|
MEDIA
INDONESIA, 24 Juni 2013
KOMISI Pemilihan Umum (KPU) sudah mengumumkan daftar calon
sementara (DCS) anggota legislatif 2014 sejak 13 Juni 2013. Ada sekitar 6.000
kandidat tercantum di DCS tersebut. Namun, hingga Sabtu (22/6), baru ada 75
masukan masyarakat yang disampaikan ke KPU. Dari laporan tersebut, baru 35 laporan
yang diolah yang menyangkut 62 calon legislatif (caleg) dari sejumlah partai
politik (Kompas, 22 Juni 2013).
Pertanyaan
yang muncul ialah mengapa partisipasi publik untuk mengkritisi para calon
anggota legislatif begitu rendah? Apakah sudah sedemikian apatisnya masyarakat
terhadap pemilu legislatif di negeri ini? Mengapa gejala itu muncul? Apakah
karena mereka sudah begitu muak kepada tingkah laku sebagian politikus yang
mengorupsi uang rakyat?
Partisipasi
publik dalam demokrasi ialah suatu keniscayaan. Kualitas demokrasi ditentukan
seberapa besar publik berpartisipasi secara sukarela ditunjang pemahaman
mengenai demokrasi yang cukup tinggi. Partisipasi publik dalam pemilu bukan
saja berupa keikutsertaan publik ketika pemilu berlangsung, melainkan lebih
dari itu. Itu berawal dari sikap kritis publik kepada partai politik (parpol),
calon-calon legislatif yang diajukan partai-partai politik menjelang pemilu
legislatif, ikut memilih dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden, dan terus
berpartisipasi di antara dua pemilu, baik dalam bentuk memberikan informasi
kepada eksekutif dan legislatif tentang apa pun, membuat dan mengirim petisi
politik, maupun ikut demonstrasi.
Lebih
dihargai jika partisipasi masyarakat itu didasari niat baik untuk meningkatkan
kualitas demokrasi dan kualitas hidup masyarakat, dan bukan dalam bentuk
anarki. Memberikan informasi kepada KPU terkait dengan DCS memiliki arti yang
amat penting! Kita semua tentunya menginginkan agar mereka yang akan duduk
menjadi wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ialah orang-orang yang
berkualitas, baik dari segi pendidikan, pengalaman politik, kejujuran,
ketekunan, kerja keras, maupun rekam jejak positif lainnya. Kita tidak
menginginkan politik kita dikuasai dan dijalankan `kaum penjahat', baik dalam
artian kriminalis maupun penjahat politik yang menafikan kepentingan rakyat.
Demokrasi bukan untuk demokrasi, melainkan suatu sistem dengan politik
dijalankan untuk sebaik-baiknya kehidupan rakyat dan tegaknya negara.
Ketidakjujuran diri
`Penjahat'
yang masuk ke DPR RI bisa saja orang yang memalsukan sertifikat atau ijazah
pendidikannya. Jika kepada dirinya sendiri saja dia sudah tidak jujur,
bagaimana kita dapat memercayai politikus semacam ini? Kasus ijazah palsu
selalu muncul setiap pemilu legislatif dan pemilu kada. Hanya untuk memenuhi
persyaratan menjadi calon legislatif, calon gubernur atau calon bupati/wali
kota, orang berani memalsukan ijazah yang bukan menjadi miliknya. Pemalsuan
ijazah sudah berlangsung sejak puluhan tahun lalu di era Orde Baru, khususnya
bagi mereka yang ingin melamar pekerjaan.
Dulu
orang membeli ijazah palsu dari orang dalam di universitas atau lembaga yang
mengurusi pendidikan tinggi yang oknum-oknumnya bersedia menjual ijazah palsu.
Kini ijazah asli tapi palsu (aspal) dapat diperoleh dengan cara yang jauh lebih
mudah, yaitu memindai ijazah asli yang dimiliki orang lain, mengganti nama
orang tersebut dengan namanya, lalu mencetaknya dengan printer berwarna. Jika
tidak memiliki komputer canggih di rumah, itu bisa dilakukan melalui jasa digital printing yang dapat mengedit
sesuka hati. Namun, perusahaan digital
printing yang ada di sekitar Kampus UI Depok kini memasang peringatan
mengenai ketidaksediaan mereka memindai atau mengedit surat-surat penting
seperti ijazah, BPKB mobil, STNK, dan sejenisnya karena mereka khawatir ada
orang yang berniat jelek untuk memalsukannya.
Hanya
orang-orang dekat para calon anggota legislatif yang tahu apakah para calon
tersebut benarbenar menempuh pendidikan SMA atau perguruan tinggi. Karena itu,
partisipasi publik semacam ini sangat dibutuhkan agar praktik pemalsuan ijazah
ini tidak terjadi lagi.
Laporan
masyarakat bisa juga terkait dengan rekam jejak seorang caleg. Anggota
legislatif memang bukan malaikat yang tidak dapat berbuat salah. Namun, kita
tentunya menginginkan agar para wakil rakyat tersebut ialah manusiamanusia yang
memang mencintai politik, punya passion untuk menjalankan pekerjaan, tidak
mudah berang, santun dalam berbicara dan berdebat, tidak menggunakan kata kata
yang tak pantas dikeluarkan di parlemen (unparliamentary
words), mau belajar, dan tentunya bekerja untuk rakyat, bangsa, dan negara.
Merupakan
suatu kenyataan bahwa melalui penelusuran atas rekam jejak para caleg itu bisa
di jumpai salah seorang di antaranya ialah orang yang masih tercantum namanya
dalam DPO (daftar pencarian orang) karena ia pernah melakukan tindakan kriminal
dan lari dari kejaran aparat berwajib. Melalui partisipasi publik itu, kita
melakukan dua hal penting: pertama, menemukan seseorang yang masih ada di DPO
dan, kedua, kita mencegah seorang kriminalis menjadi anggota legislatif.
Kejemuan politik
Rendahnya
partisipasi publik bukan mustahil disebabkan adanya kejemuan politik di
sebagian kalangan masyarakat, terutama setelah melihat betapa ada segelintir
anggota DPR, tak terkecuali perempuan, menjadi koruptor kelas kakap di negeri
ini. Korupsi dilakukan bukan saja oleh orang-orang yang berasal dari
partai-partai nasionalis nona gama, melainkan juga oleh partai partai yang
menjadikan agama sebagai salah satu ideologi politiknya. Apalagi jika itu
dilakukan presiden partai berbasis Islam yang selama ini mempropagandakan
kejujuran, kebersihan, keprofesionalan, dan kepedulian kepada rakyat.
Rakyat
juga sudah bosan dengan janji-janji politik yang begitu indah untuk diucapkan
selama kampanye, tapi begitu mudah untuk dilupakan para politikus. Publik
tentunya masih ingat bagaimana partai pengua sa, Partai Demokrat, pada pemilu
legislatif 2009 mengampanyekan `Katakan tidak pada Korupsi', tetapi kini
ternyata sebagian besar orang yang ada di iklan kampanye itu malah terkena
kasus korupsi. Ada yang sudah menjadi terpidana dan masuk penjara. Ada juga
yang baru taraf tersangka dan belum disidangkan di ya pengadilan tindak pidana
korupsi.
Publik
juga mungkin kesal kepada partai-partai politik yang ada di parlemen karena
masih saja memasukkan para anggota parlemen yang dianggap bermasalah atau tidak
produktif ke dalam DCS. Sebagian besar parpol masih menempatkan 90% dari
anggotanya yang ada di DPR ke dalam DCS. Di mata parpol, mereka lebih dipilih
karena sudah punya modal politik dan modal ekonomi. Kalaupun bukan anggota DPR,
parpol juga memamerkan dan atau menempatkan nama-nama artis, politisi ternama,
menteri, mantan kepala daerah atau kalangan profesional terkenal seba gai bakal
calon yang masuk di DCS. Namun, dalam praktiknya, kurang dari 10% anggota
DPR-RI yang benar-benar bekerja mewakili rakyat dan dikenal rakyat, terutama,
tetapi tidak terbatas pada keaktifan mereka dalam debat politik di dewan. Sebagian
besar anggota DPR hanya datang, duduk, dengar, diam, duit (5D) seperti terjadi
pada era Orde Baru dulu, padahal era politik sudah berubah.
Kita
jangan menyerahkan jalannya demokrasi kepada para kaum penjahat politik dan
ekonomi yang menguasai DPR. Karena itu, partisipasi publik dalam politik ialah
suatu keniscayaan, bila kita ingin demo krasi kita semakin berkualitas dan kehidupan
berbangsa dan bernegara demi keadilan serta kesejahteraan rakyat Indonesia
benar-benar menjadi kenyataan. Karena itu, kita semua tak terkecuali harus
menjadi warga negara yang demokratis dan berpartisipasi secara aktif dalam
setiap tahapan politik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar