Rabu, 26 Juni 2013

Koalisi Khas Indonesia

Koalisi Khas Indonesia
Sulastomo ;   Koordinator Gerakan Jalan Lurus
SUARA KARYA, 24 Juni 2013


Polemik antara Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Setgab Koalisi Pendukung Pemerintahan SBY-Boediono, mengesankan begitu ruwetnya kondisi perpolitikan nasional kita. Baik PKS maupun Setgab mengklaim pro-rakyat dan demi kepentingan nasional, sekaligus menuduh pihak lain sebagai tidak pro-rakyat dan hanya mementingkan kepentingan politiknya menjelang Pemilu 2014.

Kalau kita mecermatinya dari etika politik yang lazim, semua itu merupakan hal yang tidak biasa untuk tidak mengatakannya sebagai "keanehan". Semua itu, sudah tentu tidak terlepas dari sistem politik kita yang memang khas Indonesia sekarang. Koalisi yang kita jalani sekarang adalah model Indonesia. Mengapa?

Koalisi (semestinya) diterapkan dalam sistem parlementer. Dukungan partai anggota koalisi diperlukan agar kebijakan pemerintah memperoleh dukungan mayoritas suara parlemen. Sebab, kalau kebijakan pemerintah tidak memperoleh dukungan suara mayoritas, apalagi ditolak, pemerintah bisa jatuh. Hal ini pernah kita alami ketika Indonesia menerap kan sistem parlementer di era tahun 1950-an.

Demokrasi kita waktu itu dikatakan sebagai "demokrasi liberal." Kondisi politik waktu itu juga ditandai dengan banyak partai. Pemerintah jatuh bangun dalam bilangan bulan, sehingga kelangsungan pembangunan terhambat. Bahkan, kabinet yang dibentuk setelah pemilihan umum yang dikatakan sebagai paling demokratis pun (Pemilu 1955), yang didukung koalisi partai pemenang pemilu (PNI/Masyumi/NU), hanya dapat bertahan 17 (tujuh belas) bulan.

Begitu juga Konstituante, bersidang selama lima tahun menemui jalan buntu dalam menetapkan dasar negara. Karena itu, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 dan memberlakukan kembali UUD 1945. Maka, terbentuklah kabinet presidensial sesuai dengan UUD 1945, di mana Bung Karno sebagai kepala negara sekaligus memimpin kabinet (perdana menteri) dibantu beberapa wakil perdana menteri. Dalam pembentukan kabinet, suara mayoritas DPR tidak lagi menjadi rujukan alokasi pembagian jabatan menteri.

Kini, Indonesia dikatakan sebagai penganut sistem presidensial. Presiden dipilih langsung sehingga juga bertanggung jawab langsung kepada rakyat. Tetapi, DPR--yang bertugas melakukan pengawasan, penyusunan APBN dan undang-undang (UU), akan dapat mengganggu jalannya pemerintahan. Ini bisa terjadi kalau dalam pembentukan kabinet, presiden tidak memperhatikan suara partai di DPR.

Terbentuklah setgab koalisi yang terdiri dari partai-partai pendukung pemerintah. Dalam kondisi seperti itu, kedudukan eksekutif akan sangat kuat, sehingga dapat muncul apa yang dikhawatirkan sebagai "diktator 
mayoritas". Mekanisme check and balance bisa terganggu kalau persepsi koalisi dalam sistem parlementer diberlakukan dalam sistem presidensial. Politik di Indonesia (sekarang) memang bukan business as usual.


Inilah risiko kita dalam menuju demokratisasi. Proses demokrasi memang harus ditempuh secara bertahap, sejalan dengan persepsi kita tentang demokrasi itu sendiri. Kristalisasi partai-partai politik akan terus berlanjut sehingga hanya partai yang mampu memahami aspirasi rakyat yang akan tetap eksis. Pemilu 2014 mungkin akan menjadi saksi kristalisasi bagi partai-partai politik kita sehingga jumlah partai akan menurun. 

Inilah hikmah polemik PKS versus partai Setgab Koalisi. Ketika itu, sistem presidensial akan menguat. Insya Allah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar