|
IndoPROGRESS, 24 Juni 2013
KONSER dibuka tepat pukul 19.40.
Jumat, 7 Juni 2013, Teater Kecil di komplek Taman Ismail Marzuki, Cikini yang
berkapasitas 250 orang mulai padat. Sebagian besar adalah para aktivis,
kawan-kawan John Tobing dari angkatan 1980 – 1990-an, hingga anak-anak muda
yang kupingnya akrab dengan lagu Darah Juang.
Fajar Merah mengusung empat
buah lagu, salah satunya adalah Bunga dan Tembok, puisi
Wiji Thukul, penyair yang hingga kini masih hilang. Fajar Merah tak lain adalah
anak Wiji Thukul. Sambil memetik gitar, penampilan pemuda 19 tahun yang rambut
ikal dan parasnya amat mirip dengan bapaknya itu cukup memukau sekaligus
membebat haru.
Layar bertuliskan John Tobing: Romantika Revolusi terbentang. Gemuruh penonton pecah seketika saat John
melangkah keluar. Mengenakan kaus putih, kemeja kotak warna merah dan celana
jins, kali ini ia tak menenteng gitar seperti biasa, melainkan diiringi 4
musisi dari Accoustic Liar.
Lagu Doa menjadi
pembuka. Tempo yang semula lambat, pada bagian refrain menukik ke nada-nada
tinggi dengan tempo cepat. Sesekali mata John terpejam, tangannya meliuk,
bersedekap atau mengepal ke udara.
‘Ini merupakan perenungan kami berkali-kali
berhadapan dengan tentara. Sampai yang terakhir adalah peristiwa Cebongan.
Tentara dipakai untuk menghabisi rakyat sipil!’ ujarnya seusai lagu pertama.
Kendati tubuhnya sedikit meriang
dihajar batuk, malam itu John tampil cukup atraktif. Sembilan buah lagu di
album Romantika Revolusi tandas, dengan Darah Juang sebagai pamungkas. Malam itu,
benar-benar menjadi milik John Tobing. Meski berulangkali ia bilang, tak
percaya konser ini akhirnya terlaksana.
***
LAGU-LAGU John Tobing adalah
hamparan panjang sejarah yang bergelimang darah pada zaman Orde Baru. Melodi
dan baitnya, yang basah dan berjiwa, berhasil mematuk-matuk kesadaran, bahwa
ada penindasan dan ketidakadilan yang luar biasa jahatnya di negeri ini.
Lebih dari 200-an judul lagu lahir
dari tangan John. Dari mulai lagu anak, pop, rock, balada hingga lagu-lagu
perjuangan. Sayangnya, tidak terdata dengan baik. Dalam catatan yang dibuatnya
tahun 2006, ada 26 lagu yang masih ia ingat persis periode pembuatan hingga
konteks politik yang melatarinya. Semua dibuat pada kisaran 1987 -1992.
Lagu Satu Kata lahir
dari peristiwa Sabtu Kelabu, 5 Agustus 1989. Saat itu, sekelompok mahasiswa ITB
melakukan aksi menolak kehadiran Menteri Dalam Negeri Rudini, untuk berceramah
pada Penataran P4 di kampusnya. Beberapa aktivisnya, seperti Fadjroel Rachman,
(alm) Arnold Purba, Enin Supriyanto, dan Jumhur Hidayat ditangkap dan
dijebloskan ke penjara.
John geram bukan kepalang.
Pemenjaraan mereka, kendati berbeda kampus dan organisasi, ibarat tikaman perih
di sekujur tubuh semua aktivis. Sebagai bentuk protes dan membangkitkan
semangat mereka agar mereka tak patah, John bikin lagu. Ia ingat bait populer
puisi Wiji Thukul yang berjudulPeringatan. Hanya ada satu kata: lawan! Maka dipilihlah Satu Kata sebagai
judul.
Lagu Doa diciptakan
pada April 1992. Saat itu hati John mendidih mendengar seorang kawannya, Kamal
Bamadhaj, mahasiswa asal Malaysia berkebangsaan Selandia Baru, yang mati
tertembak dalam Peristiwa Santa Cruz, Timor Timur pada 12 November 1991. Saat
itu, ratusan orang memadati pemakaman Santa Cruz untuk penguburan rekan mereka,
Sebastião Gomes, yang ditembak mati oleh tentara Indonesia. Mereka
membentangkan spanduk bertulis Viva Timor Leste beserta
gambar Xanana Gusmao. Tentara berang. Dengan beringas, mereka memberondong
ratusan orang itu dengan senapan. Tak kurang 200 orang tewas. Salah satunya
adalah Kamal.
‘Aku marah, sedih, muak, benci tak
keruan. Kamal baru saja dari Yogya dan kami sempat diskusi cukup panjang.
Kenapa pejuang seperti Kamal ditembaki tentara? Mereka bukan musuh negara,
apalagi musuh rakyat!’
Amarah itu lantas ia tandaskan dalam
lirik :
Kawan
kami, berjuang membela
Dicap pemberontak, dikejar, ditembak…mati!
Negara ini pun gila-gilaan,
Rakyatnya sendiri diancam
Tak boleh bicara atau protes, Aceh, Priok, Dilli, Irian, Enam Lima
Semua ditembaki!
Dicap pemberontak, dikejar, ditembak…mati!
Negara ini pun gila-gilaan,
Rakyatnya sendiri diancam
Tak boleh bicara atau protes, Aceh, Priok, Dilli, Irian, Enam Lima
Semua ditembaki!
John bilang, airmatanya tak berhenti
mengucur saat menciptakan lagu itu.
Tahun 1994, di sekretariat Partai
Rakyat Demokratik (PRD) di daerah Depok, John bertemu Hermeningardo, aktivis
pro kemerdekaan Timor Leste. Ardo, begitu biasa dipanggil, banyak membuat puisi
dan syair lagu tentang tentang tanah air dan perjuangan mereka, yang sebagian
besar ditulis dalam bahasa Tetun.
John terkesima dengan sebuah puisi
yang diterjemahkan Ardo untuknya, berjudul O Rai Timor.Berkisah
tentang bumi Lorosae yang kaya raya namun terus dijajah dan rakyatnya sengsara.
John menangkap aroma gelisah dan spirit yang sama dengan lagunya, Darah Juang. Ia segera meraih gitar, mengeja bait-bait
puisi itu, dan jadilah lagu O Rai Timor.
Dalam sebuah pertemuan internasional
yang diorganisir oleh Action in Solidarity with
Indonesia and East Timor (ASIET), di Perth, Australia pada
1994, John menyanyikan lagu itu. Seluruh aktivis dari Timor Leste yang hadir di
ruangan itu, tak henti-henti meneteskan airmata.
Duka yang dialami keluarga kawannya,
Danial Indrakusumah dan Anung, saat putranya yang berusia 2 tahun meninggal
lantaran tifus, melahirkan lagu berjudul Cadas. Kematian
Cadas, ketika itu menjadi duka bersama bagi semua aktivis. Semua terpukul dan
menangis. John membuatkan melody dan Agung Wibawanto membuat liriknya.
John juga piawai menulis lagu
romantis. Hey, merupakan satu-satunya lagu
cinta di album ini. Sebuah ungkapan cinta ala aktivis yang kukuh dan dalam,
kendati akhirnya kandas di tengah jalan. Lagu ini dibuat ketika ia putus dari
pacarnya. John sempat mengajak menikah, tapi si gadis tak berani.
‘Begitulah kalau orang sedang jatuh
cinta, selalu berjanji akan mengubah dunia,’ kata John usai menyanyikan
lagunya. ‘Meski sudah menikah belasan tahun, toh aku juga tak bisa mengubah
dunia,’ ia pun terkekeh dari atas panggung.
John bikin lagu di mana saja, di
kamar kost, di lorong kampus, di kampung-kampung petani, juga di lokasi KKN.
Seiring terbangunnya konsolidasi mahasiswa antar kota, lagu-lagu itu pun
beredar luas. Di aksi-aksi, ia menjadi menu wajib yang membakar semangat.
Nuraini, mahasiswa Filsafat UGM
angkatan 1991 masih ingat, pada saat itu suasana berkesenian di Yogya terbangun
cukup kental. Di majalah Fakultas Sastra UGM, Dian Budaya, setiap
minggu mereka mengadakan konser musik kecil-kecilan, sambil lesehan di
pelataran. Mereka kerap menyanyikan lagu-lagu John, selain juga lagu-lagu karya
Yayak Ismaka, seniman yang banyak menulis lagu perjuangan seperti Aku Anak Merdeka, Satukanlah atau Titik Api.
Tapi, di aspal jalanan lah lagu-lagu
John menjadi hidup, bertenaga dan menemukan rohnya. Darah Juang adalah lagu wajib sambil bergandeng
tangan, berderap menyongsong barikade tentara yang siap membubarkan aksi dengan
moncong senjata.
***
JOHN lihai bernyanyi sejak belia. Ia
ingat sebuah kisah yang kerap diulang oleh ayahnya: saat umur tiga tahun, John
kecil naik ke sebuah drum minyak tanah di warung tetangganya. Ia pun
menyanyikan dengan lantang lagu Guantanamera, sebuah lagu rakyat dari Kuba yang termahsyur. Lagu itu,
artinya Gadis dari Guantanamo, merupakan gubahan
puisi seorang penyair kiri asal Kuba, Jose Marti, yang kemudian dipopulerkan
dalam banyak versi dan penyanyi. Di Amerika, tahun 1960-an sempat melejit lewat
suara Pete Seeger dan Joan Baez.
Meski belum fasih melafalkan
liriknya, apalagi memahami artinya, John kecil bernyanyi dengan intonasi tepat.
Suaranya bagus. Orang-orang takjub. Sejak itulah, sang ayah mengakui bahwa John
pintar menyanyi.
Johnsony Marhasak Lumbantobing,
begitu nama lengkapnya, lahir di Binjai, 1 Desember 1965. Ia merupakan anak
ke 3 dari 8 bersaudara dari pasangan Mangara Lumbantobing dan Adelina Sinaga.
Ayahnya seorang hakim yang kerap berpindah tugas ke berbagai kota. John pun
melewatkan SD dan SMP di Bandar Lampung.
John menyebut dirinya pemberontak
sejak kecil. Ia tumbuh dengan alunan musik dan tumpukan komik. Favoritnya
adalah Godam dan Gundala Putra Petir, komik-komik
superhero buatan lokal yang saat itu sangat populer.
‘Komik itu mempengaruhi aku tentang
imajinasi pahlawan dan tentang perlawanan. Itu yang bikin aku melawan.’
Tahun 1975, keluar album
pertama God Bless. Abangnya membeli kaset dan memutarnya
berulangkali hingga seisi rumah nyaris hapal seluruh isinya. Salah satu lagu dengan beatmenghentak, berjudul Setan Tertawa membuat John terkesima. Puluhan kali diputar, ia tak kunjung bosan.
Tabuhan drum yang dinamis dari Teddy Sujaya, raungan gitar Ian Antono, dipadu
dengan vokal eksotis Ahmad Albar, benar-benar memikatnya. John memetik gitar
dan meluncur larik-larik dari bibirnya,
Manusia
di dunia
Tak ada gunanya
Hanya untuk berbuat dosa
Ayolah bertobat, supaya selamat.
Tak ada gunanya
Hanya untuk berbuat dosa
Ayolah bertobat, supaya selamat.
‘Ya mirip-miriplah sama Setan Tertawa, hahaha.’
Lagu pertamanya itu diberi
judul Manusia. Saat itu John kelas 5 SD. Ia berniat hanya
bikin lagu sekali itu saja, untuk mengikuti rasa penasarannya, apakah suatu
saat nanti, 20 tahun lagi, ada orang yang menciptakan lagu persis seperti
miliknya?
Toh akhirnya John kecanduan bikin
lagu. Ia belajar gitar dan keyboard sendiri. Ketika bersekolah di SMP di
Lampung, bersama teman-teman sekolahnya, ia bikin band dengan aliran musik
cadas. John pegang gitar dan vokal.
Keasyikan ngeband itu berlanjut hingga ia sekolah di SMA
Santo Thomas, Yogyakarta. Bersama dua rekannya, Adi dan Odon, kembali ia bikin
band. Tiap hari John menggenjreng gitar. Ia beli buku-buku musik. Ia juga
beli amplifier dan kamarnya disulap menjadi kedap
suara. Saat itu idolanya adalahQueen, Led Zeppelin, Deep Purple dan Uriah Heep. Ia pelajari semua lagu mereka. Ia juga
hapal segala sesuatu tentang idolanya.
Queen menempati
ranking pertama band favoritnya, ‘Aku kagum dengan cara dia bikin lagu.
Lagu-lagunya legendaris, disenangi semua orang.’
Dadanya berdentam kencang setiap
mendengar lagu-lagu Queen yang
mengalun lewat vokal Freddie Mercury. John menyebut Bohemian Rhapsody dan Bicycle Race sebagai lagu favoritnya.
Setelah Queen, barulah Led Zepellin,
menduduki tangga favorit berikutnya.
‘Aku suka Stairway To Heaven!’ John pun menyanyikan beberapa
potong baitnya. Suaranya mengalun jernih dan berjiwa. ’Biasanya, kalau ada lagu
bagus, aku buka kamar. Setel paling kencang! Hahaha.’
Kegilaan pada musik akhirnya bikin
sekolahnya keteteran. John yang semasa SMA menjadi ketua OSIS, tak lulus
sekolah. Ayahnya marah. Ia sendiri geram. Ia merasa tidak bodoh, hanya, ia
memang malas belajar. Ia bilang pada ayahnya ingin pindah sekolah yang jauh.
Sejauh-jauhnya.
‘Pokoknya aku harus meninggalkan
Jawa. Kalau perlu ke Papua. Aku nggak mau
ketemu kawan-kawanku. Aku benci dengan Jawa!’
Ayahnya, saat itu bertugas sebagai
hakim di Kalimantan Utara, menitipkan John pada kerabatnya di Banjarmasin,
Kalimantan Selatan. Mereka adalah pasangan dokter yang sangat disiplin. Tentu
saja, dititip di sana agar John bisa belajar dengan benar. Tahun berikutnya,
John lulus. Ia pun memilih kembali ke Yogya.
John diteirma masuk Fakultas
Filsafat Universitas Gadjah Mada pada 1986. Di tempat ini, kembali ia bersua
dengan kawan SMAnya, Adi dan Odon. Lalu mereka kembali bikin band. Kali ini
diberi nama Yogya Band, disingkat menjadi Yo Ben. Mereka mulai
sering pentas, dari acara dies natalis kampus hingga tujuhbelasan di kampung.
John, dengan rambut gondrongnya, mencabik gitar sambil bernyanyi dengan suara
melengking.
‘Alirannya heavy metal, Judas Priest!’
ceritanya sambil terbahak. Ia mengibaskan kepalanya, yang kali ini, tanpa
rambut gondrong lagi.
***
DI FAKULTAS Filsafat UGM, John satu
angkatan dengan Webby Warouw, Rudy Gunawan, Andi Munadjat, Untoro
Hariadi, dan Sugeng Bahagijo. Dengan mereka John sehari-hari nongkrong.
‘Aku tiap hari mabok. Kalau mabok
kan ngumpul semua, ya di kost, di kampus. Dari ngumpul-ngumpul, kita juga
diskusi. Kami bicara Soeharto. Bahannya dari koran-koran dan buku. Sampai
kemudian, kita kompor-komporin untuk bikin
aksi. Kita kumpulkan berapa orang. Dulu kami kan preman.’
Fakultas Filsafat yang biasanya
damai, sontak riuh dengan puluhan mahasiswa yang menggelar aksi menentang
Porkas, sejenis lotere nasional pada saat itu. Porkas, berasal dari kata forecast yang berarti tebakan atau ramalan, adalah
sarana mengumpulkan dana untuk olahraga. Beredar sejak awal 1986, saat itu
Porkas menyedot dana masyarakat hingga puluhan miliar.
Aksi kecil itu lantas menarik
perhatian. Mahasiswa dari berbagai fakultas dan kampus mulai muncul,
kontak-kontak politik pun mulai dibangun. Aksi itu juga meletupkan pemikiran
baru, tentang pentingnya membangun kekuatan untuk menggerakkan kepedulian
mahasiswa. Mereka perlu memperluas jaringan, melampaui tembok-tembok pembatas
Fakultas Filsafat. Majalah mahasiswa, senat, dan lembaga-lembaga internal
kampus, sebagai alat yang membantu perluasan jaringan, harus diperkuat.
Tahun 1989, lahir Keluarga Mahasiswa
UGM (KM-UGM) yang menjadi simpul pengorganisiran di berbagai kampus. John
terpilih sebagai ketua. Rupanya ada bakat lain dari John selain bernyanyi,
yakni kemampuan membangun organisasi. Ia piawai melobi dan menyakinkan banyak
kalangan.
Di lapangan, ia menjadi garda depan
dan kerap memimpin aksi. Salah satu paling berkesan baginya adalah aksi
Kusumanegaran Berdarah, saat ia menyaksikan hidung Web patah dipopor senapan.
Oktober 1989, puluhan mahasiswa yang melakukan aksi Sumpah Pemuda dihadang
tentara di jalan Kusumanegaran. Mereka bertahan, sambil duduk di aspal dan
bergandengan tangan. Tentara menyerbu dengan beringas. Puluhan tertangkap dan
diangkut ke kantor Kodim. Ada belasan luka-luka, tiga di antaranya yang paling
parah digotong ke rumah sakit. Salah satunya adalah Web.
John murka. Ia cemas dengan kondisi
kawannya, tapi konyolnya, ia tak berani menengok.
‘Aku takut rumah sakit. Aku takut
darah. Jadi aku tak berani lama-lama lihat Web diperban hidungnya!’
Selang berapa hari kemudian, mereka
kembali ke DPRD Yogya, dengan membawa massa yang lebih besar. Dalam aksi ini,
John bertindak sebagai koordinator lapangan (korlap).
Tahun 1989, kasus Kedungombo, yang
awalnya gigih disuarakan oleh Romo Mangunwijaya, mencuat. Pada 1985 pemerintah
dengan utang dari Bank Dunia, berencana membangun waduk di Jawa Tengah sebagai
pembangkit tenaga listrik. Waduk ini menenggelamkan tak kurang dari 37 desa di
3 kabupaten: Sragen, Boyolali, Grobogan. Ribuan keluarga dipaksa pindah dari
lokasi dengan ganti rugi tidak memadai. Saat itu, pemerintah menyatakan ganti
rugi sebesar Rp 3.000 per meter, sementara yang sampai ke tangan warga hanya Rp
250 per meter. Rakyat yang menolak terus dihajar dan diintimidasi.
Kasus inipun menjadi ramai, secara
nasional maupun internasional. Gambar-gambar dan berita warga yang bertahan di
rumah-rumah yang seputarnya sudah tergenang air waduk, muncul di Koran-koran.
Para mahasiswa turun gelanggang, termasuk dari KM UGM, yang dipimpin oleh John.
Kasus Kedungombo itu kemudian
menjadi momentum konsolidasi gerakan mahasiswa di berbagai kampus dan kota,
yang bersatu dalam KSKPKO (Komite Solidaritas untuk Korban
Pembangunan Kedung Ombo). Di Yogyakarta, mereka membangun FKMY,
yang berkongres pertama pada 1991, dan memilih Brotoseno dari ISI sebagai ketua
dan John Tobing wakilnya.
Solidaritas untuk kasus Kedungombo
meledak di berbagai kota. Soeharto murka dan menuding bahwa mahasiswa yang
membela rakyat Kedungombo sebagai komunis dan antek-antek PKI. Kasus-kasus
tanah serupa kemudian juga pecah di berbagai daerah, seperti Jenggawah,
Cimacan, dan Blangguan. Situasi penindasan yang semakin brutal justru melahirkan
aksi perlawanan yang meningkat tajam.
Tetapi membangun gerakan perlawanan
tak segampang membangun organisasi hobi. Usai kongres pertama, FKMY berkeping
jadi dua: SMY (Solidaritas Mahasiswa Yogyakarta) dan DMPY (Dewan Mahasiswa dan
Pemuda Yogyakarta). SMY, dengan Andi Munadjat sebagai konsolidator kota-kota di
seluruh Jawa, kemudian bertransformasi menjadi SMID dan PRD. Sementara DMPY
kemudian menjadi Rode, karena kebetulan bermarkas di Gang Rode.
Kedungombo juga yang berhasil
membuat kebiasaan mabok John sirna seketika. Suatu hari, seorang kawan yang
baru pulang dari Kedungombo, bilang di rapat: ‘Coy, rupanya rakyat
itu tak suka pemabok!’ Sejak itu, John, seketika berhenti mabok. Sampai
sekarang.
‘Itulah ideologi. Kan demi rakyat.
Aku ini pejuang rakyat. Ngapain aku
minum-minum kalau rakyat tak suka?!’ ujar John. Web juga berhenti.
‘Merokok?’
‘Ya masih tiap hari..’ ujar sambil
John tertawa. Kini, John sudah tak merokok lagi. Terlebih setelah dihajar
serangan stroke dua kali
Masa-masa bergolak ini juga membuat
John mulai menulis beberapa lagu perjuangan. Lagu-lagunya kemudian banyak yang
berbentuk balada, yang melodius dengan bait-bait liris. Untuk itu ia punya
alasan: ‚Karena rasa sedih. Rasa gundah kenapa masalah terjadi begitu rupa dan
kita tak bisa berbuat apa-apa…. ‘
Ia juga tak tahu mengapa kini orang
menjulukinya sebagai pencipta Darah Juang. ‘Aku
ini ya aktivis, pejuang. Kalian-kalian saja yang kemudian kasih aku label
pencipta lagu Darah Juang.’
***
INDONESIA negeri dengan limpahan
kekayaan dan tanah subur luar biasa. ‘Tanam kayu jadi tanaman,’ ujar grup musik
Koesplus. Tetapi, kenapa banyak rakyatnya menderita? Kenyataan itu mengusik
pikiran John. Ketika mendatangi pelosok desa, ia jumpai degup kemelaratan di
depan matanya. Ia bertemu petani di Cilacap, yang daerahnya terhampar luas
hutan karet dan ia hanya jadi buruh perkebunan yang dibayar murah. Ia bertemu
petani Blangguan, yang ladang jagung penghidupannya direbut tentara untuk
tempat latihan. Ia menyaksikan anak-anak berbaju dekil dan ingusan, menggembala
kambing sambil menatap nanar teman sebayanya berangkat sekolah.
Lama sekali John merenungkan itu.
Hatinya terus dihajar gelisah. Sebuah siang, di teras sekretariat KM UGM di
Pelem Kecut, Gejayan, John menggenjreng gitarnya. Rumah itu memiliki dua kamar,
sebuah ruang tamu dan dapur. Sehari-hari ditinggali oleh John, Dadang
Juliantara dan Satya Widodo.
Serangkaian melodi jadi, tapi John
merasa tak cukup piawai bikin lirik yang menggigit. Saat itu ada Dadang,
mahasiswa MIPA UGM 1984, yang dikenal kerap menulis bagus. John memintanya
untuk membuatkan lirik yang mampu menerjemahkan gelisahnya. Tak lama, lirik pun
jadi. John berkali-kali menyanyikannya. Banyak kawan yang terkesima. Beberapa
memberikan komentar dan masukan, termasuk Budiman Sudjatmiko, saat itu kuliah
di FE UGM 1989.
‘Budiman bilang kalau liriknya
kebanyakan kata Tuhan. Jadi bait lirik terakhir itu, kata-kata bunda relakan darah juang kami, dari usulan Budiman,’
terang John. Lalu ada Satya Widodo menambah. Satya dan Ngarto Februana, tahun
1990, pernah bikin geger UGM dengan aksi mogok makan menolak berdirinya SMPT
(Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi).
Menjelang Kongres FKMY, lagu ini
mereka nyanyikan bersama-sama. Bertambah lagi yang urun rembuk, termasuk
Raharja Waluyajati dan Rudy Gunawan. Judulnya pun hasil usulan bersama-sama,
mulai Hymne FKMY dan Hymne Darah Juang.
Pada Kongres itu, pertama kalinya lagu ini dinyanyikan secara resmi dan massal.
Bertahun-tahun kemudian, lagu itu
abadi dan melegenda dengan judul Darah Juang. Seiring
meluasnya aksi-aksi perlawanan terhadap kediktatoran Orde Baru, Darah Juang semakin berkibar. Aksi-aksi tidak sah
tanpa Darah Juang, Sumpah Mahasiwa, serta
puisi Wiji Thukul Bunga dan Tembok, Peringatan dan Sajak Suara.
Rudy Gunawan, kawan seangkatan John
di Filsafat UGM bilang, Darah Juang adalah
himne terbaik. ‘Lagu itu sangat menginspirasi dan mampu menumbuhkan nyali dalam
darah. Dan John Tobing adalah satu-satunya pencipta lagu hymne perjuangan di
antara ratusan pencipta lagu dalam industri musik Indonesia.’
Di situs youtube, tak kurang dari 50 video lagu Darah Juang yang diunggah. Ada beberapa grup musik
merekamnya secara independen, di antaranya: Teknoshit, Marjinal, Lontar dan Innerbeauty.Ada
banyak versi, mulai akustik, pop, blues rock hingga seriosa.
Apakah Darah Juang masih menggetarkan? Nuraini, alumnus
Filsafat UGM, mengangguk tegas. ‘Darah Juang itu
perekat. Ini merekatkan dari zaman ke zaman.’
Nuraini, kini staf ahli di DPR RI,
masih ingat ketika Ospek Fakultas Filsafat tahun 1991, selain dilatih aksi,
mereka mereka juga diajari menyanyi lagu Darah Juang. Hingga
beberapa tahun kemudian tradisi itu masih melekat, mengajari mahasiswa baru
dengan latihan aksi, lalu menyanyi Darah Juangsambil
mengangkat tangan kiri.
Nur berkisah, dahulu Darah Juang dan beberapa lagu penyemangat lainnya,
dinyanyikan secara resmi sebelum rapat-rapat atau kursus politik, untuk
membangun semangat juang. ‘Lagu-lagu John itu hidup di lapangan. Ketika
dipentaskan di tempat indoor, ada yang hilang. Suasana
melawannya hilang. Lagu itu hidup jika banyak orang yang punya amarah yang
sama.’ tuturnya.
‘Jujur, gua seperti tak rela lagu itu dinyanyikan di
kafe-kafe. Daya magisnya tak keluar. Tapi setidaknya, bisa menjadi lagu
alternatif buat kaum borjuis ya.’
John sepakat bahwa musik harus ada
aksi yang menyertai. ‘Musik tak bisa jalan tanpa massa.’ ujarnya.
***
JALAN John berkelok. 1994, ia
meninggalkan gerakan dan kawan-kawannya. ‘Berkelahi terus aku, bosen!’ ungkapnya sambil tertawa. Saat
itu, SMY sudah bertransisi menjadi SSDI (Student’s Solidarity for
Democracy in Indonesia) dan mempersiapkan organisasi payung bernama
PRD (Persatuan Rakyat Demokratik). John sudah tak terlibat. Ia beralasan akan
fokus menyelesaikan skripsinya yang terbengkelai. Alhasil, setelah 9 tahun kuliah,
1995 ia diwisuda sebagai sarjana filsafat.
John pulang ke rumah keluarganya di
Pekanbaru dan merintis karir di majalah Parhorasan Nusantara.
Tak lama, koran itu gulung tikar. John putar haluan bekerja di perusahaan
kontraktor milik keluarganya, di Tanjung Enim, Sumatra Selatan. Sehari-hari ia
berpenampilan rapi dan perlente. Tak ada lagi rambut gondrong, jins dekil,
sendal jepit dan pekik lantang di ujung megaphone.
‘Saya menjauhkan diri dari gerakan,
tapi saya terus mengikuti gerakan. Saya ada dalam gerakan!’ ungkap John. Itu
terbukti pada 1996. Dari layar televisi ia menyaksikan peristiwa 27 Juli 1996,
penyerbuan ke kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Peristiwa itu
berujung pada tudingan bahwa PRD, yang lima hari sebelumnya mendeklarasikan diri
sebagai partai politik, adalah komunis dan menjadi biang kerusuhan. Di televisi
dan koran, John menyaksikan kawan-kawan dekatnya, Budiman, Petrus, dkk
ditangkap dan lainnya menjadi buron. John lantas mengontak Rudy Gunawan, kawan
lamanya. Di ujung telepon, suara Rudy menyalak-nyalak.
‘Kowe
ning endi? Kamu tahu nggak teman-teman
sudah mau mati. Rene cepet!’
Rudy yang saat itu bekerja di
majalah Jakarta Jakarta, ikut membantu evakuasi anggota PRD
yang notabene kawan-kawannya ketika kuliah. Dalam situasi gawat itu, John
datang ke Jakarta, kembali berkoordinasi dengan kawan-kawan. Ia mendapat tugas
membantu prioritas darurat, yakni melakukan penyelamatan terhadap anggota.
John ingat, ia mengatur tempat
evakuasi untuk Bimo Petrus dan Herman Hendrawan, yang belum lama datang dari
Surabaya. Keduanya, kemudian menjadi korban penculikan aktivis 1998, dan tak
jelas keberadaannya hingga kini.
Asep Salmin, saat itu sebagai
organiser buruh di Jakarta, masih terbayang bagaimana mencekamnya situasi pasca
27 Juli 1996. Seluruh sekretariat PRD di berbagai kota diobrak-abrik dan semua
anggotanya diburu. Ia bertugas menata kembali jalur koordinasi yang
kacau-balau, termasuk menyisir semua kader hingga ke kampus-kampus.
‘John dapat tugas mencarikan
tempat-tempat yang aman untuk tempat tinggal kawan-kawan. Aku, Herny dan
beberapa orang dapat tempat di Kalijodo, uang sewanya 30 ribu per bulan. Kamar
sempit, dari papan, atapnya seng. Ditempati berlima. Cari di situ karena murah,
dan nggak mungkin dicurigai. Siapa coba yang menyangka
kita sembunyi di sana?’ ujar Asep tergelak.
Hampir sebulan mereka menginap di
sana. Siang hari keluar untuk rapat dan malamnya kembali ke peraduan beratap
seng yang siang malam panasnya bulan kepalang. Kalijodo, saat itu merupakan
kawasan lokalisasi di Jakarta Pusat. Disitulah John mencarikan tempat yang
paling aman bagi kawan-kawannya.
‘Itu kontrakan paling berkesan.
Kalau siang kita keluar jalan, malamnya pulang, kita bersihkan. Kita tata
serapi-rapinya, lalu tidur sambil berucap, inilah home sweet home kita, coy. Nah,
idenya John itu!’ kata Asep sambil tertawa.
***
MENGGILAI musik sejak kanak-kanak,
pernah bercita-cita menjadi musisi profesional, harapan John kandas di tengah
jalan. Pada 1993 – 1995, John pernah menjajakan lagunya ke hampir seluruh
produser di Jakarta, tapi gagal. Ada beberapa pihak tertarik, salah
satunya HP Record, tapi juga tak berlanjut. HP Record saat itu merupakan salah
satu label cukup terkenal untuk jenis musik pop dan rock. Ia juga sempat
dihubungkan oleh salah satu kawannya dengan Pay, saat itu masih bergabung di
Slank. Pay tertarik dengan materi lagu-lagu John, tapi pertemuan itu pun tak
berlanjut.
John kadung putus asa. Sejak 1997,
ia sama sekali tak pernah bikin lagu lagi. ‘Ya merasa mubazir aja.Tidak ada produser yang mau pakai. Juga tidak ada
kawan yang serius minta dibuatkan lagu.’
Tak lama berselang, ia menikah.
Pernikahan ini pun disebut John sebagai peristiwa yang unik. Lulus kuliah, usia
kepala tiga dan sudah bekerja, keluarganya mulai mendesaknya untuk menikah.
Sementara John tak pernah punya pacar.
‘Aku bilang, ya sudah, aku mau
disuruh menikah, tapi cariin juga
calon istrinya!’
Bapaknya mengangguk setuju. Dona,
seorang perempuan berparas manis dikenalkan padanya. Tak lebih dari 3 bulan
kemudian, pesta pernikahan pun digelar. Dona sama sekali tak tahu latar
belakang John yang aktivis. John juga tak pernah cerita. Setelah itu, haluan
hidupnya adalah bekerja dan mengurus keluarga. Tiga anaknya lahir: Catherin
Tana Tania, Sandio Mathias Pawitra dan Gopas Kibar Syang Proudly. Setiap
anaknya lahir, John membuatkan lagu. Istrinya, masih tak tahu bahwa di masa
lalu, dari tangan John, lahir ratusan lagu yang menggema di berbagai kota.
‘Istriku baru tahu semua
lagu-laguku, termasuk Darah Juang, ya
waktu proses rekaman itu. Dia terharu, “Pak aku sudah siapkan makanan di rumah.
Kita makan-makan,”’ kata John menirukan perkataan istrinya saat itu.
Awal 2000, John mulai terjun ke
dunia politik. Ia pernah menjadi Wakil Ketua DPD PDI Perjuangan Propinsi Riau.
Tahun 2009, ia menjadi calon anggota legislatif untuk DPR RI. Kecapekan
mempersiapkan kampanye, John dihajar stroke.
Berbulan-bulan ia tak bisa bicara. Jari-jarinya kaku untuk memetik gitar. Ia
juga gagal lolos ke Senayan.
Tahun 2010, John memutuskan
memboyong keluarganya ke Yogyakarta, dengan harapan penghidupannya lebih baik.
Ternyata, pekerjaan sulit didapat. Untuk meneruskan bermusik, sepertinya pintu
telah rapat terkunci. Selain, ia harus memulihkan kesehatannya pasca stroke.
Beberapa kawan lamanya membantu
membuatkan warung, selain mengusahakan proyek rekaman lagu-lagunya. Tapi periuk
nasi keluarganya tak juga membaik. Di Yogya, bersama istri, John berjualan
kolak durian di depan rumahnya di daerah Kalasan, Sleman. Sesekali ia masih
tampil menyanyi. Agustus 2009, dalam acara Ziarah Gerakan Mahasiswa di Goethe
Haus, sebuah acara mengenang wafatnya Andi Munadjat, kawan seangkatannya dalam
membangun gerakan di Yogya, untuk pertama kali ia menyanyi di tempat besar.
Saat itu, ia belum lama sembuh dari stroke.
John tak sudi menyerah. Ia masih
menyimpan harap, suatu saat lagu-lagunya dihargai orang, dan bisa menopang
ekonomi keluarganya. Rudy bilang bahwa John Tobing memang lahir untuk
bernyanyi. Meski puluhan tahun ia meninggalkannya untuk terjun mengorganisir
rakyat, akhirnya kini ia kembali pada ‘kodrat’nya.
‘Kadang kita tak percaya dan menolak
‘kodrat’ tapi sebenarnya ‘kodrat’ sendiri tak pernah meninggalkan kita, meski
kita terus mencoba pergi darinya. Saatmu kini, Jon!’ tutur Rudy dalam akun
twitternya.
Wilson, Daan, Icha adalah
orang-orang yang turut menghamparkan karpet baginya, untuk kembali pada
‘kodrat’ itu.
***
BERKAUS merah bergambar raut John
Tobing, Wilson selaku pimpinan produksi memberi sedikit pengantar tentang
proses pembuatan album John Tobing. Bahwa acara ini didedikasikan untuk John,
yang berjasa besar mendokumentasikan perjuangan dalam lagu-lagunya, sementara
ekonomi keluarganya sedang terkapar.
‘Album ini, konser ini untuk John.
Dengan cara inilah John kita kenang!’ kata Wilson.
Akhir November 2012, John menelepon
Icha, nama panggilan Lisa Febriyanti, novelis, mantan anggota PRD Surabaya.
Sejak setahun lalu Icha tinggal di Yogyakarta.
‘Aku mau minta tolong untuk Daan
menjualkan laguku di pasar musik nasional,’ kata John. Syekh Daan Gautama,
suami Icha, adalah seorang pekerja musik yang sekarang menjadi pegiat dan
mengembangkan musik indie.
Daan dan Icha sempat terpekur lama.
Lagu-lagu John adalah lagu perlawanan, bagaimana bisa menembus belantara pasar
musik nasional yang dipadati lagu-lagu pop? Toh akhirnya, mereka berdua menemu
kata sepakat: ‘Apapun yang John mau, kita bantu. Kita harus berterimakasih pada Darah Juang. Pada John!’ kata Icha.
Ia lalu mengkontak Wilson, yang
kebetulan hendak pergi ke Yogya. Wilson sepakat bertemu untuk merembugnya
secara serius. 1 Desember 2012, di RM Hayamwuruk, Daan, Icha dan Wilson bertemu
John bersama Dona isterinya. Tanggal itu adalah ulang tahun John ke 47. Sebagai
surprise, mereka bawakan kue tart lengkap dengan sebatang lilin di atasnya.
John terharu. Ia kembali ungkapkan permintaan agar Daan membantu menjualkan
lagu-lagunya. Tapi Wilson punya ide lebih maju.
‘Udah, kita
bikinin album aja untuk John Tobing!’
John terperangah. Ia masih
ragu-ragu. Ide pembuatan album sudah beberapa kali digagas, namun berkali pula
proyek itu gagal.
‘Apa lagu-lagu saya bisa terjual?
Siapa saya? Yang terkenal kan Darah
Juang? Bukan John Tobingnya?’
‘Justru itu, ketika lagunya sudah
kemana-mana, ini momentum!’
‘Apa tidak terlambat?’
‘Tidak ada kata terlambat!’ ketiga
sahabat ini berusaha meyakinkan John.
Butuh berkali-kali pertemuan untuk
meyakinkan John bahwa rekaman album sangat mungkin dilakukan. Secara teknis
rekaman, Daan cukup menguasai. Ia telah beberapa kali menjadi produser
musik-musik indie. John akhirnya setuju. Daan bersedia mengerjakan album ini
sebaik-baiknya, dengan dana swadaya. Demi John.
‘Di jagad musik, lagu Darah Juang sudah dinyanyikan banyak kelompok
musik, tetapi John Tobing sendiri banyak yang tidak kenal. Darah Juang? Tahuuu! John Tobing? Siapa itu?’ kata
Daan. Keprihatinan itulah yang kian menebalkan tekadnya untuk membantu
mewujudkan mimpi John.
Daan bermain musik sejak belia.
Pernah terlibat di berbagai konser seperti KD, Gigi, Klakustik dan Dewa, juga
menjadi additional player di beberapa band untuk recording maupun live. Ia juga
ikut membentuk Sa’Unine String Quartet (Biola Alto)
pada 1997, Puppet band, Teknoshit dan Funky Kopral di
tahun 1990-an. Mulai 2005, Daan kembali ke Teknoshit, yang
ramuan musik-musik digital serta dan liriknya kental dengan pesan perlawanan.
Setahun lalu, ia juga bikin Accoustic Liar.
Tahun 2010, di sebuah acara di
Puncak, pertama kali ia bertemu John. Daan girang bukan kepalang. Beberapa
tahun sebelumnya ia merenovasi lagu Darah Juang dan
memasukkan dalam albumTeknoshit. Tapi baru kali itu ia
benar-benar bertemu John, pencipta Darah Juang.
Di pinggir kolam renang, mereka
berdua lantas asyik mendiskusikan musik. Daan memperdengarkan Darah Juang versi Teknoshit ke John. ‘John kaget, kok bisa lagunya
diaransemen jadi begitu?’
Januari 2013, proses rekaman
dimulai. Rekaman awal sebagai panduan dilakukan di ruang tamu rumah John.
Sepanjang proses, Icha menyaksikan John masih dibalut ragu, apa proyek ini
benar-benar akan jadi?
‘Dan hal itu justru membuat
tantangan bagi tim produksi untuk harus menjadikan ini!’ tegas Icha. Dari
Yogya, ia mengomunikasikan setiap perkembangan produksi kepada Wilson.
Setelah rekaman pertama sebagai
panduan selesai, kemudian Daan mengajak Thole untuk mengisi gitar dan bass di
album. Setelah selesai, tiga hari kemudian, barulah John dipanggil kembali.
‘Kita sudah siap untuk rekaman
sesungguhnya!’
John mengangguk.
Daan kemudian memperkaya aransemen
dan melakukan proses editing. Semua rampung dalam sebulan.
‘Musik John adalah musik jalanan,
yang lahir dan besar di jalan. Diciptakan dari kondisi riil pada saat itu,
bukan dari ruang-ruang studio studio ber-AC.’ Kata Daan. Agar tak kehilangan
spirit itu, ia kemudian menggandeng Thole, pekerja musik dan pengamen jalanan
untuk terlibat.
‘Sedikit orang yang bekerja
karena nggak punya dana buat bayar orang dan agar cepat
rampung. Nggak ribet…’ tambah Icha. Baru pada
saat konser, Daan mengajak pemusik yang lain. Abdi, seorang pemusik jalanan
mengisi perkusi serta Wisnu, seorang profesional gitaris dan pengajar gitar
klasik. Mereka tergabung dalam Liar Accoustic.
Ia sengaja membuat konsep album ini
seorisinil mungkin. Menurutnya otentitasnya itulah yang justru menjadi daya
tarik.
‘Aku kaget pertama dengar Darah Juang yang dinyanyikan John, sebuah lagu
himne yang begitu syahdu. Sangat berbeda dengan yang sering didengar selama
ini. Yang penuh gelora.’ kata Daan.
Kadung terbiasa mengikuti versi yang
sudah umum, dalam latihan kadang mereka menemui kesulitan. Melod’ yang dibuat
John, kebanyakan di luar pakem.
‘Ritmenya kita nggak dapat. John nggak ngikutin
pakem. Ketika kita mainkan dengan ritme, itu yang dia nggak dapat. John Tobing ngikutin kata hatinya. John dapat rasanya, tapi
kita nggak!’ Thole tergelak. Sambil tertawa, Icha
menambahkan, ‘Ketika latihan, John sering bilang, bukan segitu, kurang lambat.
Saking sulit, akhirnya sudahlah, kamu pegang gitar sendiri!’
Akhirnya, ketika tampil live, John
tampil sendiri dengan gitarnya. Menurut Daan, justru disitulah karakter Darah Juang tampak lebih mencorong.
CD dicetak 1000 keping. Wilson yang
bertugas mencarikan dana untuk penggandaan sekaligus menyiapkan launching album di Jakarta. Bagi Icha, proses
pengerjaan album ini merupakan pengalaman luar biasa.
‘Bekerja di bawah satu spirit.
Kolektif kerja kami dari latar belakang berbeda, Wilson masih di pergerakan dan
buku, aku di sastra, Daan, Thole di musik. John yang berkutat dengan
kepentingan ekonomi dengan berjualan. Ketika bekerja, kami bicara dengan bahasa
yang sama: Romantika Revolusi John Tobing!’
***
LAGU Fajar
Merah Esok Milikmu usai mengalun. John memanggil Zeth Kobar
Aretar Warouw dan Fajar Merah ke atas panggung, untuk memberikan CD lagunya.
‘Saya cinta kalian…..’ Ucapnya
dengan bibir bergetar. Sepanjang bernyanyi, matanya tampak berkaca-kaca. Lagu
ini amat mengaduk kalbu. Melodinya membius. Liriknya kuat. Menurut Daan, lagu
ini yang paling bikin dia terpesona. Ia melihat kejeniusan John di dalamnya.
‘Dia bikin komposisi yang lagu
sedih, yang mayoritas nada-nadanya kunci minor, dan dia bisa bikin lagu minor
itu sebagai lagu yang bergairah. Ini lagu sedih, tapi punya power. Punya semangat!’ kata
Daan. Menurutnya, biasanya lagu-lagu umum hanya memakai nada mayor. Tapi di
lagu Fajar Merah Esok Milikmu semua disiplin nada masuk
di lagu.
Fajar
Merah Esok Milikmu lahir dari kehidupan riil
aktivis yang telah menikah. Suaminya harus meninggalkan istri dan anaknya untuk
bekerja mendampingi rakyat. Shanty Parhusip, benar-benar merasai itu. Shanty
dulu kuliah Universitas Pancasila, Jakarta. Ia terlibat di banyak aksi dan
pengorganisiran rakyat sejak akhir 1980-an. Setelah menikah dengan Web Warouw,
mereka tinggal di Yogya.
29 September 1992, Zeth alias Obang
lahir. Shanty yang baru melahirkan, sering merasa
kelelahan, sementara saat itu Web
lebih sering berkeliling ke berbagai daerah. Mereka jadi bertengkar. Suatu sore
di rumah kontrakannya, ia mendengar Web sedang membujuk John untuk membuatkan
lagu tentang Obang, anaknya.
Web lalu menulis syairnya. Shanty
ingat, bolak-balik Web mengganti liriknya, di atas kertas putih, dengan guratan
gambar petani di sampingnya. Setiap kali John datang ke kontrakan mereka, Web
minta agar lirik yang baru direvisinya dimainkan dan dinyanyikan oleh John.
Bagi Web, pembuatan lagu itu adalah sebuah proyek besar.
Berhari-hari bongkar pasang lirik
dan nada, akhirnya lagu kolaborasi Web dan John pun jadi. Diberi judul Fajar Merah Esok Milikmu. Sore sepulang kantor,
Shanty menyaksikan Web, dengan kaus putih bertulis Filsafat UGM, menyenandungkan
lagu itu sambil memetik gitar di kamar. Pertama kali kupingnya mendengar Fajar Merah Esok Milikmu yang telah final.
1994, mereka pindah ke Jakarta.
Suatu hari John menyambangi rumahnya. Saat itu hujan turun perlahan, mereka
bertiga minum teh di beranda. John kemudian mulai memetik gitar dan menyanyikan
bait-bait
Fajar
Merah Esok Milikmu. Shanty ingat tubuhnya menggigil mendengar John bernyanyi
saat itu.
Anakku
sayang dengar lagu ayahmu ini
Berhentilah engkau menangis
Fajar merah esok milikmu
Dekaplah dada ibumu yang selalu menyayangmu
Tidurlah dalam pelukannya karena malam telah tiba
Berjuta rintangan jangan ganggu mimpimu
Biar jiwaku menjagamu
Kami berjalan, kami bergerak, siapkan barisan rakyat
Di bawah teriknya matahari
Di tengah dinginnya malam
Kami kan tetap terus berjuang
Demi esok yang adil
Berhentilah engkau menangis
Fajar merah esok milikmu
Dekaplah dada ibumu yang selalu menyayangmu
Tidurlah dalam pelukannya karena malam telah tiba
Berjuta rintangan jangan ganggu mimpimu
Biar jiwaku menjagamu
Kami berjalan, kami bergerak, siapkan barisan rakyat
Di bawah teriknya matahari
Di tengah dinginnya malam
Kami kan tetap terus berjuang
Demi esok yang adil
Jalinan perkawanan John, Web dan
Shanty lekat hingga ke tulang sungsum. Web kawan karib John sejak awal kuliah.
Kawan berjuang membangun Yogya. Amarahnya terbakar saat menyaksikan hidung Web
remuk dihajar tentara di aksi Mangkunegaran. Bagi Shanty, John kawan yang
sangat baik, sabar dan lembut hati. John menemaninya membelikan popok di
Mirota. John, beserta kawan-kawan lain, beramai-ramai menggelesor di selasar
Rumah Sakit ketika ia hendak melahirkan dan bayinya sulit keluar. John pula
yang membantu memperjuangkan perkawinan Shanty dengan Web.
‘Bapak dan abang-abangku mati-matian
menentang perkawinanku. Ibuku bermarga Tobing. Di Batak, laki-laki yang
mempersunting perempuan bermarga Tobing itu harus menyembah atau hormat ke
marga Tobing. John kemudian mengerahkan keluarganya. Semua keluarga bermarga
Tobing dibawa menghadap Bapakku. Meminta agar Bapakku merestui aku dan Web.
Sampai akhirnya Bapakku takluk!’
John Tobing, juga menjadi bapak
baptis Obang.
Komunikasi mereka tak putus kendati
kemudian John pindah ke Pekanbaru. Mereka kerap berkabar. Hingga suatu hari,
John bak tersambar petir ketika sedang menelepon Shanty, dan minta disambungkan
bicara dengan Web. Lalu Shanty bilang, kalau Web sudah tidak lagi bersamanya.
‘Pertama kali dalam hidup, aku
dengar John berteriak-teriak dan menangis. Menangis di ujung telepon!’ kata
Shanty.
Mata John selalu memerah setiap kali
didaulat menyanyikan lagu Fajar Merah Esok Milikmu.
‘Obang itu anakku. Web dan Shanty kawan baikku. Terus aku nyanyi lagu itu, aku
lihat Obang sekarang. Aku pasti sedih.’ Shanty paham sekali remuk hati
kawannya. Ia sendiri, kendati telah mendengar ratusan kali, dadanya tetap
bergetar kencang acap kali John menyanyikannya.
‘Dan sungguh, lagu itu selalu
membuatku memaafkan keterbatasan Web berada di tengah-tengah kesulitanku saat
itu. Memaafkan dia yang berulangkali tak hadir saat aku berjuang mencari
sekaleng susu buat Obang. Ketika aku dan Obang harus mengayuh sepeda berdua
keliling berdagang di komplek-komplek perumahan orang kaya. Aku pernah
diteriaki orang dengan kata ‘gembel’ hanya karena hendak meminjam uang untuk
bawa Obang ke rumah sakit.’
Shanty terdiam, menarik nafas,
lantas melanjutkan dengan suara bergetar. ‘Tapi lagu Fajar Merah menguatkan aku bahwa yang ia lakukan
saat itu adalah sesuatu yang mulia. Sesuatu yang menjadi cita-citaku juga.
Melihat rakyat terbebaskan. Karenanya kuterima semua penderitaan sebagai bagian
dari konsekuensi pilihan hidup kami.’
Berkali-kali ia bilang, betapa
berharga lagu itu baginya, ‘Fajar Merah sungguh
sebuah api yang menyalakan kesadaran aku dan Web. Syair itu seperti jiwa kami
saat itu.’
Di konser John di Pisa Kafe, Blok M
pada 9 Juni 2013, Web duduk terpaku. Matanya tak lepas-lepas menatap John, yang
sedang melantunkan bait-bait yang dianggitnya, Fajar
Merah Esok Milikmu.
***
KONSER malam itu ditutup dengan
lagu Darah Juang. Sekitar tiga menit layar di panggung
menayangkan gambar John yang tengah berkisah tentang proses pembuatan lagu itu.
Lalu wajahnya di balik layar menghilang. Cahaya lampu pun meredup. Muncul John
sambil menenteng gitar, dan langsung memetiknya tanpa bicara. Tepuk tangan
langsung bergemuruh tatkala Darah Juang mulai
berkumandang.
Disini
negeri kami
Tempat padi terhampar
Samudranya kaya raya
Tanah kami subur Tuhan
Tempat padi terhampar
Samudranya kaya raya
Tanah kami subur Tuhan
Diiringi petikan gitar akustik,
sulit rasanya untuk mencegah agar emosi tidak meluap dan tubuh tidak menggigil.
Keping-keping kenangan secepat kilat berlompatan. Roh Darah Juang, lagu wajib di
jalan-jalan, mantra perekat segala zaman itu seperti melingkupi sekujur
ruangan.
Pada bait kedua, seperti yang selalu
terjadi, tanpa dikomando penonton pun serentak ikut bernyanyi. ‘Semua sudah
pada hapal ya,’ ujar John. John terus memetik gitarnya. Sesekali matanya
terpejam, sambil menyorongkan mikrofon ke arah penonton. Jadilah koor menggema
tanpa dirigen.
‘Saya minta semua berdiri dan angkat
tangan kiri,’ John berseru lantang. Ratusan orang di jajaran kursi di depan
panggung, di balkon, serentak berdiri, mengangkat dan mengepalkan tangan kiri.
Mereka
dirampas haknya
Tergusur dan lapar
Bunda relakan darah juang kami
‘Tuk membebaskan rakyat
Tergusur dan lapar
Bunda relakan darah juang kami
‘Tuk membebaskan rakyat
Darah
Juang menggaung semakin kencang.
Hingga berjam-jam usai konser berakhir, ratusan kawan-kawan John masih memadati
pelataran TIM. Peluk, cium, canda tawa pecah tiada henti. ‘Darah Juang
seperti membumikan ingatan kami!’ celetuk seorang kawan. ‘Ini seperti
reuni segala zaman!’ ujar yang lainnya.
John Tobing dan Darah Juang memang tali perekat zaman. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar