|
KOMPAS,
25 Juni 2013
Tulisan Dian Simatupang (Kompas, 26/6/2013)
yang berjudul ”Paradoks Rasionalitas PTN-BH” sangat penting untuk direspons
karena penulis telah menyempitkan tujuan ditetapkannya perguruan tinggi negeri
sebagai badan hukum hanya ditinjau dari sudut keuangan.
Penulis melupakan bahwa aspek pengelolaan
keuangan dan pendanaan bukanlah persoalan pokok yang mendasari perlunya PTN
ditetapkan sebagai badan hukum. Ia berpendapat bahwa dengan status badan hukum,
PTN berisiko pailit dan tidak berhak mendapat anggaran yang bersumber dari
APBN.
Hal ini menunjukkan bahwa yang bersangkutan
memaknai Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) sebagai badan hukum
privat yang memiliki misi memperoleh keuntungan seperti perseroan terbatas
(PT). Tentu saja ini keliru karena kegiatan dan misi utama perguruan tinggi
adalah menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat
yang tak satu pun dari ketiganya memiliki risiko kerugian. Perguruan tinggi
ditutup atau dibubarkan apabila atas kehendak sendiri atau tidak mampu
menjalankan misinya sehingga tak ada mahasiswa yang mau belajar di sana.
Sebagai badan hukum, PTN tetap menjalankan
tugas negara, yaitu menjalankan fungsi pendidikan tinggi, fungsi publik,
nirlaba dan didanai negara. Hal ini dinyatakan secara eksplisit dalam UU Nomor
12 Tahun 2013 Pasal 65 Ayat (3). Jika digunakan analogi BUMN, atas penugasan
tersebut, PTN yang berstatus badan hukum berhak atas pendanaan yang bersumber
dari APBN. Kita mengenal adanya subsidi energi yang diberikan kepada PT PLN,
subsidi transportasi yang diberikan kepada PT PELNI dan PT Kereta Api, dan
tentu saja subsidi BBM yang diberikan kepada PT Pertamina.
Kecenderungan global
Perkembangan pendidikan tinggi di era ini
ditandai oleh dua kecenderungan utama, yaitu masifikasi dan globalisasi/internasionalisasi.
Peningkatan kesejahteraan dan pengetahuan masyarakat akan pentingnya pendidikan
tinggi serta perbaikan tingkat ekonomi masyarakat telah menyebabkan peningkatan
kebutuhan akan layanan pendidikan tinggi secara signifikan. Hal ini didorong
juga oleh kebutuhan pembangunan bangsa di era ekonomi berbasis pengetahuan, di
mana daya saing sebuah bangsa tidak lagi ditentukan oleh ketersediaan sumber
daya alam, tetapi pada kemampuan dalam mengembangkan dan memanfaatkan
pengetahuan secara inovatif dan kreatif.
Globalisasi ditandai oleh persaingan terbuka
yang melampaui batas-batas negara. Dalam konteks ini, kualitas adalah kunci
utama untuk memenangkan persaingan. Hanya perguruan tinggi yang berkualitas dan
berkelas dunia sajalah yang akan mampu bertahan di kancah persaingan global.
Perguruan tinggi berkualitas dan berkelas dunia ini paling tidak ditandai tiga
karakteristik utama, yaitu: melakukan penelitian berkelas dunia, didukung oleh
dosen yang memiliki reputasi akademik internasional, dan mampu menarik
mahasiswa dari berbagai penjuru dunia.
Setiap negara memiliki cara dan strategi yang
berbeda dalam merespons kecenderungan global. Namun, setiap bangsa sepakat
perlunya mengembangkan perguruan tinggi di negaranya untuk menjalankan fungsi
pendidikan tinggi yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan bangsa dan
perkembangan ilmu pengetahuan universal.
Belajar dari tetangga
Perguruan tinggi hanya akan maju dan
berkembang jika didukung lingkungan yang kondusif. Belajar dari keberhasilan
beberapa perguruan tinggi di negara tetangga, seperti NUS (Singapura), HKU
(Hongkong), Chulalongkorn (Thailand), yang telah mampu mencapai prestasi
akademik yang sejajar dengan perguruan tinggi kelas dunia lainnya, kita dapat
mencatat empat faktor yang mendorong keberhasilan dimaksud.
Pertama, dijaminnya kebebasan akademik yang
merupakan nilai inti (core values) sebuah perguruan tinggi. Kebebasan akademik
ini bukan hanya pada tataran individu sivitas akademika, melainkan juga pada
tataran kelembagaan. Perguruan tinggi harus memiliki kebebasan untuk menetapkan
arah dan strategi pengembangan dan pengelolaan kegiatan penelitian, membuka dan
menutup program studi, mengembangkan dan mengevaluasi kurikulum, menyatakan
opini dan menyampaikan pendapat akademik secara terbuka di masyarakat, dan
sebagainya.
Kedua, adanya otonomi dalam merencanakan,
mengelola, dan mengembangkan institusi. Perguruan tinggi bukan merupakan bagian
dari birokrasi pemerintah. Agar mampu merekrut dosen yang terbaik di bidangnya,
perguruan tinggi harus memiliki kewenangan untuk mengangkat, memberhentikan,
dan mempromosikan dosennya secara mandiri. Penelitian yang berkelas dunia
memerlukan konsentrasi dan alokasi waktu yang mencukupi sehingga tak bisa
ditetapkan secara pukul rata sama untuk semua bidang ilmu dan dosen. Tidak
kalah pentingnya adalah perguruan tinggi juga harus memiliki kewenangan untuk
mengelola dana secara mandiri, misalnya, dalam hal menetapkan skala gaji,
mengalokasikan dana penelitian sesuai dengan pilihan fokus dan strateginya.
Riset fundamental membutuhkan sarana dan prasarana yang canggih, dan sistem
insentif yang sesuai.
Ketiga, adanya dukungan pemerintah secara
konsisten dan berkelanjutan, terlepas dari siklus politik pemerintah. Di
beberapa negara, dibentuk badan khusus yang otonom (terpisah dari birokrasi
pemerintah) untuk menjembatani kepentingan negara yang dilaksanakan peguruan
tinggi negeri, seperti Higher Education Commission (Thailand), atau University
Grant Committee (Hongkong, Pakistan, Filipina).
Keberadaan buffer body seperti ini yang tidak berada di bawah salah satu
kementerian juga merupakan sinyal bahwa pendidikan tinggi adalah kebutuhan
bangsa, yang harus didukung secara bersama. Keberadaan dosen dan mahasiswa
asing, yang merupakan ciri pokok perguruan tinggi riset, memerlukan dukungan
keimigrasian, yang tentu saja bukan urusan kementerian yang mengelola bidang
pendidikan.
Keempat, adanya akuntabilitas publik yang
mencerminkan bahwa perguruan tinggi menjamin terlindunginya kepentingan publik.
Dalam bidang akademik, akuntabilitas publik dijaga melalui sistem akreditasi
dan pemenuhan atas indikator kinerja akademik, seperti jumlah dan mutu hasil
penelitian dan lulusan. Dalam bidang non-akademik, perguruan tinggi dinilai
dari kemampuannya untuk mengelola institusi secara efisien dan transparan,
mengedepankan prinsip tata kelola perguruan tinggi yang baik (good university governance).
Pertanyaan yang kemudian patut untuk kita
ajukan adalah bisakah keempat hal di atas diimplementasikan jika PTN merupakan
bagian dari birokrasi pemerintah?
PTN-BH sebagai solusi
Meskipun belum merupakan kerangka hukum yang
ideal, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 telah meletakkan tatanan yang dapat
diharapkan memberikan landasan hukum yang kondusif untuk tumbuh dan
berkembangnya pendidikan tinggi di Indonesia. PTN badan hukum merupakan bentuk
yang dapat dipilih oleh PTN (by choice)
dan juga merupakan tahapan perkembangan sebuah PTN (by evaluation), sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 65 Ayat (1). UU
ini juga menjamin otonomi perguruan tinggi sebagaimana ditegaskan dalam Pasal
62 yang dijelaskan lebih jauh dalam Pasal 64. Kewajiban negara dalam membiayai
pendidikan tinggi tertuang dengan jelas pada Pasal 82 yang mekanisme
pengalokasiannya dijelaskan dalam Pasal 89. Akses bagi masyarakat yang berasal dari
kalangan ekonomi kurang mampu juga dijamin sebagaimana dicantumkan pada Pasal
74. Pembebanan biaya bagi mahasiswa juga diatur dalam Pasal 88 Ayat (4).
Tentu saja semua itu akan dapat berjalan jika
pemerintah secara konsisten dan penuh mendukung terwujudnya pendidikan tinggi
yang berkualitas. Menempatkan PTN sebagai satuan kerja Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan akan menjadi sandungan yang sangat besar bagi berkembangnya
perguruan tinggi yang berkualitas, saka guru kemajuan bangsa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar