|
SUARA
KARYA, 26 Juni 2013
Aspirasi publik dari berbagai
organisasi masyarakat sipil dan organisasi keagamaan dalam sepekan terakhir ini
telah menggerakkan langkah fraksi-fraksi di DPR RI menunda dalam sepekan
pengesahan Rancangan Undang-Undang Organisasi Massa (RUU Ormas). Pilihan itu
menjadi pertanda baik bahwa ada kehendak untuk memperbaiki draf RUU atau bahkan
membatalkan sama sekali RUU itu dan menggantinya dengan usulan dari berbagai
masyarakat sipil yang nyatanya membutuhkan keberadaan RUU Perkumpulan dan
revisi beberapa pasal UU Yayasan.
Dalam perspektif hak asasi
manusia, kebebasan berserikat, berkumpul, dan berorganisasi adalah hak sipil
politik setiap warga negara yang dijamin oleh konstitusi RI, UU HAM, dan tentu
saja instrumen internasional tentang kovenan hak sipil dan politik. Sebagai hak
sipil politik (negative rights), maka penjaminan atas kebebasan tersebut ditakar
dengan seberapa jauh negara menghindar dari urusan-urusan sipil politik. Makin
menjauh negara dari urusan hak sipil politik, maka derajat penghormatan
terhadap HAM makin tinggi. Sementara, jika negara makin intervensi pada urusan
sipil politik, maka negara dianggap tidak menghormati kebebasan itu. Dan pada
titik tertentu, negara dapat dikualifikasi sebagai pelanggar HAM, karena
merampas kebebasan berserikat, berkumpul, dan berorganisasi.
RUU Ormas, sebagaimana draf yang
hari ini tersedia, jelas merupakan instrumen negara merasuk ke wilayah yang
paling privat dari kebebasan berserikat, berkumpul, dan berorganisasi, karena
dalam draf RUU tersebut, negara menjadi penentu dapat tidaknya seseorang untuk
berserikat. Termasuk penentu keberlangsungan organisasi dengan penyeragaman
ideologi, kontrol, kewajiban pelaporan, dan lain-lain. Paradigma RUU Ormas
jelas bertentangan dengan paradigma hak asasi manusia, yang menuntut jaminan
kebebasan berserikat tanpa intervensi negara.
Dalam mengatur hak-hak negatif
semacam kebebasan berserikat itu, negara dimungkinkan mengatur pada batas-batas
yang tidak mengurangi hakikat jaminan kebebasan berserikat tersebut, misalnya
hanya pada soal administrasi badan hukum, sehingga kepentingan publik juga
dapat dilindungi. Pada saat yang bersamaan, negara juga dapat menyusun
kebijakan kriminal untuk mengkriminalisasi organisasi yang melakukan tindak
kejahatan.
Dalam soal ini negara seharusnya
tidak perlu membentuk RUU Ormas, tetapi cukup merevisi UU Yayasan dan membentuk
UU tentang Perkumpulan sebagai bentuk administrasi badan hukum yang dapat
digunakan oleh masyarakat untuk membentuk organisasi. Sementara untuk menindak
organisasi yang potensial melakukan kejahatan, revisi KUHP yang telah
menyempurnakan tanggung jawab korporasi (termasuk di dalamnya organisasi) yang
melakukan perbuatan pidana, sudah cukup baik menjadi dasar penindakan yang
menyempurnakan ketentuan yang ada dalam KUHP saat ini.
Perlu diingat bahwa dunia
internasional, melalui independent expert
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menunjukkan kecemasan dan kekecewaannya
atas pembahasan RUU Ormas. Di mata mereka, RUU Ormas menunjukkan kemunduran
serius demokratisasi dan pemajuan HAM di Indonesia. Daripada membentuk RUU yang
tidak dibutuhkan oleh masyarakat dan useless
plus mempersulit diri dalam diplomasi hak asasi manusia di forum internasional,
maka sebaiknya penundaan pengesahan RUU Ormas bukanlah keputusan sementara,
tetapi untuk selamanya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar