|
SUARA
MERDEKA, 26 Juni 2013
BEBERAPA hari ini publik ramai memperbincangkan asap
kiriman dari Sumatera ke negeri tetangga, Singapura. Bahkan tingkat polusi
udara di Negeri Singa itu telah mencapai angka tertinggi: 400 PSI. Pollutant standards index (PSI) pada
angka 101-200 sudah mengindikasikan kualitas udara tidak sehat, 201-300 sangat
tidak sehat, dan lebih dari itu berarti berbahaya. Angka itu merupakan
’’rekor’’ tertingi dalam 16 tahun terakhir.
Soal kabut asap, protes keras dari warga dan pemerintah
Singapura terhadap Indonesia tak bisa dihindari, terutama menyangkut
keselamatan dan kesehatan publik. Efek turunannya, rakyat Singapura marah,
menuding kebijakan politik luar negeri pemerintah mereka terlalu lembek
terhadap Indonesia. Badan Lingkungan Hidup Nasional Singapura, NEA, menyebutkan
setidak-tidaknya ada 138 titik api terdeteksi di wilayah Sumatera, dan
diperkirakan bertambah.
NEA mengeluarkan peringatan bagi warga, terutama anak-anak
dan kaum lanjut usia untuk menghindari kegiatan di luar ruangan. Menteri
Lingkungan Hidup Dr Vibian Balakrishnan mengatakan Indonesia merepotkan
Singapura tiap tahun, kebakaran itu bukan semata-mata disebabkan pembukaan
lahan secara tradisonal melainkan sudah berskala massal demi kepentingan
industri dan komersial.
Menteri Luar Negeri K Shanmugam pun menyindir secara
diplomatis, dengan langsung menelepon Marty K Natalegawa, ikut merasa prihatin
atas situasi kabut asap yang bertambah parah. Dia mempertegas komitmen
pemerintah Singapura untuk membantu Indonesia memerangi kebakaran hutan di Sumatera.
Respons positif Indonesia atas protes dan sikap
keprihatinan tersebut tentu saja sangat diharapkan Singapura. Namun sikap yang
diekspresikan Indonesia tak seperti diharapkan, terutama penyelesaian jangka
panjang.
Rumus Politik
Dalam rumus politik luar negeri, minimal ada dua strategi
yang dimunculkan negara ’’besar’’ dalam menyikapi tuntutan negara ìkecilî.
Pertama; menggunakan strategi konfrontatif, dan kedua mengambil sikap memimpin.
Strategi konfrontatif suatu negara akan mempertajam isu-isu yang mengandung
konflik kepentingan terhadap lawannya dan memaksa negara lawan memodifikasi
posisinya melalui pengakuan terhadap superioritas negara tersebut.
Dalam konteks rumus politik konfrontatif dapat dibaca dari
pernyataan Menko Kesra Agung Laksono yang menyebut protes Singapura sebagai
kekanak-kanakan dan membuat keributan yang tak ada gunanya. Demikian pula
ungkapan Kemenlu RI yang menyatakan tidak ada kata maaf soal kabut asap karena
kasus ini bukan kesengajaan pemerintah.
Bahkan pemerintah Indonesia, seperti disampaikan Kepala
Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho, tegas menolak tawaran
bantuan dari Singapura dan menganggap potensi nasional cukup memadai untuk
mengatasi masalah kebakaran hutan di Sumatera. Sederet ungkapan tersebut dapat
dikategorikan bentuk reaksi konfrontatif.
Langkah lembut tentu saja dengan mengedapankan strategi
kedua, yakni leadership, yang memprioritaskan cara persuasif dan tawar-menawar
ketimbang lewat kekerasan. Tentu negara yang merasa superior akan mengambil
langkah inisiatif, bukan dengan cara solusi yang disodorkan negara lawan.
Itulah salah satu penjelas mengapa tawaran bantuan Singapura ditolak oleh
Indonesia.
Pendekatan persuasif Indonesia harus kembali ke ASEAN way,
pemecahan konflik dengan mengutamakan solidaritas, komitmen, dan kesepakatan
antarnegara anggota ASEAN dan menghindari sikap serta pernyataan saling
menyalahkan dalam mengatasi masalah kemerebakan kabut asap dari kebakaran hutan
di Sumatera.
Pilihan ini selaras dengan pandangan pengamat hubungan
internasional, yang juga Direktur Eksekutif
ASEAN Foundation, Makarim Wibisono yang mengingatkan bahwa Perhimpunan
Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) secara historis memiliki kesepakatan yang
mengedepankan komitmen dialog, serta menghindari segala retorika dan tindakan
yang terkesan provokatif dalam mengatasi segala macam konflik antarnegara
anggota. SBY pun sudah meminta maaf kepada Singapura dan Malaysia, dalam jumpa
pers di kantor kepresidenan (SM, 25/6/13).
Singapura sebenarnya hanya ingin persoalan asap itu cepat
selesai. Pemerintah negara itu tidak terlalu tertarik berpolemik dalam
menanggapi ungkapan sinis Indonesia atas protes mereka. Hal ini sudah
diperlihatkan oleh PM Lee Hsien Loong yang memilih fokus menyelesaikan masalah
kabut asap dan meyakinkan warganya bahwa negara menjamin keselamatan mereka,
ketimbang melakukan diplomasi megafon
yang tidak akan menghasilkan apa-apa. Tentu akan menjadi langkah bijak bagi
pemerintah Indonesia untuk membuktikan langkah konkret secara cepat dalam
mengatasi masalah, ketimbang berdebat melalui sejumlah kritik keras yang tidak
konstruktif. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar