|
KOMPAS,
28 Juni 2013
Pendidikan di Indonesia bermasalah,
bahkan disebut karut-marut. Ada anggapan bahwa biang keroknya adalah penekanan
yang berlebihan pada aspek kognitif, sedangkan aspek afektif tidak
diperhatikan.
Tudingan terhadap penekanan yang
berkelebihan pada aspek kognitif dibantah Iwan Pranoto (Kompas, 20/6/2013). Dalam aspek kognitif, siswa Indonesia justru
sangat lemah. Mereka baru sampai pada aras yang paling rendah, yakni ranah
”mengingat” (rote learning).
Unta
ke-18
Kelemahan itu masih tampak bahkan
sampai S-3. Pernah saya memberikan kepada para mahasiswa S-3 soal yang saya
dapatkan dari Dr Soegeng Hardiyanto (rekan dosen S-3). Soal itu ia dapatkan
dari dosennya di Muenchen, Prof Dr Carl Friedrich von Weizsaecker (alm),
seorang astrofisikawan-cum-filsuf.
Soalnya begini: Seorang ayah
mewariskan 17 ekor unta kepada ketiga anaknya dengan ketentuan bahwa tidak
boleh ada unta yang dijual atau disembelih. Anak sulungnya mendapatkan separuh,
anak kedua mendapatkan sepertiga, dan anak bungsunya sepersembilan. Karena
amanah itu tak dapat dipenuhi, paman ketiga bersaudara itu membantu mereka
dengan memberikan seekor untanya. Maka, si sulung menerima sembilan ekor unta,
adiknya enam ekor, dan si bungsu kebagian dua ekor. Seekor lagi dikembalikan
kepada paman mereka.
Pertanyaannya, (1) tinjaulah soal
ini secara logika, dan (2) benarkah kalau dikatakan bahwa ”realitas ialah unta
yang ke-18”?
Ternyata, para mahasiswa S-3
mengalami kesulitan untuk menjelaskan soal ini. Ada yang menjawab dengan
menyalahkan soalnya karena tidak sesuai dengan syariah hukum waris.
Dalam artikelnya, Iwan Pranoto
mengatakan: ”Jika siswa menuliskan 2+3 = 7, itu bukan tidak jujur, tetapi
salah.” Ya, itu salah. Tegasnya, salah secara logika, artinya tak panggah
(inkonsisten) dengan kaidah penjumlahan yang telah ditetapkan dan dimufakati.
Namun, apa yang benar secara logika belum tentu benar secara faktual-empiris.
Dalam ranah ilmu real (vis-a-vis ilmu formal), kelogisan
baru merupakan syarat-perlu, belum syarat-cukup. Logika penting sekali. Agaknya
inilah yang ditekankan dalam bimbingan belajar (bimbel) untuk menghadapi tes
pilihan berganda (multiple choice).
Penguasaan materi (mastery of content)
dianggap tidak penting. Di program S-3, kuliah (coursework) juga disepelekan. Yang dianggap penting hanya
penelitian. Materi mata kuliah dianggap tidak penting. Yang penting, katanya,
ialah perspektifnya (apa pun yang dimaksudkan dengan ”pespektif” itu).
Einstein memperoleh Hadiah Nobel
untuk penjelasannya atas efek fotoelektrik, yakni terlepasnya elektron dari
permukaan logam bila permukaan itu ditimpa cahaya dengan frekuensi yang
melebihi nilai ambang tertentu. Persamaannya ialah K = E - W. K, E, dan W
berturut-turut adalah tenaga gerak elektron, tenaga foton cahaya, dan usaha
yang diperlukan untuk melepaskan elektron dari ikatannya di dalam logam.
Secara logika, untuk E tertentu, K
akan lebih besar untuk W yang lebih kecil. Bila diekstrapolasikan ke W = 0,
maka diperoleh K yang terbesar. Ini logis, tetapi tidak faktual.
Kenyataannya, kalau W = 0,
peristiwa efek fotoelektrik itu justru tidak terjadi, berarti K juga tidak ada!
Kebenaran logis tidak menjamin kebenaran faktual. Logika yang kuat sangat
penting, tetapi penguasaan materi juga tidak kalah penting.
Muatan
moral
Saya setuju dengan Iwan Pranoto
bahwa siswa-siswa kita lemah dalam ranah kognitif. Saya juga setuju dengan Iwan
Pranoto bahwa kelemahan ini tidak dapat diatasi dengan mendongkrak ”citra sok
moralis”, seperti terkesan dalam Kurikulum 2013. Saya yakin, dengan menekankan
pentingnya aspek kognitif, Iwan Pranoto tak bermaksud untuk mengabaikan
aspek-aspek psikomotorik dan afektif. Ketiganya harus berimbang dengan proporsi
yang sesuai dengan inklinasi siswa dan profesi yang hendak dimasukinya kelak.
Kalau ikatan kovalen dalam molekul
hidrogen (H2) dipakai untuk mengkhotbahkan nilai yang baik, yakni semangat
berbagi, itu sok moralis. Menurut ”kelirumologi”-nya Jaya Suprana, ikatan
kovalen itu eksplanasi teoretis yang bersesuaian dengan fakta empiris, bukan
dakwah moralitas. Kedua inti atom hidrogen dan kedua elektron dalam molekul itu
mempunyai ikatan kovalen bukan karena sikap moralnya, tetapi karena
entitas-entitas niratma (inanimate) itu tidak mempunyai
kehendak bebas. Mereka tidak memilih ikatannya, apalagi mendasarkan sikapnya
pada pertimbangan nilai-nilai moral. Mereka itu amoral.
Obsesi sok moralis ini tampak juga
pada soal bahasa Indonesia yang membuat sementara partisan PKS gusar sebab soal
pilihan berganda itu membawa-bawa nama Luthfi H Ishaaq. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar