|
SUARA
KARYA, 25 Juni 2013
Percepatan pertumbuhan wirausaha yang berkualitas dan
profesional hanya mungkin dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada lulusan
perguruan tinggi untuk berkarya. Oleh sebab itu, membangun lapisan wirausaha
tangguh di bidang industri berbasis perguruan tinggi sangat diperlukan.
Inilah salah satu poin penting pemikiran Ginandjar
Kartasasmita dalam bukunya, Managing Indonesian Transformation, an Oral History,
yang dirilis di Singapura (2013), baru-baru ini. Buku itu menarik karena dapat
menggugah kesadaran nasionalisme ekonomi kita bahwa national entrepreneurial policy, idealnya berjalan seiring dengan industrial policy demi kemandirian
anak-anak bangsa dan kemajuan ekonomi nasional ke depan.
Menyadari ketergantungan impor barang modal yang sangat
tinggi dan sebenarnya sebagian barang-barang itu dapat dibuat di dalam negeri,
maka harus ada kebijakan pemihakan dari pemerintah untuk memberi kesempatan
kepada pelaku usaha dalam negeri mengisi produk itu. Pemerintah Orde Baru
sendiri sebenarnya telah merintis dan melaksanakan hal itu meski masih ada
berbagai kekurangan.
Sayangnya, pada era pemerintahan sekarang ini, kita justru
lebih suka menjadi bangsa pengimpor. Sementara ekspor kita malah didominasi
oleh produk sumber daya alam (SDA) yang rendah kandungan teknologi dan nilai
tambahnya.
Agar pengusaha nasional dapat lebih besar berpartisipasi
memenuhi kebutuhan barang modal, maka Keppres No 10 Tahun 1980 telah
disempurnakan menjadi Keppres No 17 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Keppres No
10 Tahun 1980 tentang Tim Pengendali Pengadaan Barang dan Peralatan Pemerintah.
Keppres itu demi visi untuk merintis tumbuhnya industri dalam negeri yang
dikuasai oleh orang Indonesia sendiri. Maka, suatu skenario disusun untuk
memberikan kesempatan kepada pengusaha nasional berbasis perguruan tinggi untuk
mengisi kebutuhann barang modal.
Langkah ini ternyata membuahkan hasil positif. Pemerintah
mulai menyadari pentingnya mengurangi ketergantungan impor melalui kebijakan
membeli produk yang sudah dihasilkan oleh bangsa sendiri. Pemerintah adalah
pembeli terbesar dan penggerak ekonomi terbesar. Kebijakan yang diambil adalah
mengaitkan pembelian pemerintah ke industri domestik.
Tentu, hal ini tidak mudah terutama dalam menghadapi
orang-orang kementerian teknis. Apalagi, yang menjadi prioritas adalah pelaku
usaha kecil dan menengah. Melalui Tim Keppres X, para pengusaha nasional yang
mayoritas terdidik di perguruan tinggi diberi kesempatan untuk berkontribusi
dalam pembangunan nasional. Dengan kebijakan inilah, orang-orang seperti saya,
Aburizal Bakrie, Arifin Panigoro, Wiwoho Basuki, dipercaya mengerjakan proyek
pemerintah yang sebelumnya didominasi oleh pengusaha-pengusaha tertentu.
Saya dengan Bukaka menjadi pemasok fire hydrant, berbagai macam material konstruksi, asphalt mixing plant. Bukaka pun menjadi
rekanan Kementerian PU. Arifin Panigoro yang memulai usaha di oil services berkembang dan
mengembangkan sayap usahanya ke electrical
power.
Ginandjar sendiri sebelumnya tidak mengenal secara pribadi
kawan-kawannya itu yang sama-sama alumnus ITB. Hanya karena pertimbangan
profesionalisme, skill dan idealisme bervisi demi kemandirian industri, maka
mereka dipercaya menangani proyek-proyek pemerintah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar