Rabu, 26 Juni 2013

Prospek Inflasi Pasca-Kenaikan Harga BBM

Prospek Inflasi Pasca-Kenaikan Harga BBM
Sunarsip ;   Ekonom Kepala The Indonesia Economic Intelligence (IEI)
KORAN TEMPO, 25 Juni 2013


Kebijakan menaikkan harga BBM seharusnya diambil tahun lalu. Dan dampak kenaikan harga BBM terhadap inflasi seharusnya juga dirasakan tahun lalu. Pemerintah dan politikus di DPR juga memiliki andil di balik keterlambatan kebijakan menaikkan harga BBM ini.
Setelah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2013 disahkan DPR, pemerintah akhirnya menaikkan harga BBM bersubsidi pada 22 Juni 2013. Kebijakan menaikkan harga BBM ini sudah dapat diperkirakan menyebabkan kenaikan inflasi. Namun saya berpendapat bahwa inflasi yang diperkirakan tinggi pada tahun ini sesungguhnya merupakan inflasi yang "tertunda" yang seharusnya terjadi pada tahun lalu. Dengan kata lain, inflasi tahun ini dapat dikatakan sebagai "koreksi" atas inflasi rendah yang terjadi dalam dua tahun terakhir ini. Kenapa saya katakan demikian?
Dalam dua tahun terakhir ini, inflasi kita memang rendah. Inflasi 2011 sebesar 3,79 persen dan pada 2012 sebesar 4,3 persen. Realisasi inflasi 2011 dan 2012 tersebut jauh di bawah asumsi APBN, yaitu sebesar 5,65 persen (APBN 2011) dan 6,8 persen (APBN 2012). Rendahnya tingkat inflasi selama dua tahun terakhir inilah yang menyebabkan Bank Indonesia (BI) mampu mempertahankan suku bunga acuan (BI Rate) pada level yang rendah, yaitu sebesar 5,75 persen sebelum dinaikkan menjadi 6 persen pada Mei 2013.
Sayangnya, banyak yang tidak menyadari bahwa rendahnya inflasi dalam dua tahun terakhir tersebut ternyata "memakan" biaya yang mahal, karena dibiayai oleh subsidi energi (BBM, LPG, dan listrik) yang besar. Padahal, bila mengacu pada situasi harga minyak mentah, pada 2012, harga BBM sudah sewajarnya dinaikkan. Harga minyak mentah selama 2012 naik cukup tinggi. Rata-rata Indonesian crude price (ICP) pada 2010 sebesar US$ 79,4 per barel, meningkat drastis menjadi US$ 111,55 per barel pada 2011 dan kembali meningkat menjadi US$ 112,73 per barel pada 2012. Pada 2013, ICP diperkirakan lebih rendah, tapi tetap di atas US$ 100 per barel menjadi US$ 106 per barel.
Sayangnya, selama 2012, pemerintah tidak memiliki ruang untuk menaikkan harga BBM. Asumsi harga minyak yang dipatok APBN 2012 cukup tinggi. Sementara itu, UU APBN-P 2012 mensyaratkan pemerintah hanya boleh menaikkan harga BBM bila realisasi ICP mencapai 15 persen di atas asumsi yang ditetapkan APBN sebesar US$ 105 per barel atau sebesar US$ 120,75 per barel. Padahal realisasi ICP selama 2012 hanya US$ 112,73 per barel.
Konsekuensi dari tidak adanya ruang untuk menaikkan harga BBM adalah subsidi energi yang ditanggung APBN membengkak. Realisasi subsidi energi mencapai sekitar Rp 255 triliun (2011) dan Rp 306 triliun (2012). Realisasi subsidi energi ini jauh melampaui target yang ditetapkan APBN, yaitu sekitar Rp 195 triliun (2011) dan Rp 275 triliun. Konsekuensi dari tingginya subsidi energi menyebabkan kesehatan fiskal menurun. Keseimbangan primer (primary balance) APBN kita telah defisit, suatu kondisi yang seharusnya tidak boleh terjadi. Pada 2011, keseimbangan primer masih surplus Rp 8,9 triliun. Namun, pada 2012, keseimbangan primer defisit Rp 45,5 triliun. Pada APBN-P 2013, defisit keseimbangan primer diperkirakan meningkat menjadi Rp 120,8 triliun.
Rendahnya kemampuan fiskal inilah yang akhirnya "terbaca" oleh pelaku pasar. Kita menyaksikan, dalam beberapa bulan terakhir ini, nilai tukar rupiah tertekan, hingga tembus level psikologis 10 ribu per dolar Amerika Serikat. Terlebih lagi, neraca perdagangan kita selama 2012 juga mengalami defisit. Pertanyaannya, apakah kenaikan harga BBM ini akan mendorong apresiasi nilai tukar rupiah? Ini yang sekarang menjadi tanda tanya. Kenaikan harga BBM memang akan menolong posisi fiskal. Tentunya, ekspektasi pelaku pasar terhadap APBN kita juga menjadi lebih baik. Namun situasi ini belum tentu akan serta-merta menaikkan nilai tukar rupiah. Sebab, situasi sekarang sudah berubah.
Pada saat kebijakan kenaikan harga BBM diambil, nilai tukar rupiah sudah tertekan. Penyebabnya, bank sentral AS, The Fed, mengumumkan akan menghentikan kebijakan quantitative easing (QE) yang sudah diterapkan sejak 2008. The Fed melihat bahwa pemulihan ekonomi AS sudah terlihat hasilnya. Maka kucuran dolar AS terhadap perekonomian Amerika sudah saatnya dikurangi. Konsekuensinya adalah suku bunga acuan The Fed akan naik. Kenaikan suku bunga The Fed ini tentunya akan mendorong terjadinya pembalikan modal dari emerging market (termasuk Indonesia) masuk ke pasar AS. Nah, kondisi inilah yang menyebabkan dolar AS mengalami penguatan yang diikuti oleh pelemahan sejumlah mata uang lainnya (termasuk rupiah).
Sayang memang, kebijakan yang positif (kenaikan harga BBM) tetapi terlambat, akhirnya menemukan momentum yang kurang tepat. Untuk menaikkan kembali nilai tukar rupiah, tampaknya pemerintah dan BI harus melakukan upaya tambahan, di luar mengandalkan dampak positif yang diharapkan dari perbaikan sisi fiskal.
Suku bunga
Jelas bahwa kebijakan menaikkan harga BBM saat ini adalah sesuatu yang terlambat. Kebijakan menaikkan harga BBM seharusnya diambil tahun lalu. Dan dampak kenaikan harga BBM terhadap inflasi seharusnya juga dirasakan tahun lalu. Namun tak perlu harus mencari kambing hitam di balik keterlambatan kebijakan menaikkan harga BBM ini. Pemerintah dan politikus di DPR juga memiliki andil di balik keterlambatan kebijakan menaikkan harga BBM ini.
Belajar dari pengalaman sebelumnya, kenaikan harga BBM sekitar 30 persen diperkirakan menaikkan inflasi sebesar 1 persen (first round). Namun perlu dipertimbangkan dampak lanjutan (second round) dari kenaikan harga BBM ini. Pengalaman pada 2005, second round effect-nya dapat mencapai dua kali dari inflasi first round. Sehingga dampak kebijakan menaikkan harga BBM sekitar 30 persen ini terhadap inflasi dapat mencapai 3 persen. Ditambah dengan adanya beberapa peristiwa musiman, seperti Ramadan, Idul Fitri, dan liburan, inflasi 2013 diperkirakan bisa mendekati 8 persen. Beruntung, pada tahun ini tidak terjadi lonjakan harga komoditas pangan seperti pada 2008. Maka inflasi tahun ini dapat ditekan di bawah 10 persen.
Begitupun, kita juga perlu mencermati inflasi yang berasal dari volatile foods yang timbul akibat melambatnya pasokan. Sementara itu, inflasi akibat kebijakan harga (administered prices) masih berpotensi terjadi, terutama berkaitan dengan tarif listrik tahap kedua dan kelangkaan LPG. Karenanya, untuk menjaga level inflasi yang kondusif, sebaiknya pemerintah menunda kenaikan tarif listrik tahap kedua ini. Hal yang tak kalah penting adalah juga menjaga pasokan LPG, khususnya LPG 3 kilogram.
Pengendalian inflasi pada tahun ini akan memiliki arti yang penting bagi perekonomian. Inflasi yang tinggi biasanya akan ikut mengerek suku bunga. Pada umumnya, BI Rate berada sekitar 1-2 persen di atas inflasi. BI Rate saat ini sudah mencapai 6 persen, dan peluang untuk naik tetap terbuka karena ekspektasi inflasi yang tinggi. Jika BI Rate naik, suku bunga kredit juga berpotensi akan naik, mengikuti pola hubungan yang selama ini terjadi.

Kesimpulannya, pengendalian inflasi akan menjadi kunci pada tahun ini. Bila BI dan pemerintah gagal mengendalikan inflasi, kebijakan menaikkan harga BBM ini berpotensi dapat berdampak kebalikan dari ekspektasi sebelumnya. Karena itu, langkah selanjutnya adalah memitigasi berbagai risiko yang timbul akibat kenaikan harga BBM ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar