|
SUARA
KARYA, 26 Juni 2013
Pada pagelaran Indonesia Celluler Show (ICS) di
Jakarta, 13 - 16 Juni 2013, Menteri Telekomunikasi dan Informasi Tifatul
Sembiring menyebutkan bahwa pertumbuhan industri telekomunikasi nasional
mencapai lebih dari 10 persen sehingga menjadikannya sebagai salah satu motor
terpenting penggerak ekonomi. Industri telekomunikasi memang telah menjadi
tulang punggung pertumbuhan ekonomi nasional dalam lebih dari satu dekade
terakhir.
Sebuah survei yang dilakukan oleh International Telecommunication Union (ITU),
misalnya, menyebutkan kalau peningkatan kapasitas broadband sebesar 10 persen dapat meningkatkan penerimaan domestik
bruto (PDB) suatu negara sebesar 1,38 persen. Hal ini divalidasi oleh Badan
Pusat Statistik (BPS) yang mencatat bahwa pertumbuhan teknologi informasi dan
komunikasi pada 2012 memberikan kontribusi sebesar 3,2 persen terhadap PDB
nasional, suatu jumlah yang tentu tidak sedikit.
Ironisnya, para pelaku industri
telekomunikasi belum mendapatkan dukungan dan perlindungan penuh dalam menjalankan
kegiatan mereka. Seringkali regulasi yang dibuat justru menghalangi laju
perkembangan, sehingga pada akhirnya para pelaku industri telekomunikasi harus
berjuang sendiri untuk mempertahankan eksistensinya.
Satu contoh nyata adalah kasus
yang sedang dihadapi PT Indosat dan anak perusahaannya PT Indosat Mega Media
(IM2). Kerjasama keduanya, sebagaimana terungkap melalui media massa, terkait
penggunaan Frekuensi 2,1 GHz yang dianggap menimbulkan potensi kerugian negara
sebesar Rp 1,3 triliun oleh pihak Kejaksaan Agung. Lucunya, Kementerian
Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo), selaku regulator industri
telekomunikasi, justru mengatakan sebaliknya. Akhir tahun lalu, Kemenkominfo
mengirimkan surat resmi kepada Kejagung dan menyatakan bahwa kerjasama kedua perusahaan
itu tidak melanggar peraturan dan sudah sesuai dengan UU No 36 Tahun 1999
tentang Telekomunikasi.
Persoalan hukum yang muncul di
sini adalah adanya indikasi konflik norma antara norma UU Tipikor, yaitu UU No
31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi dengan UU No
39 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi jo UU No 40 Tahun 2007 Tentang PT dan UU N
8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal. Mengapa demikian, karena PT Indosat Tbk
adalah PT yang tunduk pada UU PT sekaligus tunduk pada UU Pasar Modal, karena
telah go public ke Bursa Pasar Modal. Demikian pula PT IM2 adalah PT yang
merupakan entitas bisnis swasta yang tunduk pada UU PT dan tidak tunduk pada UU
Pasar Modal karena tidak go public.
Begitu keduanya menjalankan kegiatan bisnis telekomunikasi, maka mereka juga
wajib tunduk pada UU Telekomunikasi.
Pertanyaan legal yang menggelitik,
apakah PT Indosat Tbk dan PT IM2 dapat ditundukkan pada persoalan kerugian
negara yang masuk dalam ranah korupsi karena menjalankan kegiatan bisnisnya?
Dalam pendekatan hukum bisnis
(Hukum PT, Hukum Pasar Modal, Hukum Perjanjian dan hukum terkait lainnya),
sesungguhnya langkah penegak hukum membawa kasus ini ke ranah korupsi, dapat
dikatakan terlalu jauh, atau, seperti dipaksakan. Adagium hukum, Lex specialis derogate legi generali
yang memberikan jalan keluar adanya konflik norma hukum antara Hukum PT, Hukum
Pasar Modal dan Hukum telekomunikasi di satu pihak bersandingan dengan Hukum
Tipikor, sepertinya tidak dianggap dalam proses penegakan hukum tersebut.
Sejauh ini, dalam melakukan
kerjasama penggunaan frekuensi 2,1 GHz, baik Indosat dan IM2 sudah mendapatkan
ijin dari Kemenkominfo sebagai regulator. Sehingga apabila diduga terjadi
pelanggaran seharusnya penyelesaian dilakukan dengan menggunakan mekanisme yang
berlaku, yaitu masuk ke dalam ranah hukum perdata, termasuk hukum bisnis atau
mungkin ranah hukum administrasi negara terkait dengan masalah perijinan kedua
perusahaan tersebut.
Hukum sebagai satu kesatuan
sistem, dalam penegakannya seharusnya tidak boleh terjadi konflik norma.
Jikapun terjadi dalam prakteknya, doktrin hukum sudah memberikan solusi yang
dapat digunakan hakim untuk memutuskannya. Doktrin tersebut salah satunya
sebagaimana saya sebutkan di atas, yaitu Lex specialis legi gererali (Hukum khusus
mengesampingkan hukum umum). Hukum atau peraturan perundang-undangan di bidang
Telekomunikasi dan UU PT, UU Pasar Modal jelas menempatkan posisi UU tersebut
sebagai hukum khusus yang wajib diperlakukan dengan mengesampingkan hukum umum.
Menggunakan UU Tipikor sebagai
primus act untuk menyelesaikan kasus bisnis seperti kasus Indosat ini jelas
mengancam rasionalitas hukum, karena mengesampingkan UU lainnya yang wajib
diperlakukan sebagai hukum khusus. Hal ini justru merupakan sebuah pengurangan
fungsi penegakan hukum itu sendiri. Di dalam UU Tipikor mengatur bahwa sebuah
pelanggaran dapat disebut sebagai korupsi apabila dinyatakan secara tegas dan
jelas di dalam suatu UU tertentu.
Artinya jelas, apabila perjanjian
antara Indosat dan IM2 tidak merupakan pelanggaran pidana berdasarkan UU
Telekomunikasi maka penegakan hukum harus dijalankan sesuai dengan syarat dan
prosedur menurut UU tersebut. Terlebih lagi kedua perusahaan itu berbentuk
hukum PT, yang satu adalah PT go public (Tbk), dan lainnya adalah PT Tertutup.
Dalam hukum bisnis di Indonesia, sekalipun PT IM2 adalah anak perusahaan PT
Indosat Tbk, namun mereka adalah entitas hukum yang masing-masing mandiri. Dari
sudut pendekatan hukum perdata dan hukum bisnis sah-sah saja kedua entitas
hukum tersebut mengadakan perjanjian kerjasama.
Jika perjanjian tersebut
"mungkin" melanggar UU telekomunikasi, adakah sanksi di dalam UU
publik tersebut yang mengaturnya, misalnya terkait soal perizinan. Itu, dulu
yang wajib diberlakukan dan ditegakkan. Namun, melihat dampak yang begitu besar
dari kelanjutan kasus ini khususnya terhadap kepastian hukum, maka kita semua
berharap kiranya kasus ini dapat diselesaikan secara adil dan bijaksana.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar