Jumat, 28 Juni 2013

Positivisme Pemimpin

Positivisme Pemimpin
Latif S Kusaeri ;  Sejarawan Universitas Airlangga, Mahasiswa Pasca Sarjana UGM
SUARA KARYA, 28 Juni 2013 


Dalam perjalanan sejarah Indonesia, bulan Juni ini merupakan bulan yang banyak melahirkan tokoh-tokoh nasionalis. Sebagai contohnya adalah dua mantan presiden Soekarno dan Soeharto. Soekarno (Bung Karno), dilahirkan di Jalan Pandean IV/406 pada tanggal 6 Juni 1901. Sedangkan Soeharto lahir di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta, 8 Juni 1921. Wajarlah, bila kemudian beberapa daerah memperingati hari kelahiran mereka sebagai salah satu agenda tahunan untuk mengaca pada sosok-sosok ini.

Di Blitar, misalnya, rangkaian kegiatan untuk memperingati sang proklamator Soekarno merupakan acara tahunan yang dikemas bebarengan dengan rangkaian acara Grebek Pancasila. Sedangkan fenomena untuk mengenang hari lahirnya Soeharto juga diperingai warga Solo dengan ritual Haul Suharto. Bila dilihat dari sosok-sosok pemimpin ini, mereka merupakan buah dari apa yang disebut determinant of leader, di mana pada sosok pemimpin selalu meninggalkan sisi-sisi positifnya dalam memimpin.

Soekarno sebagai Bapak Prokamator adalah sosok yang sangat giat mempropagandakan arti nation dalam ranah kebangsaan untuk menumbuhkan semangat rakyat di negeri ini. Semangat itu kemudian menumbuhkan kemerdekaan dan bangunan kemandirian bangsa hingga kita ditakuti negara lain sebagai bangsa yang besar dan kuat. Soeharto membangun negara yang stabil dan mencapai kemajuan ekonomi dan infrastruktur, sebagai bapak yang menumbuhkan kemandirian ekonomi di atas segalanya. Maka, dalam setiap fenomena ini kita harus berterima kasih kepada pemimpin yang telah membangun kebesaran ini.

Para pemimpin telah melakukan pendidikan politik yang kadang kala terlalu jenuh dan terlalu mendewakan kepemimpinannya. Yang jelas, Soekarno dan Soeharto juga manusia biasa yang kadang harus melakukan kesalahan demi membangun fondasi yang diinginkan. Apa yang terjadi kini bukan lagi mengecam kesalahan dengan menyingkirkan atau mendewakan kebenarannya sebagai kitab suci. Kebijakan perlu ditinggikan dalam fenomena historis. Apa yang terjadi kemudian historisitas ini bisa digunakan untuk pendidikan. 
Karena, seyogianya pendidikan adalah fenomena yang fundamental atau asasi dalam kehidupan manusia. Ketika ada kehidupan manusia, di situ terdapat pendidikan. Pendidikan diselenggarakan untuk mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki oleh manusia.

Karakteristik yang disuguhkan pemimpin kita saat ini juga banyak yang tidak telah banyak menjadi pergunjingan di antara banyak rakyatnya. Akan tetapi, polarisasi yang dimaksud bukan saja pembualan konjungtivitas yang perlu diperiolokkan. Pemimpin setidaknya punya gaya dan ambisiusitas tersendiri dalam gaya memimpinnya.

Tanggung Jawab

Dalam kaitan pemimpin, Max Weber mendefinisikan bahwa upaya untuk meraih kepemimpinan adalah melalui sifat tertentu dari seseorang, yang membedakan mereka dari orang kebanyakan dan biasanya dipandang sebagai kemampuan atau kualitas supernatural, manusia super, atau paling tidak daya-daya istimewa. Pemimpin itu setidaknya telah menancapkan sisi keberaniannya untuk menggurui rakyat banyak dengan agenda sosial yang jelas. Tanggung jawab pemimpin merupakan embrio yang perlu ditekankan untuk menjadikan bahwa pemimpin adalah suatu jabatan yang tidak mudah, suatu sifat tertentu dari seseorang.

Maka, apabila pemimpin melakukan kesalahan, kadang bisa diwajarkan. Akan tetapi, pemimpin ini punya sisi positif yang bisa dijadikan bahan edukatif yang jelas. Gaya inilah yang sebisanya perlu ditiru generasi penerusnya. Aura heroisme yang dikumandangkan pemimpin pada waktu itu bisa diambil dengan sisi positifnya.

Apa yang melatar belakangi kemudian adalah, adanya rasa cipta yang telah ada dalam kaitannya dengan pemimpin waktu itu. Kita bisa melihat bahwa gaungan Soekarno pada waktu itu bisa membius warganya untuk rela bersatu dalam ranah nasionalisme. Pun, dengan Soeharto yang telah menciptakan perekonomian yang stabil dan menggalakkan arti hidup dengan bekerja keras. Elaboratif itu kemudian menciptakan gaya pemimpin yang perlu kita resapi jasanya, meski di balik itu sisi negatif pemimpin pasti ada di tengah manifesto gaya leader-nya. Kelebihan gaya kepemimpinan ini ada di penempatan perspektifnya.

Banyak orang seringkali melihat dari satu sisi, yaitu sisi keuntungan dirinya. Sisanya, melihat dari sisi keuntungan lawannya. Hanya pemimpin dengan kepribadian putih ini yang bisa melihat kedua sisi, dengan jelas, apa yang menguntungkan dirinya, dan juga menguntungkan lawannya. Namun, gaya pemimpin ini bisa dinarasikan dengan otentivitas atas nilai-nilai yang ditawarkan pada masanya.

Peranan kaum intelektual dan para generasi penerus kini harus memamnggil sejarah untuk melihat masa lalu yang menaunginya. Ketika politik sebagai seni kini telah banyak berdimensi kelompok saja., maka pemimpin harus mengedepankan kebijakan kolektif dibalik apa yang disebutkan Machiavelli sebagai kebijakan parokial (reason of state), yang menipu kepentingan rakyat.

Pemimpin yang telah ada dalam pendahulu kita setidaknya bisa menjadi cerminan sisi positif dengan modal historis. Apa yang disebutkan bahwa pemimpin setidaknya bisa dikaca oleh generasi selanjutnya dengan disain sebagai kebangkitan. Sehingga, kita bisa melakukan pembebasan bangsa ini dari kekerdilan mentalitas budak , yang mudah dilamun ombak dan bersilang sengkarut dengan isi dan arah kebangsaan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar