Senin, 24 Juni 2013

Pelaksanaan PMU Vs Kenaikan Harga BBM

Pelaksanaan PMU Vs Kenaikan Harga BBM
Sukemi ;   Staf Khusus Mendikbud Bidang Komunikasi Media
MEDIA INDONESIA, 24 Juni 2013


SEDIKITNYA ada tiga hal yang bisa dicapai melalui pendidikan. Pertama, berkait dengan upaya mengatasi ketertinggalan sebuah bangsa dalam hal meningkatkan daya saing bangsa (baca: global competitiveness index--GCI). Laporan data Statistik World Bank 2011 dan The Global Competitiveness Report 20102011 menyajikan data bahwa lama sekolah berkorelasi positif terhadap indeks pembangunan manusia (IPM) atau human development index (HDI).

Kedua, pendidikan sebagai elevator sosial yang dapat meningkatkan status sosial peserta didik, manakala ia sudah mencapai jenjang pendidikan tertentu. Logikanya jelas, manakala peserta didik mencapai jenjang tertentu, mereka pasti dipandang sebagai kelompok masyarakat yang lebih daripada yang lain sehingga masyarakat pun memandangnya berbeda dalam status sosialnya.

Fakta itu banyak ditemukan pada mahasiswa penerima program Bidik Misi. Program itu memberikan bantuan bagi lulusan SMA/SMK dari keluarga tidak mampu, tetapi memiliki kemampuan akademik memadai untuk kuliah di pendidikan tinggi tanpa biaya (gratis). Meski mereka berasal dari keluarga dengan ekonomi terbatas,  masyarakat di sekitar memandang status sosial mereka jauh lebih tinggi.

Ketiga, pendidikan sebagai vaksin dalam menangkal penyakit kemiskinan, ketidaktahuan, dan keterbelakangan peradaban. Dalam perspektif sosial kemasyarakatan ada tiga penyakit itu sangat besar dampak negatifnya. Agar terhindar dari ketiga macam penyakit tersebut, jawabannya ialah pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan dapat menjadi vaksin asosial.

Sedikitnya atas tiga alasan itulah, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan awal tahun pelajaran 2013 ini meluncurkan program Pendidikan Menengah Universal (PMU), atau bisa juga disebut sebagai program wajib belajar 12 tahun, mulai tahun pelajaran 2013 ini. Melalui PMU diharapkan, percepatan capaian terhadap angka partisipasi kasar (APK) pendidikan menengah segera terwujud. Dalam simulasi yang dilakukan, untuk mencapai APK 97% penduduk Indonesia, jika tanpa program PMU, baru tercapai pada 2040, sementara dengan PMU tercapai 2020, lebih cepat 20 tahun.

Penaikan harga BBM

Persoalannya di tengah rencana pelaksanaan PMU, pemerintah mengumumkan pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM), yang berimplikasi pada naiknya harga BBM dan menurunnya daya beli masyarakat.
Kekhawatiran mendalam di tengah penaikan harga BBM ada pada sektor pendidikan. Kekhawatiran itu tak berlebihan karena diperkirakan dengan tingkat inflasi mencapai 7,2% dan diikuti dengan penambahan jumlah masyarakat miskin, kepedulian terhadap dunia pendidikan akan jadi kenyataan.

Alasannya jelas, tanpa penaikan harga BBM pun, kepe dulian kelompok masyarakat miskin terhadap keberlanjut an di jenjang pendidikan anak-anak me reka amat mengkha watirkan. Pengalaman menunjukkan penaikan harga BBM pada 2005, dari Rp2.400 ke Rp4.500 (premium) dan dari Rp2.100 ke Rp4.300 (solar) menyebabkan angka kemiskinan meningkat dari 15,97% menjadi 17,75%. menjadi 17,75%.

Data Susenas 2011, terkait dengan keberlanjutan pendidikan pada masyarakat miskin mencatat bahwa lebih dari 30% lulusan SD tidak melanjutkan ke jenjang SMP. Padahal diketahui wajib belajar (wajar) 9 tahun sudah ditetapkan dalam undang-undang. Demikian juga terhadap tingkat keberlanjutan di jenjang SMP ke jenjang berikutnya (baca: sekolah menengah), mencapai 20% lebih lu lusan SMP tidak melanjutkan ke SMA/SMK.

Kesimpulan yang dapat ditarik, dalam situasi normal sekalipun, komitmen kelompok masyarakat miskin terhadap keberlanjutan pendidikan perlu dipertanyakan. Itulah salah satu kendala di dalam pelaksanaan PMU. Berbagai alasan memang bisa mengemuka, mulai faktor kultural hingga persoalan ekonomi. Namun, fakta di lapangan yang ditemukan lebih banyak disebabkan faktor ekonomi. Banyak dari anak keluarga miskin yang tidak sekolah diminta orangtua untuk membantu memenuhi kebutuhan harian keluarga mereka.

Jalan keluar BSM

Karena itulah tidak berlebihan jika subsidi BBM dialihkan untuk program untuk program BSM (bantuan siswa miskin) yang melalui APBN-P Kemendikbud menambah baik sasaran maupun nilai nominal penerima BSM.

Sebuah kebijakan yang tepat jika sasarannya untuk program-program prorakyat, karena selama ini subsidi BBM lebih dari 50% dinikmati 20% orang terkaya di Indonesia. Sementara itu, hanya sekitar 2% dari APBN yang dianggarkan untuk program prorakyat seperti raskin, BSM, PKH, dan Jamkesmas.
Ketimpangan itu tidak boleh terjadi lagi. Karena itu, perlu dukungan terhadap kebijakan pengalihan subsidi, dari yang berorientasi hanya kepada orang kaya ke masyarakat ekonomi terbatas (miskin). Itulah sesungguhnya yang melatarbelakangi kebijakan pengurangan subsidi BBM, melindungi kelompok masyarakat yang berpenghasilan terbatas.

BSM merupakan bantuan tunai yang diberikan secara langsung kepada anak-anak usia sekolah untuk semua jenjang, dasar dan menengah yang berasal dari rumah tangga miskin dan rentan. Bertujuan melindungi dunia pendidikan agar anak-anak tetap bersekolah. Berkait dengan kenaikan harga BBM, Kemendikbud telah mendesain penambahan jumlah penerima BSM dengan total nilai Rp6,09 triliun untuk 13,5 juta sasaran peserta didik jenjang sekolah dasar dan menengah.

Pada 2013, melalui APBN, jumlah penerima BSM di jenjang SD, SMP, SMA, dan SMK sebanyak 5,9 juta siswa dengan nilai nominal Rp360 ribu per siswa per tahun untuk SD, Rp560 ribu (SMP), dan Rp1 juta (SMA/SMK), maka melalui APBN-P jumlahnya kini menjadi 13,5 juta siswa dengan nilai nominal sebesar Rp450 ribu (SD), Rp750 ribu (SMP), sedangkan SMA/SMK tetap Rp1 juta, per siswa per tahun, dengan tambah manfaat sebesar Rp200 ribu per siswa. Di jenjang perguruan tinggi pun diberikan tambahan untuk penerima Bidik Misi sebanyak 8.900 mahasiswa baik mereka yang diterima di PTN maupun PTS.

BSM itu diharapkan akan dapat meningkatkan akses terhadap pelayanan pendidikan yang berkualitas, mencegah putus sekolah, dan menarik anak usia sekolah dari rumah tangga miskin dan rentan untuk kembali ke sekolah. BSM lebih bersifat personal, diterima langsung oleh peserta didik. Melalui mekanisme penyaluran BSM yang berbasis rumah tangga dengan kartu perlindungan sosial itulah, kita berharap penyalurannya lebih tepat sasaran.

Bagaimana jika rentannya keluarga itu baru dialami pada saat penaikan harga BBM? Kemendikbud melalui posko yang telah disiapkan akan memverifikasi ulang keluarga para penerima BSM. Sudah barang tentu jumlahnya bertambah, itu pulalah kenapa baik nominal dan sasarannya juga diperbesar.
Intinya tidak boleh karena keterbatasan ekonomi, peserta didik tidak sekolah.
Itulah sebabnya ajakan Kemendikbud untuk membuka posko antiputus sekolah di masyarakat perlu disambut dengan baik.


Terhadap serangkaian program itulah kita berharap penaikan harga BBM yang baru saja diumumkan tidak berhadap-hadapan secara langsung dengan dunia pendidikan kita. Kalaupun terjadi, BSM diharapkan bisa menjadi jalan keluar. Semoga. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar