Kamis, 27 Juni 2013

Sawit dan Bencana Asap

Sawit dan Bencana Asap
Toto Subandriyo ;  Praktisi Sektor Pertanian, 
Alumnus IPB dan Magister Manajemen UNSOED
KORAN SINDO, 27 Juni 2013


Beberapa hari terakhir media cetak dan elektronik nasional maupun internasional gencar memberitakan peristiwa pembakaran hutan dan lahan di Sumatera yang menimbulkan bencana asap. 

Sesuai dengan sifatnya yang tidak mengenal batas administratif negara, kabut asap hasil pembakaran hutan dan lahan di Sumatera telah menyebar ke wilayah negara-negara tetangga. Meski siang hari langit Singapura dan Malaysia menjadi gelap gulita terpapar kabut asap. Situs Badan Lingkungan Hidup Nasional Singapura, Rabu (19/6), melaporkan bahwa indeks standar polutan (ISP) telah mencapai level 172. Angka ini jauh melampaui ambang batas yang ditetapkan sebesar 100. 

Artinya, kualitas udara Singapura saat itu ”sangat tidak sehat”. Kondisi itu merupakan yang terburuk sejak 1997, saat terjadi kebakaran hutan hebat di Indonesia sehingga ISP di Singapura mencapai 226. Hingga Selasa (25/6), dilaporkan sedikitnya terdapat 3.853 kasus pasien yang ditangani oleh poliklinik di Singapura terkait bencana asap tersebut, atau meningkat 16,5% dari kasus pekan sebelumnya. 

Balai Pengobatan SingHealth juga melaporkan telah dikunjungi 890 pasien asma pekan lalu, naik dari 620 minggu sebelumnya. Pada periode yang sama jumlah kasus conjuctivitis juga melonjak 200-280 di Balai Pengobatan SingHealth. Begitu pula kasus penyakit lain seperti infeksi saluran pernapasan atas dan bronkitis juga meningkat (http://www.straitstimes.com). 

Tidak Terulang 

Kenyataan ini selain sangat memalukan juga merupakan tamparan sangat keras bagi Pemerintah Indonesia. Bagaimana tidak, belum lama ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono baru saja menandatangani Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2013 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan tata Kelola hutan Alam Primer dan Gambut yang merupakan tindak lanjut Inpres Nomor 10 Tahun 2011. 

Inpres tersebut lebih dikenal dengan sebutan Inpres Moratorium Pembalakan Hutan yang bertujuan agar deforestasi dan degradasi hutan yang pernah berlangsung masif dan ekstraktif tidak terulang lagi. Memang, sejak awal pemerintah mengeluarkan kebijakan moratorium itu setengah hati. Pasalnya, sehari sebelum ditandatanganinya Inpres Nomor 10 Tahun 2011 tersebut telah lebih dulu terbit Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 28 Tahun 2011 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung untuk Penambangan Bawah Tanah. 

Perpres itu mengatur tentang tata cara pemberian izin untuk kegiatan penambangan bawah tanah di hutan lindung. Sedangkan Inpres Nomor 10/2011 menegaskan bahwa pemerintah menunda izin dan akan berupaya meningkatkan tata kelola hutan primer serta lahan gambut. Akibat tidak seriusnya pelaksanaan moratorium itu hingga kini pembabatan hutan masih terus berlanjut, pembukaan kebun sawit baru masih masif dilakukan. 

Selama ini pembukaan kebun sawit baru mencapai 300.000–400.000 hektare per tahun. Sebuah sumber menyebutkan, dari 7,9 juta hektare lahan berizin perkebunan sawit, terdapat sepuluh perusahaan perkebunan besar yang menguasai tidak kurang dari 2,1 juta hektare. Bukan hanya itu, banyak izin usaha pertambangan baru yang berpotensi besar mendegradasi hutan masih dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Kelapa sawit memang menjadi salah satu primadona perekonomian Indonesia. 

Pada 2011, produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia tak kurang dari 23,5 juta ton. Angka itu menempatkan Indonesia sebagai produsen CPO terbesar di dunia. Sebaliknya, produksi CPO Malaysia mengalami stagnasi. Kondisi stagnasi produksi CPO Malaysia itu membawa berkah bagi pengusaha sawit Indonesia. Stagnasi produksi CPO di negeri jiran itu membuat harga minyak sawit mentah tetap stabil tinggi. 

Namun di sisi lain, pesatnya industri sawit di Indonesia itu membawa dampak buruk terhadap lingkungan. Ekspansi perkebunan sawit yang berlangsung masif mempercepat laju deforestasi yang sangat berpengaruh pada mutu lingkungan. Saat ini kita dihadapkan pada sebuah kenyataan betapa menyedihkannya kondisi hutan di negeri ini. Kementerian Kehutanan menyebutkan laju deforestasi di Indonesia pada periode 2003–2006 mencapai 1,17 juta hektare per tahun. Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menginformasikan bahwa saat ini terdapat sekitar 30 juta hektare lahan berstatus hutan yang tidak ada lagi hutannya dan gambutnya dalam keadaan rusak. 

Stigma Buruk 

Mengapa bencana kebakaran hutan dan lahan selalu terjadi dan mempermalukan martabat bangsa setiap tahun? Persoalan utama terletak pada lemahnya penegakan hukum bagi para pelanggar aturan. Jujur saja kita akui, peraturan dan undang-undang telah dikeluarkan. Mulai dari Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Larangan Pembakaran Hutan dan Lahan, Undang- Undang Lingkungan Hidup, Undang-Undang Kehutanan, hingga persyaratan wajib menyusun dokumen teknis analisis dampak bagi semua usaha di bidang kehutanan dan perkebunan. 

Teknik penyiapan lahan dengan pembakaran yang ramah lingkungan (prescribe burning) juga telah dikuasai oleh bangsa ini. Permasalahan utama terletak pada hitung-hitungan ekonomi. Sebuah laporan penelitian menyebutkan, kegiatan penyiapan lahan dengan pembakaran biayanya hanya sepertiga dari biaya tanpa bakar. Untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, para pengusaha nakal di bidang perkebunan dan kehutanan lebih memilih menyiapkan lahan dengan cara pembakaran. 

Penegakan hukum menjadi kata kunci bagi keberhasilan mencegah deforestasi. Tanpa penegakan hukum yang tegas, maka tindak perusakan lingkungan tetap akan berlangsung masif. Bencana kebakaran hutan dan bencana asap, akan selalu terjadi dan terjadi lagi. Selain menguras energi bangsa, bencana asap juga mempermalukan bangsa di mata internasional. Bangsa ini akan mendapatkan stigma buruk sebagai bangsa yang tidak becus mengurus lingkungan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar