Rabu, 26 Juni 2013

Nasionalisme Ekonomi

Nasionalisme Ekonomi
Fadel Muhammad ;   Pengusaha Nasional
SUARA KARYA, 25 Juni 2013


Percepatan pertumbuhan wirausaha yang berkualitas dan profesional hanya mungkin dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada lulusan perguruan tinggi untuk berkarya. Oleh sebab itu, membangun lapisan wirausaha tangguh di bidang industri berbasis perguruan tinggi sangat diperlukan.

Inilah salah satu poin penting pemikiran Ginandjar Kartasasmita dalam bukunya, Managing Indonesian Transformation, an Oral History, yang dirilis di Singapura (2013), baru-baru ini. Buku itu menarik karena dapat menggugah kesadaran nasionalisme ekonomi kita bahwa national entrepreneurial policy, idealnya berjalan seiring dengan industrial policy demi kemandirian anak-anak bangsa dan kemajuan ekonomi nasional ke depan.

Menyadari ketergantungan impor barang modal yang sangat tinggi dan sebenarnya sebagian barang-barang itu dapat dibuat di dalam negeri, maka harus ada kebijakan pemihakan dari pemerintah untuk memberi kesempatan kepada pelaku usaha dalam negeri mengisi produk itu. Pemerintah Orde Baru sendiri sebenarnya telah merintis dan melaksanakan hal itu meski masih ada berbagai kekurangan.

Sayangnya, pada era pemerintahan sekarang ini, kita justru lebih suka menjadi bangsa pengimpor. Sementara ekspor kita malah didominasi oleh produk sumber daya alam (SDA) yang rendah kandungan teknologi dan nilai tambahnya.

Agar pengusaha nasional dapat lebih besar berpartisipasi memenuhi kebutuhan barang modal, maka Keppres No 10 Tahun 1980 telah disempurnakan menjadi Keppres No 17 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Keppres No 10 Tahun 1980 tentang Tim Pengendali Pengadaan Barang dan Peralatan Pemerintah. Keppres itu demi visi untuk merintis tumbuhnya industri dalam negeri yang dikuasai oleh orang Indonesia sendiri. Maka, suatu skenario disusun untuk memberikan kesempatan kepada pengusaha nasional berbasis perguruan tinggi untuk mengisi kebutuhann barang modal.

Langkah ini ternyata membuahkan hasil positif. Pemerintah mulai menyadari pentingnya mengurangi ketergantungan impor melalui kebijakan membeli produk yang sudah dihasilkan oleh bangsa sendiri. Pemerintah adalah pembeli terbesar dan penggerak ekonomi terbesar. Kebijakan yang diambil adalah mengaitkan pembelian pemerintah ke industri domestik.

Tentu, hal ini tidak mudah terutama dalam menghadapi orang-orang kementerian teknis. Apalagi, yang menjadi prioritas adalah pelaku usaha kecil dan menengah. Melalui Tim Keppres X, para pengusaha nasional yang mayoritas terdidik di perguruan tinggi diberi kesempatan untuk berkontribusi dalam pembangunan nasional. Dengan kebijakan inilah, orang-orang seperti saya, Aburizal Bakrie, Arifin Panigoro, Wiwoho Basuki, dipercaya mengerjakan proyek pemerintah yang sebelumnya didominasi oleh pengusaha-pengusaha tertentu.

Saya dengan Bukaka menjadi pemasok fire hydrant, berbagai macam material konstruksi, asphalt mixing plant. Bukaka pun menjadi rekanan Kementerian PU. Arifin Panigoro yang memulai usaha di oil services berkembang dan mengembangkan sayap usahanya ke electrical power.


Ginandjar sendiri sebelumnya tidak mengenal secara pribadi kawan-kawannya itu yang sama-sama alumnus ITB. Hanya karena pertimbangan profesionalisme, skill dan idealisme bervisi demi kemandirian industri, maka mereka dipercaya menangani proyek-proyek pemerintah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar