Kamis, 27 Juni 2013

Cendekiawan Berdedikasi 2013

Cendekiawan Berdedikasi 2013
St Sularto ;  Wartawan Senior KOMPAS
KOMPAS, 27 Juni 2013


Keinginan memberikan penghargaan ini berasal dari Pemimpin Umum Kompas Jakob Oetama. Maksudnya, dalam rangka ulang tahun Kompas—pertama kali diberikan tahun 2008—disampaikan thanksgiving khusus kepada para kontributor artikel Kompas. Terdaftar ratusan kontributor, mulai dari yang menulis sejak koran ini menyediakan kolom artikel—kebiasaan yang tercatat pertama kali dimulai Kompas—salah satu terjemahan roh kemajemukan yang diusung para pendiri dan perintisnya. Kolom khusus itu—dulu halaman 4 dan 5, sejak tahun 2005 di halaman 6 dan 7—merupakan ruangan kebebasan berpendapat, ruang belajar berdemokrasi semacam hydepark-nya London.

Ketika dicermati lebih mendalam, muncul sederet nama yang masing-masing punya kelebihan dan kekurangan, baik dalam kesetiaan maupun keluasan pandangan, minat, kedalaman analisis, solusi, dan dampaknya untuk pembaca. Dilakukan seleksi sebab dari ratusan itu harus dipilih lima penerima, termasuk dengan merujuk pemikir-pemikir besar tentang perbedaan intelektual, cendekiawan, sujana dan sarjana—dengan mengesampingkan faktor gelar akademis.

Titik berat kriteria itu terus dipertahankan sampai penghargaan tahun 2009 dan 2010 yang semula dengan nama Cendekiawan Berkomitmen pada pertama kali diberikan tahun 2008 menjadi Cendekiawan Berdedikasi mulai tahun berikutnya. Kriteria tahun 2010 diperluas kepada mereka yang tekun-metekut, atau istilah Prof Sartono Kartodirdjo mereka yang bekerja dengan semangat asketisme intelektual dan tidak terpengaruh oleh riuhnya wacana lisan dan omong besar, pun yang tidak menyampaikannya dalam bentuk artikel, tetapi terjun langsung berkotor dengan lumpur dalam profesinya mencerahkan kehidupan masyarakat lewat profesi masing-masing.

Diperluas

Selain penghargaan tahun 2011 dan 2012, pada 2013 kriteria lantas diperluas kepada mereka yang memberikan kontribusi pencerahan sebagai narasumber Kompas. Yang dihadapi semakin banyak kontributor yang tidak hanya menulis di Kompas, tetapi juga media lain yang juga menyediakan ruangan serupa—yang tidak kalah aktif berburu penulis—semakin banyak yang menjadi narasumber, tetapi juga semakin banyak yang menempatkan menulis di media sebagai batu loncatan memperoleh apresiasi sebagai ”ilmuwan”. Seloroh tentang ”ilmuwan empat halaman” barangkali benar, sebab begitu seorang tampil sebagai penulis (simbiosis mutualisme media dan kontributor)—apalagi kontributor tetap—serta-merta dianggap sebagai ilmuwan, pun kemudian menjadi penceramah yang laris.

Kriteria thanksgiving, apresiasi mereka yang bekerja dalam sepi dan asketis, yang kemudian menjadi narasumber tetap dalam ranah mengingatkan tugas utama cendekiawan (versi Antonio Gramsci, misalnya), yakni mencari kebenaran yang semakin tercampur aduk dengan tujuan politis pragmatis merebut kekuasaan dewasa ini. Pencerahan yang mereka lakukan, lewat tulisan dan pernyataan, memang tidak boleh tidak bersinggungan dengan kekuasaan, modal, dan kebudayaan. Sikap kritis yang mereka sampaikan secara tidak langsung menjadikan mereka guru-guru masyarakat bahkan penguasa, ibarat Socrates yang berceramah di lapangan, Seneca penasihat Kaisar Nero di zaman Romawi Kuno, atau Niccolo Machiavelli bagi penguasa Keluarga Medici di Firenze. Dan, dalam kondisi negeri ini, di mana berkembang rasa karut-marut dan keprihatinan moral, saatnya ilmuwan dan cendekiawan berbicara.

Dihitung sejak 2008 sampai 2012, setiap tahun lima orang, kelima penerima penghargaan tahun ini melengkapkan jumlah 30 orang. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada banyak penulis dan tokoh bisa masuk dalam kriteria di atas, Jakob Oetama merasa pada akhirnya ”kita harus melakukan pilihan”, yang tidak selalu identik yang tidak terpilih lebih jelek daripada yang terpilih, pun jumlahnya bisa dikurangi atau ditambah.


Kelima penerima penghargaan tahun ini, disampaikan selalu dalam rangka ulang tahun Kompas, adalah Ahmad Syafii Maarif (78), Benjamin Mangkoedilaga (76), Budi Darma (76), Karlina Supelli (55), dan Salahuddin Wahid (71). ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar