|
SUARA
MERDEKA, 27 Juni 2013
“Jihad dalam
pengertian perang tak bisa lagi diberlakukan di Indonesia karena realitas
empirik tak mensyaratkan”
PEMAHAMAN terhadap terminologi jihad dewasa ini makin liar,
dan ironi itu terjadi pada kalangan muslim sendiri, termasuk di Indonesia.
Mereka masih mengidentikkan jihad dengan ’’perang fisik’’ terhadap kelompok
tertentu, seolah-olah sah menyakiti, bahkan membunuh orang lain hanya lantaran
berbeda pendapat dan keyakinan beragama.
Salah kaprah dalam memahami terminologi jihad itu jelas
memberi kesan dan stigma negatif terhadap Islam, yang kemudian berubah makna sebagai
agama yang identik dengan kekerasan. Apakah muslim yang mengerahkan seluruh
kemampuan atau tenaga dengan bersungguh-sungguh berbuat kebaikan dan mengharap
rida-Nya, lantas dikatakan berjihad dalam pengertian perang?
Pengertian jihad tidak semestinya dipahami secara sempit
tetapi harus senantiasa dikembangkan secara luas, yaitu tidak identik dengan
perang atau pertempuran. Merujuk Alquran, Muhammad Fu’ad Abdul Baqi dalam
al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadzil al-Quríani al-Karim menyebut 41 kata jihad
dan derivasinya dalam Kitab Suci itu.
Ayat jihad dalam konteks perjuangan berjumlah 28:
al-Baqarah: 218, Ali Imran: 142, an-Nisaí: 95, al-Maidah: 53-54, al-Anfal:
72,74,75, at-Taubah: 16, 19, 20, 24, 41, 44, 73, 81, 86, 88, an-Nahl: 110,
al-Hajj: 78, al-Furqan: 52, al-ëAnkabut: 6, 69, Muhammad: 31, al-Hujarat: 15,
al-Mumtahanah: 1, ash-Shaf: 11, dan at-Tahrim: 9. Ayat tersebut sebagian turun
pada periode Makkah dan sebagian besar lainnya turun pada periode Madinah
(Chirzin, 2006: 47-48).
Dari serpihan ayat-ayat itu, sangat tampak perjuangan
melalui jihad yang dilakukan Nabi dan sahabatnya tidaklah identik dengan
peperangan dan memusuhi orang lain yang tidak sealiran.
Lagi pula, jihad dalam pengertian fisik identik dengan
pembelaan terhadap Tuhan. Jika demikian adanya, rasanya perlu mengingat
seloroh Abdurrahman Wahid, ’’Tuhan kok dibela?î, kata Gus Dur. Mengapa mesti
menolong atau membela Tuhan? Bukankah Tuhan dengan segala Kemahakuasaan-Nya
telah memiliki segalanya, dan sangat mampu mengubah sesuatu yang oleh manusia
mungkin dianggap mustahil?
Perjuangan yang dimaksud pada ayat-ayat tentang jihad
sesungguhnya dalam rangka menegakkan kebenaran melalui ajaran-ajaran Islam yang
rahmat lil alamin, penuh perdamaian. Karenanya, upaya perdamaian yang telah
dipraktikkan Nabi saw sejatinya juga menjadi teladan bagi kita semua, yang
mengaku diri beriman, dan termasuk pengikut Muhammad saw.
Tidaklah benar praktik kekerasan yang dilakukan untuk
menyelesaikan masalah (apalagi menyangkut agama, yang terang-terangan
mengangkat bendera jihad), walau dengan dalih apa pun. Lalu bagaimanakah cara
kita mengamalkan perintah jihad dalam konteks Indonesia?
Sejauh ini, Indonesia adalah negeri aman, damai, dan tidak
ada pertentangan dan konflik dengan negara tetangga. Pasalnya, jihad dalam
pengertian perang pada hemat saya bisa diberlakukan manakala negara kita
benar-benar dalam kondisi diserang oleh negara lain. Jadi motif jihad dalam
konteks ini, bukan lagi berbasis agama tertentu (Islam), melainkan lebih pada
nasionalisme demi mempertahankan kedaulatan bangsa. Inilah yang pernah terjadi
di masa-masa penjajahan prakemerdekaan dahulu, seperti yang pernah diserukan
oleh KH Hasyim Asy’ari lewat resolusi jihadnya.
Sistem Global
Saat sekarang, jihad dalam pengertian perang tidak bisa
lagi diberlakukan di Indonesia, karena realitas empirik tidak mensyaratkan,
namun kita perlu mencari relevansi yang ideal agar tetap bisa mengamalkan
perintah jihad, sebagaimana diserukan oleh Alquran atau hadis. Caranya adalah dengan
memalingkan pada sesuatu yang bersifat humanis dan tidak menunjukkan adanya
kekerasan.
Misalnya jihad melawan kemiskinan, penindasan,
ketidakadilan, dan jihad melawan korupsi. Jihad model ini membutuhkan tenaga
dan usaha yang sungguh-sungguh untuk menegakkannya. Tiap orang dituntut untuk
mengendalikan ego agar tidak terjebak pada perbuatan nista dan hina yang dapat
merugikan orang lain. Saya kira ini jauh lebih penting dan relevan diterapkan
di negara kita, ketimbang mempraktikkan jihad dalam bentuk perang fisik.
Apalagi, hal ini juga sejalan dengan sabda yang
’’disinyalir’’ langsung oleh Nabi Muhammad ketika menasihati para sahabatnya
sepulang perang, yaitu ìjihad akbarî menurut Beliau, bukan dengan mengangkat
senjata, melainkan berperang melawan hawa nafsu; bisa berbentuk egoisme,
keserakahan. dan padanan negatif yang lain.
Muslim Indonesia sejatinya bisa menjadi pelopor untuk tidak
korupsi, bukan malah ikut memanen uang rakyat yang bukan haknya. Dengan begitu,
jelas bahwa jihad tidak mempunyai kaitan dengan agresi, ataupun dengan
penyebaran keyakinan, ego individual, fanatisme, dan irasionalitas.
Lewat pemaknaan demikian, jihad berarti melawan penindasan,
despotisme, dan ketidakadilan— di mana pun berada— demi kepentingan yang
tertindas, siapa pun mereka. Perlawanan terhadap penindasan dan ketidakadilan
bukan lewat perang fisik melainkan jihad melawan sistem global yang menyebabkan
terjadi kemiskinan dan kesengsaraan yang menimpa rakyat.
Daya sainglah yang bakal menentukan, sejauh mana muslim
mampu mengimbangi sistem kapitalisme yang mengegemoni kuat pada hampir seluruh
sektor kehidupan umat manusia. Semoga.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar