Selasa, 18 Juni 2013

Spirit Pendidikan Driyarkara

Spirit Pendidikan Driyarkara
YB Adimassana ;   Dosen Prodi PGSD Universitas Sanata Dharma (USD)  Yogyakarta
SINAR MERDEKA, 17 Juni 2013


Membaca dan merenungkan semua tulisan Driyarkara tentang pendidikan, kita bisa menangkap spirit pendidikan. Dalam pandangan dia, yang juga pendiri Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) Sanata Dharma pada 1955, mendidik berarti memanusiakan manusia (Sudiarja dkk, 2006:364). 

Bila insan yang mendidik itu adalah guru atau orang tua, dan peserta didik adalah anak-anak, dari usia TK hingga SMA/ SM maka mendidik berarti memanusiakan manusia muda. Artinya, mereka yang belum menjadi ’’manusia seutuhnya’’ dimanusiakan: dibimbing, dibina, dan dibantu, hingga mencapai pribadi utuh.
Banyak negarawan Angkatan 1945, termasuk Bung Karno, mengenal baik pribadi Driyarkara ataupun spirit pendidikan yang dinyalakan. Pertanyaannya, masihkah spirit itu menyala, dan menerangi lingkungan sekitar?

Dalam visitasi akreditasi prodi di Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta beberapa waktu lalu, seorang asesor dari BAN PT bertanya,’’ Di mana spi-rit pendiri Sanata Dharma se-karang ini dimanifestasikan’’? Setelah ia mencermati, kesungguhan Sanata Dharma mengemban amanat pendiri terlihat jelas dalam rumusan visi misi universitas, fakultas keguruan (FKIP), ataupun prodi.

Substansi gagasan pemanusiaan manusia muda terlihat jelas sehingga bisa menjadi api atau roh yang menghidupkan spirit keguruan/kependidikan di Universitas Sanata Dharma, sebagaimana pada 1970-1980-an yang menyala besar di tengah sejumlah IKIP di Indonesia. Secara teoritis tugas memanusiakan manusia muda, entah bagi guru/dosen sebagai pendidik di lingkungan sekolah, ataupun bagi orang tua sebagai pendidik di lingkungan keluarga, mudah dipahami. Apakah dalam kenyataannya mudah dilaksanakan, lebih-lebih terhadap anak-anak zaman sekarang?

Fenomena yang terjadi adalah kebanyakan orang tua merasa telah mendidik anak jika telah menyekolahkan, memberikan bekal uang, dan membelikan perlengkapan sekolah. Perbuatan yang secara personal dilakukan terhadap anak bisa jadi justru jauh dari kategori ’’mendidik’’ sebagaimana diinginkan Driyarkara. Di sekolah, kebanyakan guru merasa telah mendidik murid jika telah melaksanakan tugas mengajar di kelas dengan terus-menerus berbicara, menyampaikan dan menjelaskan materi pelajaran. Perbuatan yang secara personal dilakukan terhadap tiap murid, entah di kelas atau di luar kelas, bisa jadi justru ’’tidak mendidik’’. 

Tidak Berwatak

Dalam praksis pendidikan zaman sekarang ini, terutama lingkup pendidikan formal, tujuan mendidik untuk memanusiakan manusia muda acap dikalahkan oleh kepentingan (prioritas) untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan kognitif dan keterampilan pragmatis. Hasilnya adalah orang-orang yang cerdas dan ahli tetapi tidak berwatak atau tidak bermoral. Keberhasilan pendidikan formal acap lebih diukur berdasarkan rata-rata IPK atau NEM. Penguasaan berbagai keterampilan praktis, seperti menguasai ICT, Bahasa Inggris, dan bidang ilmu yang digeluti seringkali lebih diutamakan. Padahal moral (kesusilaan) merupakan aspek paling hakiki dari kemanusiaan.

Di lain sisi, pendidikan yang hanya menitikberatkan pada pengembangan aspek moral belumlah cukup membuat lulusan bisa berkiprah, ambil bagian dalam proses pengembangan masyarakat. Watak yang baik saja belum cukup untuk menjalani hidup dan berfungsi dengan baik di masyarakat mengingat tujuan pendidikan adalah ketercapaian manusia yang utuh. Tantangan terbaru bagi pendidikan terkait era internet adalah mungkinkah pencapaian tujuan pendidikan berjalan efektif jika proses mendidik dilakukan tanpa interaksi personal yang intensif?

Semisal peserta didik hanya belajar lewat internet dengan terus-menerus ’’bertanya’’ kepada Google, tanpa pernah secara personal berinteraksi dengan pribadi manusia lain, dari hati ke hati. Mungkinkah tujuan pendidikan untuk mencapai manusia utuh yang dewasa susila seperti dikemukakan Driyarkara benar-benar bisa tercapai? ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar