|
SUARA
KARYA, 24 Juni 2013
Polemik antara Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Setgab Koalisi
Pendukung Pemerintahan SBY-Boediono, mengesankan begitu ruwetnya kondisi
perpolitikan nasional kita. Baik PKS maupun Setgab mengklaim pro-rakyat dan
demi kepentingan nasional, sekaligus menuduh pihak lain sebagai tidak
pro-rakyat dan hanya mementingkan kepentingan politiknya menjelang Pemilu 2014.
Kalau kita mecermatinya dari etika politik yang lazim, semua
itu merupakan hal yang tidak biasa untuk tidak mengatakannya sebagai
"keanehan". Semua itu, sudah tentu tidak terlepas dari sistem politik
kita yang memang khas Indonesia sekarang. Koalisi yang kita jalani sekarang
adalah model Indonesia. Mengapa?
Koalisi (semestinya) diterapkan dalam sistem parlementer.
Dukungan partai anggota koalisi diperlukan agar kebijakan pemerintah memperoleh
dukungan mayoritas suara parlemen. Sebab, kalau kebijakan pemerintah tidak
memperoleh dukungan suara mayoritas, apalagi ditolak, pemerintah bisa jatuh.
Hal ini pernah kita alami ketika Indonesia menerap kan sistem parlementer di
era tahun 1950-an.
Demokrasi kita waktu itu dikatakan sebagai "demokrasi
liberal." Kondisi politik waktu itu juga ditandai dengan banyak partai.
Pemerintah jatuh bangun dalam bilangan bulan, sehingga kelangsungan pembangunan
terhambat. Bahkan, kabinet yang dibentuk setelah pemilihan umum yang dikatakan
sebagai paling demokratis pun (Pemilu 1955), yang didukung koalisi partai
pemenang pemilu (PNI/Masyumi/NU), hanya dapat bertahan 17 (tujuh belas) bulan.
Begitu juga Konstituante, bersidang selama lima tahun
menemui jalan buntu dalam menetapkan dasar negara. Karena itu, Presiden
Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 dan memberlakukan kembali UUD 1945.
Maka, terbentuklah kabinet presidensial sesuai dengan UUD 1945, di mana Bung
Karno sebagai kepala negara sekaligus memimpin kabinet (perdana menteri) dibantu
beberapa wakil perdana menteri. Dalam pembentukan kabinet, suara mayoritas DPR
tidak lagi menjadi rujukan alokasi pembagian jabatan menteri.
Kini, Indonesia dikatakan sebagai penganut sistem
presidensial. Presiden dipilih langsung sehingga juga bertanggung jawab
langsung kepada rakyat. Tetapi, DPR--yang bertugas melakukan pengawasan,
penyusunan APBN dan undang-undang (UU), akan dapat mengganggu jalannya
pemerintahan. Ini bisa terjadi kalau dalam pembentukan kabinet, presiden tidak
memperhatikan suara partai di DPR.
Terbentuklah setgab koalisi yang terdiri dari partai-partai
pendukung pemerintah. Dalam kondisi seperti itu, kedudukan eksekutif akan
sangat kuat, sehingga dapat muncul apa yang dikhawatirkan sebagai
"diktator
mayoritas". Mekanisme check
and balance bisa terganggu kalau persepsi koalisi dalam sistem parlementer
diberlakukan dalam sistem presidensial. Politik di Indonesia (sekarang) memang
bukan business as usual.
Inilah risiko kita dalam menuju demokratisasi. Proses
demokrasi memang harus ditempuh secara bertahap, sejalan dengan persepsi kita
tentang demokrasi itu sendiri. Kristalisasi partai-partai politik akan terus
berlanjut sehingga hanya partai yang mampu memahami aspirasi rakyat yang akan
tetap eksis. Pemilu 2014 mungkin akan menjadi saksi kristalisasi bagi
partai-partai politik kita sehingga jumlah partai akan menurun.
Inilah hikmah
polemik PKS versus partai Setgab Koalisi. Ketika itu, sistem presidensial akan
menguat. Insya Allah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar