|
SINAR
MERDEKA, 17 Juni 2013
Membaca dan merenungkan semua tulisan Driyarkara tentang
pendidikan, kita bisa menangkap spirit pendidikan. Dalam pandangan dia, yang
juga pendiri Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) Sanata Dharma pada 1955,
mendidik berarti memanusiakan manusia (Sudiarja dkk, 2006:364).
Bila insan yang mendidik itu adalah guru atau orang tua,
dan peserta didik adalah anak-anak, dari usia TK hingga SMA/ SM maka mendidik
berarti memanusiakan manusia muda. Artinya, mereka yang belum menjadi ’’manusia
seutuhnya’’ dimanusiakan: dibimbing, dibina, dan dibantu, hingga mencapai
pribadi utuh.
Banyak negarawan Angkatan 1945, termasuk Bung Karno,
mengenal baik pribadi Driyarkara ataupun spirit pendidikan yang dinyalakan.
Pertanyaannya, masihkah spirit itu menyala, dan menerangi lingkungan sekitar?
Dalam visitasi akreditasi prodi di Universitas Sanata
Dharma (USD) Yogyakarta beberapa waktu lalu, seorang asesor dari BAN PT
bertanya,’’ Di mana spi-rit pendiri Sanata Dharma se-karang ini
dimanifestasikan’’? Setelah ia mencermati, kesungguhan Sanata Dharma mengemban
amanat pendiri terlihat jelas dalam rumusan visi misi universitas, fakultas
keguruan (FKIP), ataupun prodi.
Substansi gagasan pemanusiaan manusia muda terlihat jelas
sehingga bisa menjadi api atau roh yang menghidupkan spirit keguruan/kependidikan
di Universitas Sanata Dharma, sebagaimana pada 1970-1980-an yang menyala besar
di tengah sejumlah IKIP di Indonesia. Secara teoritis tugas memanusiakan
manusia muda, entah bagi guru/dosen sebagai pendidik di lingkungan sekolah,
ataupun bagi orang tua sebagai pendidik di lingkungan keluarga, mudah dipahami.
Apakah dalam kenyataannya mudah dilaksanakan, lebih-lebih terhadap anak-anak
zaman sekarang?
Fenomena yang terjadi adalah kebanyakan orang tua merasa
telah mendidik anak jika telah menyekolahkan, memberikan bekal uang, dan membelikan
perlengkapan sekolah. Perbuatan yang secara personal dilakukan terhadap anak
bisa jadi justru jauh dari kategori ’’mendidik’’ sebagaimana diinginkan
Driyarkara. Di sekolah, kebanyakan guru merasa telah mendidik murid jika
telah melaksanakan tugas mengajar di kelas dengan terus-menerus berbicara,
menyampaikan dan menjelaskan materi pelajaran. Perbuatan yang secara personal
dilakukan terhadap tiap murid, entah di kelas atau di luar kelas, bisa jadi
justru ’’tidak mendidik’’.
Tidak Berwatak
Dalam praksis pendidikan zaman sekarang ini, terutama
lingkup pendidikan formal, tujuan mendidik untuk memanusiakan manusia muda acap
dikalahkan oleh kepentingan (prioritas) untuk membekali peserta didik dengan
pengetahuan kognitif dan keterampilan pragmatis. Hasilnya adalah orang-orang
yang cerdas dan ahli tetapi tidak berwatak atau tidak
bermoral. Keberhasilan pendidikan formal acap lebih diukur berdasarkan
rata-rata IPK atau NEM. Penguasaan berbagai keterampilan praktis, seperti
menguasai ICT, Bahasa Inggris, dan bidang ilmu yang digeluti seringkali lebih
diutamakan. Padahal moral (kesusilaan) merupakan aspek paling hakiki dari
kemanusiaan.
Di lain sisi, pendidikan yang hanya menitikberatkan pada
pengembangan aspek moral belumlah cukup membuat lulusan bisa berkiprah, ambil
bagian dalam proses pengembangan masyarakat. Watak yang baik saja belum cukup
untuk menjalani hidup dan berfungsi dengan baik di masyarakat mengingat tujuan
pendidikan adalah ketercapaian manusia yang utuh. Tantangan terbaru bagi
pendidikan terkait era internet adalah mungkinkah pencapaian tujuan pendidikan
berjalan efektif jika proses mendidik dilakukan tanpa interaksi personal yang
intensif?
Semisal peserta didik hanya belajar lewat internet dengan
terus-menerus ’’bertanya’’ kepada Google, tanpa pernah secara personal
berinteraksi dengan pribadi manusia lain, dari hati ke hati. Mungkinkah tujuan
pendidikan untuk mencapai manusia utuh yang dewasa susila seperti dikemukakan
Driyarkara benar-benar bisa tercapai? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar