Kamis, 27 Juni 2013

Menunggu Intervensi Obama

Menunggu Intervensi Obama
Muhamad Takdir ;    Pengamat Politik Internasional
KORAN SINDO, 26 Juni 2013



Pertikaian bersenjata di Suriah mulai bermutasi menjadi sektarian. Dalam kontak bersenjata paling akhir, sebuah kelompok yang menyebut dirinya Syrian Mujahideen Unit membantai empat anggota paramiliter yang diklaim anggota kelompok Hezbullah. 

Kelompok militan Syiah Lebanon ini menjadi penyokong utama rezim Bashar al-Assad dalam perang melawan pemberontak Suriah yang umumnya didominasi muslim Sunni. Eskalasi konflik itu semakin membakar ketegangan di Lembah Bekaa, Lebanon, dekat perbatasan yang membelah dua negara dan sampai saat ini menjadi salah satu hotspot konflik di Timur Tengah. 

Laporanlaporan media menunjukkan beberapa roket telah diluncurkan dari wilayah-wilayah yang dikontrol pemberontak dan menargetkan kota Syiah, Hermel. Saat bersamaan helikopter tentara Suriah yang melintasi Lebanon menembaki gedunggedung kaum Sunni di perbatasan. Komunitas Sunni Lebanon dianggap telah banyak membantu para pemberontak di Suriah. 

Sejak bereskalasi Maret 2011, pertikaian Suriah telah memakan korban jiwa sebanyak 93.000 kalangan sipil dan menimbulkan 1,6 juta pengungsi yang bertebaran di negara-negara tetangga Suriah. PBB memperkirakan akan ada sekitar 3,4 juta jiwa lagi berpotensi menjadi displaced personsjika konflik ini tidak teratasi. Komunitas global tidak banyak melakukan apaapa untuk mencegah jatuh korban sipil yang semakin meningkat. 

AS menjadi satu-satunya episentrum perhatian dunia mengingat komunitas global menaruh harapan tinggi terhadap apa yang dapat dilakukan Washington dalam menengahi konflik berkepanjangan tersebut. Presiden AS Barack Obama hanya bersedia menggerakkan mesin militernya masuk ke Suriah jika ”garis minimum” penggunaan senjata kimia terbukti dilanggar rezim al-Assad. 

Intervensi Berisiko 

Absennya sikap tegas Washington dalam konflik Suriah, terutama terkait upaya mempersenjatai kelompok pemberontak Suriah, memunculkan kegelisahan berat negara-ne ga ra Arab moderat yang selama ini menjadi sekutu tradisional AS seperti Yordania, Mesir, dan Arab Saudi. Mereka mempercepat tekanan dalam kelompok ”friends of Suriah” (FoS) untuk segera memutuskan cara terbaik mempersenjatai para pemberontak Suriah. 

AS sebenarnya ikut bergabung dalam aliansi yang terdiri atas 11 negara itu yakni Inggris, Mesir, Prancis, Jerman, Italia, Yordan, Qatar, Arab Saudi, Turki, dan Uni Emirat. Sikap Washington yang ”sangat berhati-hati” tidak lepas dari pandangan Barack Obama yang untuk sementara ini lebih mengutamakan political solution daripada sebuah ofensif militer. 

Itu menjelaskan mengapa para pemimpin negara G-8 yang baru saja menyelesaikan pertemuannya di Irlandia pertengahan bulan ini gagal merumuskan sikap tegas terhadap masa depan Presiden Bashar al-Assad. Dalam dokumen joint statement setebal tujuh halaman yang dihasilkan, para pemimpin G-8 hanya menekankan pen-tingnya pembentukan pemerintah transisi yang akan dilakukan secara ”mutual consent”. Sinyal ini hanya mengulang kesepakatan yang pernah dihasilkan pada Konferensi Jenewa mengenai Suriah, Juni 2012. 

Perbedaan tajam tentang cara menyelesaikan konflik ini menyisakan jarak yang cukup lebar antara Rusia dan AS beserta negara-negara besar lainnya dalam G-8 maupun 11 negara FoS. Obama mungkin ragu mendukung doktrin regime change dalam kasus Suriah karena sebagai politisi dirinya cukup menyelami pengalaman dari bitter-field Irak. Padahal untuk langkah serupa setelah Irak, AS berhasil melakukannya di Libia dengan mendongkel Khadafi. 

Yang dihadapi Obama saat ini lebih merupakan antitesis politik domestik AS yang disimbolkan oleh dirinya dengan Partai Republik. Apalagi empat senator AS yang berasal dari Partai Demokrat dan Republik kini tengah mempersiapkan legislasi yang akan menghalangi Presiden Barack Obama memberikan bantuan operasi militer kepada para pemberontak Suriah. 

Para senator AS yang mensponsori legislasi itu yakni Senator Tom Udall (New Mexico-D), Chris Murphy (Connecticut- D), Mike Lee (Utah-R), dan eksponen antiperang Rand Paul (Kentucky- R) meminta Kementerian Pertahanan dan Badan Intelijen AS tidak memanfaatkan secara langsung ataupun tidak langsung dana federal bagi suatu operasi militer, paramiliter, maupun segala bentuk covert operationdi Suriah. Mereka menilai informasi mengenai potensi keterlibatan AS sampai saat ini masih sangat minimal sehingga cenderung dapat menyeret Washington terlibat dalam risky intervention yang samapahitnya dengan aksi AS di Irak. 

Total Fool dan Wuss 

Tak banyak yang memahami dengan baik sikap Barack Obama dalam kasus Suriah. Antagonisme sebuah konflik, khususnya yang memiliki dimensi bloodshed, akan selalu dihubung-hubungkan dengan memori traumatis suatu pertikaian. Dalam tradisi politik AS, itu berlaku terhadap mereka yang pro maupun kontra pada setiap keputusan yang menggantung nasib para tentara mereka di medan konflik. Ketika dibayangi pertikaian di Suriah, kalkulasi Obama kemungkinan tidak akan jauh dari engagement AS di Irak, Kosovo, Libia, atau Afghanistan. 

Figur sekaliber mantan Presiden Bill Clinton bahkan telah mengkritik keengganan Obama melakukan operasi militer terbuka di Suriah. Sulit dibayangkan bahwa Bill Clinton yang selama periode pertama Obama di Gedung Putih tidak pernah mengkritik kebijakan luar negeri AS— apalagi dengan posisi istrinya, Hilary Clinton, sebagai menlu AS, kini justru sekubu dengan Senator John McCain dalam menyuarakan langkah intervensi tersebut. 

John McCain tampil menjadi pengkritik paling pedas kebijakan luar negeri AS dan menyebut kepemimpinan Obama telah membuat AS terus berada di pinggiran (sidelines). Kini keseimbangan yang harus dijaga Obama adalah berjalan di atas kebijakan yang menawarkan dua sisi terburuk sebuah konflik. Intervensi dengan kalkulasi untuk mencegah berjatuhannya korban sipil lebih banyak, tetapi berpotensi kian memperburuk suasana pertumpahan darah. 

Membiarkan pertikaian itu terus berlanjut, dengan implikasi korban yang tetap lebih banyak, tetapi AS terhindar dari kewajiban menerjunkan prajurit-prajurit militernya secara langsung. Apa pun keputusannya, dengan kondisi sekarang, Obama akan selalu terlihat bodoh (fool) dan pengecut (wuss). Diksi politik yang dipakai Bill Clinton untuk menggambarkan illfeeling yang terus menghantuinya akibat keengganan AS di bawah kepemimpinannya melakukan intervensi militer saat pembantaian kaum muslim Bosnia di Kosovo. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar