politik, mulai
pemilihan bupati/walikota/gubernur hingga pemilihan legislatif (termasuk DPD,
Dewan Perwakilan Daerah) dan presiden/wakil presiden.
Penyebutan ”tahun politik” hanya dipandang dari perspektif kekuasaan, apa dan siapa yang menang, yang bakal meraih kekuasaan di republik ini. Maka, berbondong-bondonglah manusia yang oleh Aristoteles (384–322 SM) diistilahkan sebagai ”binatang politik” itu— dalam hal ini sejumlah manusia Indonesia—menyiapkan diri untuk mendapatkan kekuasaan dengan membangun citra positif, di antaranya melalui media massa, media sosial, spanduk, baliho, banner, bahkan tidak segan mengucurkan hadiah kepada anggota masyarakat.
Kekuasaan memang menggiurkan, dan bagi yang sudah menikmatinya, pasti mengasyikkan. Karena itu, berbagai cara ditempuh sebagaimana anjuran Niccolo Machiavelli dalam buku legendarisnya The Prince (dipublikasikan pada 1532) yang menyatakan ”the end justifies the means” (tujuan menghalalkan segala cara). Filosofi Machiavelli ini berkembang sampai saat ini, baik oleh aktor dan institusi politik yang sekuler (non-agamis) maupun yang agamis, baik di negara-negara maju maupun di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Nuansa Machiavellisme nampak dalam ”merayakan” tahun politik yang disebut-sebut sebagai pesta demokrasi, ”dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” meskipun kenyataannya ”dari rakyat, oleh dan untuk individu/kelompok tertentu”. Tahun politik telah identik dengan tahun korupsi, manipulasi, kolusi, nepotisme, pencucian uang.
Di tahun ini kasus-kasus tersebut terkuak secara masif, mulai kasus ”teri” sampai ”kakap”. Tindak kejahatan tersebut menjadi wacana yang ”murah” dan meriah, karena para pelakunya dapat dengan mudah menggerogoti uang rakyat dengan risiko yang murah, yaitu masa tahanannya tidak sebanding dengan kejahatannya, bahkan tampil dengan gagah, senyum, melambaikan tangan, dan membela diri dengan seribu alasan.
Meriah, karena melibatkan segala lapisan masyarakat, ada menteri, ketua parpol, pengelola perusahaan, juga bupati/walikota/gubernur, anggota DPR, polisi, hakim, jaksa, pengacara, akademisi, dan lain sebagainya. Beginikah yang disebut tahun politik itu?
Pendidikan Politik
Pertanyaan besar tersebut merupakan keniscayaan. Rakyat— sejak proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia— sampai saat ini selalu menjadi objek politik yang dikumandangkan terus menerus. ”Demokrasi”, mulai dari demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila, sampai ”demokrasi transaksional” kini, bagi rakyat adalah jargon-jargon yang membanggakan dan menjanjikan, karena dikemas dan disosialisasikan dengan retorika yang atraktif dan atentif.
Rakyat merasa berdaulat, namun sejatinya tidak berdaya. Pro-rakyat dan amanat penderitaan rakyat hanya abang-abang lambe sebagai gincu para aktor politik dan kekuatan-kekuatan politik. Rakyat tidak melihat aktoraktor politik dan suprastruktur ataupun infrastruktur politik melakukan pendidikan politik, meskipun salah satu fungsi mereka adalah melakukan pendidikan politik. Tidak ada penanaman nilai-nilai politik yang normatif dan ideal, kecuali di fakultas-fakultas ilmu politik dan buku-buku tentang teoriteori politik.
Opini yang terbentuk bukan politik sebagai art (seni) untuk meraih kekuasaan dengan cara-cara yang indah, elok, santun, dan beretika, melainkan politik sebagai trick (tipuan) melalui praktik-praktik kotor, di antaranya money politics (politik uang) dan public lies (kebohongan publik), serta penggalangan dana lewat caracara haram terutama bagi yang berharta dan yang ingin mempertahankan kekuasaan (incumbent), juga bagi yang berambisi mendapatkan kekuasaan.
Fenomena yang tampak pada tahun politik boleh jadi karena pragmatisme dalam praktik politik, dan boleh jadi pula tiadanya keteladanan yang biasanya dicontohkan oleh para negarawan. Pragmatisme dalam ungkapan yang lebih populer ialah ”budaya instan”. Yaitu, yang penting segera menikmati kekuasaan, tanpa proses yang berbelit-belit, bagai menyantap makanan cepat saji. Keteladanan sebagaimana anjuran Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara (1889–1959), ”Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” (di depan memberi teladan, di tengah memberi semangat, di belakang memberi kekuatan).
Ketiga hal tersebut biasanya melekat dalam diri mereka yang tergolong negarawan. Filsuf kenamaan yang lahir di masa Yunani Kuno, Plato (428–348 SM) mendefinisikan negarawan versi Sokrates, gurunya, yang berdialog dengan seorang matematikus Theodorus. Dalam bukunya yang terkenal The Statesman, Plato mengutip ucapan Sokrates yang kemudian dideskripsikan oleh John M.Cooper antara lain sebagai berikut: The statesman was one who possesses this special knowledge of how to rule justify and well and to have the best interests of the citizens at heart. It is presented that politics should be run by this knowledge, or gnosis. (WIKIPEDIA the Free Encyclopedia).
Bahwa seorang negarawan harus memiliki pengetahuan khusus bagaimana memerintah secara adil dan baik, dan memiliki kepedulian yang terbaik atas warga negara di hatinya. Politik harus dijalankan dengan pengetahuan tersebut. Dalam artikel di harian Duta Masyarakat, Senin 11 Juni 2012, Fajar Kurnianto menulis di bawah judul Merindukan Politikus Negarawan. Ia berpendapat, sebagian politikus kita tidak fokus dan serius mengurus negara. Mereka disibukkan masalah-masalah yang tidak urgen bagi kemajuan bangsa.
”Misalnya, sibuk menganggarkan uang negara untuk jalanjalan ke luar negeri dengan berbagai dalih yang dibuatbuat, sibuk menganggarkan dana untuk pembangunan gedung- gedung baru, padahal gedung lama masih layak, sibuk melakukan rencana-rencana penaikan gaji dan tunjangan, dan seterusnya. Selain boros, juga sangat rawan korupsi,” tulis Fajar Kurnianto.
Tentang negarawan, Fajar menyatakan bahwa negarawan sejati adalah mereka yang memikirkan Indonesia dengan segala isinya yang bermacam-macam. Lebih daripada itu, negarawan juga tahu masalah-masalah internal dan eksternal yang dihadapi, lalu merumuskan dalam roadmap yang jelas dan komprehensif.
Penyebutan ”tahun politik” hanya dipandang dari perspektif kekuasaan, apa dan siapa yang menang, yang bakal meraih kekuasaan di republik ini. Maka, berbondong-bondonglah manusia yang oleh Aristoteles (384–322 SM) diistilahkan sebagai ”binatang politik” itu— dalam hal ini sejumlah manusia Indonesia—menyiapkan diri untuk mendapatkan kekuasaan dengan membangun citra positif, di antaranya melalui media massa, media sosial, spanduk, baliho, banner, bahkan tidak segan mengucurkan hadiah kepada anggota masyarakat.
Kekuasaan memang menggiurkan, dan bagi yang sudah menikmatinya, pasti mengasyikkan. Karena itu, berbagai cara ditempuh sebagaimana anjuran Niccolo Machiavelli dalam buku legendarisnya The Prince (dipublikasikan pada 1532) yang menyatakan ”the end justifies the means” (tujuan menghalalkan segala cara). Filosofi Machiavelli ini berkembang sampai saat ini, baik oleh aktor dan institusi politik yang sekuler (non-agamis) maupun yang agamis, baik di negara-negara maju maupun di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Nuansa Machiavellisme nampak dalam ”merayakan” tahun politik yang disebut-sebut sebagai pesta demokrasi, ”dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” meskipun kenyataannya ”dari rakyat, oleh dan untuk individu/kelompok tertentu”. Tahun politik telah identik dengan tahun korupsi, manipulasi, kolusi, nepotisme, pencucian uang.
Di tahun ini kasus-kasus tersebut terkuak secara masif, mulai kasus ”teri” sampai ”kakap”. Tindak kejahatan tersebut menjadi wacana yang ”murah” dan meriah, karena para pelakunya dapat dengan mudah menggerogoti uang rakyat dengan risiko yang murah, yaitu masa tahanannya tidak sebanding dengan kejahatannya, bahkan tampil dengan gagah, senyum, melambaikan tangan, dan membela diri dengan seribu alasan.
Meriah, karena melibatkan segala lapisan masyarakat, ada menteri, ketua parpol, pengelola perusahaan, juga bupati/walikota/gubernur, anggota DPR, polisi, hakim, jaksa, pengacara, akademisi, dan lain sebagainya. Beginikah yang disebut tahun politik itu?
Pendidikan Politik
Pertanyaan besar tersebut merupakan keniscayaan. Rakyat— sejak proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia— sampai saat ini selalu menjadi objek politik yang dikumandangkan terus menerus. ”Demokrasi”, mulai dari demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila, sampai ”demokrasi transaksional” kini, bagi rakyat adalah jargon-jargon yang membanggakan dan menjanjikan, karena dikemas dan disosialisasikan dengan retorika yang atraktif dan atentif.
Rakyat merasa berdaulat, namun sejatinya tidak berdaya. Pro-rakyat dan amanat penderitaan rakyat hanya abang-abang lambe sebagai gincu para aktor politik dan kekuatan-kekuatan politik. Rakyat tidak melihat aktoraktor politik dan suprastruktur ataupun infrastruktur politik melakukan pendidikan politik, meskipun salah satu fungsi mereka adalah melakukan pendidikan politik. Tidak ada penanaman nilai-nilai politik yang normatif dan ideal, kecuali di fakultas-fakultas ilmu politik dan buku-buku tentang teoriteori politik.
Opini yang terbentuk bukan politik sebagai art (seni) untuk meraih kekuasaan dengan cara-cara yang indah, elok, santun, dan beretika, melainkan politik sebagai trick (tipuan) melalui praktik-praktik kotor, di antaranya money politics (politik uang) dan public lies (kebohongan publik), serta penggalangan dana lewat caracara haram terutama bagi yang berharta dan yang ingin mempertahankan kekuasaan (incumbent), juga bagi yang berambisi mendapatkan kekuasaan.
Fenomena yang tampak pada tahun politik boleh jadi karena pragmatisme dalam praktik politik, dan boleh jadi pula tiadanya keteladanan yang biasanya dicontohkan oleh para negarawan. Pragmatisme dalam ungkapan yang lebih populer ialah ”budaya instan”. Yaitu, yang penting segera menikmati kekuasaan, tanpa proses yang berbelit-belit, bagai menyantap makanan cepat saji. Keteladanan sebagaimana anjuran Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara (1889–1959), ”Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” (di depan memberi teladan, di tengah memberi semangat, di belakang memberi kekuatan).
Ketiga hal tersebut biasanya melekat dalam diri mereka yang tergolong negarawan. Filsuf kenamaan yang lahir di masa Yunani Kuno, Plato (428–348 SM) mendefinisikan negarawan versi Sokrates, gurunya, yang berdialog dengan seorang matematikus Theodorus. Dalam bukunya yang terkenal The Statesman, Plato mengutip ucapan Sokrates yang kemudian dideskripsikan oleh John M.Cooper antara lain sebagai berikut: The statesman was one who possesses this special knowledge of how to rule justify and well and to have the best interests of the citizens at heart. It is presented that politics should be run by this knowledge, or gnosis. (WIKIPEDIA the Free Encyclopedia).
Bahwa seorang negarawan harus memiliki pengetahuan khusus bagaimana memerintah secara adil dan baik, dan memiliki kepedulian yang terbaik atas warga negara di hatinya. Politik harus dijalankan dengan pengetahuan tersebut. Dalam artikel di harian Duta Masyarakat, Senin 11 Juni 2012, Fajar Kurnianto menulis di bawah judul Merindukan Politikus Negarawan. Ia berpendapat, sebagian politikus kita tidak fokus dan serius mengurus negara. Mereka disibukkan masalah-masalah yang tidak urgen bagi kemajuan bangsa.
”Misalnya, sibuk menganggarkan uang negara untuk jalanjalan ke luar negeri dengan berbagai dalih yang dibuatbuat, sibuk menganggarkan dana untuk pembangunan gedung- gedung baru, padahal gedung lama masih layak, sibuk melakukan rencana-rencana penaikan gaji dan tunjangan, dan seterusnya. Selain boros, juga sangat rawan korupsi,” tulis Fajar Kurnianto.
Tentang negarawan, Fajar menyatakan bahwa negarawan sejati adalah mereka yang memikirkan Indonesia dengan segala isinya yang bermacam-macam. Lebih daripada itu, negarawan juga tahu masalah-masalah internal dan eksternal yang dihadapi, lalu merumuskan dalam roadmap yang jelas dan komprehensif.
”Pertanyaan mendasarnya adalah, mau diapakan Indonesia sekarang? Atau,
mau dibawa ke mana? Fondasi dasarnya sudah ada, Pancasila. Tinggal diterjemahkan dalam
konteks saat ini. Tapi, jika fondasi dasarnya saja sudah dilupakan dan
diremehkan, bagaimana bisa menjadi negarawan? Atau memang para politikus saat
ini bersikap masa bodo dengan negarawan? Menyedihkan,” tulisnya.
Pendidikan politik seharusnya
menyertai tahun politik, dan itu semestinya dilakukan oleh para aktor politik
dan institusi politik dengan semangat kenegarawanan agar rakyat melek politik
sehingga mampu memilih ”penguasa” atau ”wakilnya” dengan tepat dan benar.
Pendidikan politik pada hakikatnya adalah memberi contoh atau keteladanan dalam bermasyarakat dan bernegara, bukan dengan perbuatan-perbuatan yang memalukan atau hanya merupakan pembangunan citra positif melalui retorika, kemudian ribut satu sama lain di depan publik melalui media massa, yang justru kontraproduktif.
Penyertaan pendidikan politik di tahun politik merupakan juga filter untuk menyaring mana yang bersih dan mana yang kotor, mana yang dapat dijadikan ikon bagi clean government and clean governence. Sayang, hal itu telah diabaikan. ●
Pendidikan politik pada hakikatnya adalah memberi contoh atau keteladanan dalam bermasyarakat dan bernegara, bukan dengan perbuatan-perbuatan yang memalukan atau hanya merupakan pembangunan citra positif melalui retorika, kemudian ribut satu sama lain di depan publik melalui media massa, yang justru kontraproduktif.
Penyertaan pendidikan politik di tahun politik merupakan juga filter untuk menyaring mana yang bersih dan mana yang kotor, mana yang dapat dijadikan ikon bagi clean government and clean governence. Sayang, hal itu telah diabaikan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar