|
KOMPAS,
26 Juni 2013
Kenaikan
harga pangan seolah-olah sudah menjadi ritual rutin tahunan mendekati hari-hari
besar keagamaan. Untuk tahun ini, kenaikan harga pangan diperkirakan lebih
tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya karena diamplifikasi kenaikan harga
BBM, anomali iklim, ketergantungan impor, serta masalah manajemen pangan dan
produksi pertanian.
Kompas
(20-21/6/2013) melaporkan, kenaikan harga pangan sudah mulai terjadi di hampir
semua komoditas, mulai dari beras, tepung terigu, gula, telur, minyak goreng,
dan hortikultura. Berdasarkan pantauan pasar, harga pangan dipastikan naik di
hampir seluruh wilayah di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa
Tenggara. Pantauan oleh media lain menunjukkan, harga pangan sudah mulai naik
di 66 kota. Meskipun demikian, kenaikannya masih di bawah 10 persen untuk
setiap komoditas.
Pemerintah
berusaha mengantisipasi gejolak harga pangan melalui dua sisi, yaitu memastikan
kecukupan pasokan pangan dan mengusahakan kelancaran arus distribusi barang
melalui perbaikan infrastruktur transportasi. Stok beras diasumsikan cukup,
sedangkan daging sapi dan hortikultura ditingkatkan pasokannya melalui impor.
Pemerintah membuka keran impor 13 jenis hortikultura, antara lain cabai, bawang
merah, buah-buahan, dan wortel.
Pengendalian
kenaikan harga pangan oleh pemerintah mendasarkan diri pada kaidah ekonomi
sederhana, yaitu harga dibentuk oleh penawaran (supply) dan permintaan (demand).
Bila permintaan tinggi sedangkan jumlah barang yang ditawarkan tetap atau
berkurang, harga akan naik. Dengan demikian, melalui penambahan pasokan barang
dan menjamin distribusinya, harga akan bisa dikendalikan.
Hal
itu berlaku dalam situasi fluktuasi harga siklis yang normal. Dalam kondisi
fluktuasi harga abnormal, harga tidak lagi ditetapkan hukum
penawaran-permintaan, tetapi oleh faktor lain, seperti kebijakan pemerintah,
spekulasi pangan, persepsi dan suasana psikologi masyarakat, serta bencana.
Faktor
fluktuasi harga pangan
Kenaikan
harga BBM tampaknya tak akan berpengaruh besar terhadap kenaikan harga pangan
di Indonesia. Dalam skala global, kenaikan harga energi tak signifikan dalam meningkatkan
harga pangan (Avalos, 2013). Faktor penting pertama yang lebih berpengaruh
terhadap dinamika harga pangan adalah pertumbuhan permintaan dalam skala
global. Pertumbuhan permintaan terutama berasal dari negara-negara dengan
pertumbuhan ekonomi pesat, seperti China, India, dan beberapa negara di Asia
termasuk Indonesia. Permintaan juga tumbuh akibat konversi jagung menjadi
etanol terutama di Amerika Serikat, yang merupakan produsen jagung terbesar di
dunia. Bila pada tahun 2000 hanya 5 persen jagung AS yang digunakan untuk
memproduksi etanol, saat ini lebih dari 35 persen panen jagung berpindah dari
kepentingan pakan dan pangan menjadi minyak. Hal itu mengguncangkan pasar
jagung internasional yang kemudian menggeret harga kedelai dan gandum ikut ke atas.
Faktor
kedua adalah kebijakan moneter yang longgar (easy monetary policy). Tingkat bunga yang rendah menyebabkan
kelebihan likuiditas. Kelebihan likuiditas tersebut mencari jalannya sendiri
dan masuk ke pasar komoditas yang menyebabkan harga pangan meningkat. Faktor
ketiga adalah spekulasi. Faktor ini sangat terkait dengan faktor kedua.
Spekulasi berdampak buruk baik ketika harga pangan tinggi maupun rendah.
Kedua-duanya menghasilkan hasil yang sama, yaitu harga akan meningkat. Dalam
lima tahun terakhir, uang yang disalurkan bank untuk spekulasi perdagangan
komoditas pangan meningkat lebih dari 100 persen. Hal itu menyebabkan enam bank
di Eropa menghilangkan produk pertanian dalam mekanisme pendanaan komoditas
karena menyadari bahaya spekulasi di bidang pangan (DA Santosa, Kompas 19/3/2013).
Meretas
masalah
Langkah
pemerintah meredam kenaikan harga dengan hanya meningkatkan pasokan dan
memperbaiki distribusi diperkirakan kurang efektif. Apalagi, langkah
peningkatan pasokan dilakukan dengan impor pangan. Membuka lebar-lebar pintu
impor akan membuat sistem pertanian dan pangan kita semakin terpuruk.
Perjalanan
kebijakan dan kelembagaan pangan di Indonesia hampir mirip China, tetapi dengan
hasil akhir berbeda. Sebelum Reformasi, Pemerintah Indonesia mengontrol dengan
ketat pasokan dan harga pangan melalui dua institusi: Bulog dan kementerian
pangan. China juga melakukan hal yang sama melalui kebijakan ”monopoli negara
atas pembelian dan pemasaran” terutama biji-bijian.
Setelah
tahun 1985, kontrol negara terhadap pangan pelan-pelan diturunkan. Hal itu
berisiko pasar pangan di China lebih peka terhadap dampak pasar pangan
internasional. Hal itu juga menyebabkan karakteristik fluktuasi harga dan
aturan-aturan yang harus dibuat menjadi lebih kompleks. China tetap
mempertahankan kebijakan pengendalian harga yang ketat, selain juga menguatkan
mekanisme cadangan pangan serta regulasi ekonomi makro lain. Dua target utama
China adalah stabilisasi harga pangan dan peningkatan pendapatan petani (Lu dkk, 2013).
Sebaliknya,
pasca-Reformasi, Indonesia benar-benar menjadi pasar terbuka untuk segala jenis
barang dan komoditas. Ketahanan pangan Indonesia terintegrasi langsung dengan
pasar internasional. Petani-petani kecil kita dihadapkan langsung dengan
petani-petani kaya negara maju yang padat subsidi. Bersamaan dengan itu,
beberapa komoditas hancur dan tidak terpulihkan lagi hingga saat ini, misalnya
kedelai. Harga beras hanya dalam satu dekade meningkat 300 persen, demikian
juga pangan lain. Sepanjang tahun, harga hortikultura berfluktuasi sangat
tinggi.
Harga
yang stabil tinggi menguntungkan petani, sedangkan fluktuasi tinggi sangat
merugikan mereka. Harga jatuh saat panen raya dan tinggi ketika sudah berada di
tangan pedagang dan spekulan pangan. Peningkatan pasokan untuk mengendalikan
harga, apalagi melalui impor, terbukti tak efektif, misalnya kasus harga daging
sapi yang tak terselesaikan hingga saat ini. Fluktuasi harga jangka pendek,
misalnya menghadapi hari raya, biasanya tidak disebabkan kurangnya pasokan,
tetapi tekanan harga yang sifatnya random dan sulit dikontrol. Dengan
demikian, perhatian pemerintah seharusnya ditekankan pada pengendalian
fluktuasi harga jangka panjang.
Salah
satu kunci terkait dengan hal itu adalah mengembangkan mekanisme proteksi
harga, terutama harga pangan utama dan implementasi subsidi untuk mendukung
proteksi harga tersebut. Cara tersebut dijalankan dengan sangat berhasil oleh
China sehingga setelah 2004 harga pangan di China terhitung paling stabil di
dunia. Stabilitas harga merangsang petani untuk berproduksi sehingga total
produksi pertanian meningkat.
Berdasarkan
diskusi dengan berbagai jaringan petani di Indonesia, tanpa subsidi pun mereka
akan tetap bergairah berproduksi bila pemerintah mampu memberikan jaminan harga
minimum bagi petani. Poin terpenting di sini adalah mengubah orientasi
pembangunan pertanian dan pangan dari ketahanan pangan yang sangat kuat di sisi
akses dan jaminan pangan ke konsumen beralih orientasinya ke petani. Dengan
menyelamatkan petani, masa depan pangan kita akan selamat sehingga tidak ada
lagi kepanikan pemerintah menghadapi ritual fluktuasi harga pangan menjelang
hari raya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar