Jumat, 28 Juni 2013

Pemahaman Jihad Kontekstual

Pemahaman Jihad Kontekstual
Ali Usman ;  Alumnus Magister Agama dan Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
SUARA MERDEKA, 27 Juni 2013


“Jihad dalam pengertian perang tak bisa lagi diberlakukan di Indonesia karena realitas empirik tak mensyaratkan”

PEMAHAMAN terhadap terminologi jihad dewasa ini makin liar, dan ironi itu terjadi pada kalangan muslim sendiri, termasuk di Indonesia. Mereka masih mengidentikkan jihad dengan ’’perang fisik’’ terhadap kelompok tertentu, seolah-olah sah menyakiti, bahkan membunuh orang lain hanya lantaran berbeda pendapat dan keyakinan beragama.

Salah kaprah dalam memahami terminologi jihad itu jelas memberi kesan dan stigma negatif terhadap Islam, yang kemudian berubah makna sebagai agama yang identik dengan kekerasan. Apakah muslim yang mengerahkan seluruh kemampuan atau tenaga dengan bersungguh-sungguh berbuat kebaikan dan mengharap rida-Nya, lantas dikatakan berjihad dalam pengertian perang?

Pengertian jihad tidak semestinya dipahami secara sempit tetapi harus senantiasa dikembangkan secara luas, yaitu tidak identik dengan perang atau pertempuran. Merujuk Alquran, Muhammad Fu’ad Abdul Baqi dalam al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadzil al-Quríani al-Karim menyebut 41 kata jihad dan derivasinya dalam Kitab Suci itu.

Ayat jihad dalam konteks perjuangan berjumlah 28: al-Baqarah: 218, Ali Imran: 142, an-Nisaí: 95, al-Maidah: 53-54, al-Anfal: 72,74,75, at-Taubah: 16, 19, 20, 24, 41, 44, 73, 81, 86, 88, an-Nahl: 110, al-Hajj: 78, al-Furqan: 52, al-ëAnkabut: 6, 69, Mu­hammad: 31, al-Hujarat: 15, al-Mumtahanah: 1, ash-Shaf: 11, dan at-Tahrim: 9. Ayat tersebut sebagian turun pada periode Makkah dan sebagian besar lainnya turun pada periode Madinah (Chirzin, 2006: 47-48).

Dari serpihan ayat-ayat itu, sangat tampak perjuangan melalui jihad yang dilakukan Nabi dan sahabatnya tidaklah identik dengan peperangan dan memusuhi orang lain yang tidak sealiran.

Lagi pula, jihad dalam pengertian fisik identik dengan pembelaan terhadap Tuhan. Jika demikian ada­nya, rasanya perlu mengingat seloroh Abdur­rahman Wahid, ’’Tuhan kok dibela?î, kata Gus Dur. Mengapa mesti menolong atau membela Tuhan? Bukankah Tuhan dengan segala Kemahakuasaan-Nya telah memiliki segalanya, dan sangat mampu mengubah sesuatu yang oleh manusia mungkin dianggap mustahil?

Perjuangan yang dimaksud pada ayat-ayat tentang jihad sesungguhnya dalam rangka menegakkan kebenaran melalui ajaran-ajaran Islam yang rahmat lil alamin, penuh perdamaian. Karenanya, upaya perdamaian yang telah dipraktikkan Nabi saw sejatinya juga menjadi teladan bagi kita semua, yang mengaku diri beriman, dan termasuk pengikut Muhammad saw.

Tidaklah benar praktik kekerasan yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah (apalagi menyangkut agama, yang terang-terangan mengangkat bendera jihad), walau dengan dalih apa pun. Lalu bagaimana­kah cara kita mengamalkan perintah jihad dalam konteks Indonesia?

Sejauh ini, Indonesia adalah negeri aman, damai, dan tidak ada pertentangan dan konflik dengan negara tetangga. Pasalnya, jihad dalam pengertian perang pada hemat saya bisa diberlakukan manakala negara kita benar-benar dalam kondisi diserang oleh negara lain. Jadi motif jihad dalam konteks ini, bukan lagi berbasis agama tertentu (Islam), melainkan lebih pada nasionalisme demi mempertahankan kedaulatan bangsa. Inilah yang pernah terjadi di masa-masa penjajahan prakemerdekaan dahulu, seperti yang pernah diserukan oleh KH Hasyim Asy’ari lewat resolusi jihadnya.

Sistem Global

Saat sekarang, jihad dalam pengertian perang tidak bisa lagi diberlakukan di Indonesia, karena realitas empirik tidak mensyaratkan, namun kita perlu mencari relevansi yang ideal agar tetap bisa mengamalkan perintah jihad, sebagaimana diserukan oleh Alquran atau hadis. Caranya adalah dengan memalingkan pada sesuatu yang bersifat humanis dan tidak menunjukkan adanya kekerasan.

Misalnya jihad melawan kemiskinan, penindasan, ketidakadilan, dan jihad melawan korupsi. Jihad model ini membutuhkan tenaga dan usaha yang sungguh-sungguh untuk menegakkannya. Tiap orang dituntut untuk mengendalikan ego agar tidak terjebak pada perbuatan nista dan hina yang dapat merugikan orang lain. Saya kira ini jauh lebih penting dan relevan diterapkan di negara kita, ketimbang mempraktikkan jihad dalam bentuk perang fisik.

Apalagi, hal ini juga sejalan dengan sabda yang ’’disinyalir’’ langsung oleh Nabi Muhammad ketika menasihati para sahabatnya sepulang perang, yaitu ìjihad akbarî menurut Beliau, bukan dengan mengangkat senjata, melainkan berperang melawan hawa nafsu; bisa berbentuk egoisme, keserakahan. dan padanan negatif yang lain.

Muslim Indonesia sejatinya bisa menjadi pelopor untuk tidak korupsi, bukan malah ikut memanen uang rakyat yang bukan haknya. Dengan begitu, jelas bahwa jihad tidak mempunyai kaitan dengan agresi, ataupun dengan penyebaran keyakinan, ego individual, fanatisme, dan irasionalitas.

Lewat pemaknaan demikian, jihad berarti melawan penindasan, despotisme, dan ketidakadilan— di mana pun berada— demi kepentingan yang tertindas, siapa pun mereka. Perlawanan terhadap penindasan dan ketidakadilan bukan lewat perang fisik melainkan jihad melawan sistem global yang menyebabkan terjadi kemiskinan dan kesengsaraan yang menimpa rakyat.

Daya sainglah yang bakal menentukan, sejauh mana muslim mampu mengimbangi sistem kapitalisme yang mengegemoni kuat pada hampir seluruh sektor kehidupan umat manusia. Semoga. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar