|
IndoPROGRESS,
27 Juni 2013
APA yang menjadi kesamaan antara Indonesia dan Yunani?
Sepintas, kita dan Yunani adalah dua negeri yang sangat berbeda. Namun, negeri
para dewa ini juga memiliki masalah yang tidak terdengar asing bagi kita:
krisis ekonomi, krisis politik dan naiknya sentimen politik sayap kanan. Yang
berbeda adalah, Yunani memiliki gerakan rakyat dan partai politik yang mampu
mengartikulasikan aspirasi politik ‘dari bawah’ di tengah-tengah krisis ekonomi
dan kebuntuan politiknya. Tentu saja, konteks Indonesia dan Yunani memang jauh
berbeda. Namun, demi pembelajaran, tidak ada salahnya apabila kita menengok dan
berkaca dari pengalaman Yunani.
Krisis
dan transformasi politik di Yunani
Baru-baru ini, sebuah artikel opini di koran
kenamaan New York Times oleh duo ekonom James K. Galbraith dan Yanis
Varoufakis (2013) berpendapat bahwa mendukung Partai Koalisi Kiri Radikal atau
yang lebih dikenal dengan singkatannya, SYRIZA, adalah satu-satunya jalan
menyelamatkan Yunani dari kebangkrutan. Mengapa? Sebelum melangkah lebih
lanjut, ada baiknya kita sedikit memahami konteks ekonomi-politik dan sosial di
Yunani akhir-akhir ini.
Di
Uni Eropa, Yunani adalah satu dari beberapa negara yang mengalami dampak paling
buruk dari Krisis Finansial Global di tahun 2008. Dampak dari krisis ini masih
terasa dan berlanjut hingga sekarang. Kebangkrutan ekonomi Yunani juga
berdampak kepada dimensi politiknya, yang mengakibatkan Perdana Menteri George
Papandreou mundur, digantikan oleh Pemerintahan Kesatuan Nasional (National Unity Government)
dan troika IMF, Komisi Eropa dan Bank Sentral Eropa. Menurut Costas
Douzinas dan Joanna Bourke (2012), dua orang profesor dari Birkbeck, University
of London, tekanan dari Uni Eropa beserta segenap elit Eropa dan kebijakan
penghematan ekonomi dan pemangkasan subsidi (austerity policy) dalam
menghadapi krisis ekonomi di Yunani, justru telah mencederai partisipasi
politik dan demokrasi di Yunani. Hasilnya bukan main-main: kontraksi ekonomi
sebesar 20 persen selama 4 tahun terakhir, tingkat pengangguran mencapai
22persen, pengangguran kaum muda mencapai 54persen, kenaikan 24 poin di indeks
kemiskinan, serta penurunan gaji dan pensiun untuk pegawai negeri sipil yang
mencapai 50 persen, setidaknya sampai dengan tengah tahun lalu. Tidak hanya
itu, upah minimum dan kompensasi pengangguran (unemployment benefit) juga dipotong hingga 32 persen, ditambah lagi
dengan penghapusan hak negosiasi kolektif untuk para pekerja (collective
bargaining).
Krisis
ekonomi ini juga berimbas ke krisis kemanusiaan. Laporan dari harian
terkemuka Inggris The Guardian, mungkin bisa menjadi salah satu gambaran
parahnya kondisi Yunani pada tahun lalu: para warga kelas menengah yang
terpaksa mengantri di dapur umum untuk mendapat jatah makanan, tingkat
tunawisma dan penyakit kejiwaan yang meningkat secara tajam, serta kesulitan
akses untuk fasilitas kesehatan yang dahsyat. Dengan kata lain, suatu proses
‘proletarianisasi’ besar-besaran sedang terjadi di Yunani. Agaknya, tidaklah
berlebihan jikalau kita menyebut ini sebagai bagian dari apa yang disebut
Slavoj Zizek sebagai ‘Apartheid Baru’ (The New Apartheid).
Di
tengah-tengah kondisi Yunani yang seperti ini, Syriza hadir sebagai
representasi politik dengan tuntutan paling radikal sekaligus realistis bagi
Yunani. Syriza sebagai koalisi dari berbagai partai, gerakan sosial dan elemen
gerakan Kiri di Yunani, sesungguhnya memiliki sejarah yang tidak singkat. Dalam
sebuah pidatonya, Sotiris Martalis (2013), anggota Internationalist
Workers Left atau DEA, salah satu organisasi pendiri dan pendukung Syriza
berhaluan Trotskyis, sejarah Syriza sendiri bermula dari tahun 2001 sebagai
upaya dari berbagai organisasi Kiri dengan berbagai macam tendensinya dan
Synapsismos, partai Kiri yang merupakan partai terbesar dari koalisi Syriza
yang juga dipimpin oleh Alexis Tsipras, yang sekarang menjadi pemimpin dari Syriza.
Dalam upayanya untuk bertahan dalam kontes politik elektoral di Yunani
sekaligus menyuarakan aspirasi dari rakyat Pekerja, menurut Martalis, Syriza
berhasil melakukan berbagai strategi yang rupanya cukup efektif. Pertama, Syriza
berhasil menyatukan dan menjembatani berbagai organisasi dan elemen gerakan
Kiri dengan berbagai tendensinya dalam satu wadah. Dengan kata lain, Syriza
berhasil mengatasi persoalan fraksionalisasi gerakan yang seringkali terjadi di
gerakan Kiri dan progresif. Kedua, Syriza berhasil menyambut
momentum politik pasca krisis ekonomi di Yunani yang mendorong berbagai
komponen gerakan rakyat, mulai dari petani, buruh, anak muda dan lain-lainnya
untuk melakukan aksi-aksi massa dan protes yang juga bertepatan dengan
gerakan Pendudukan (Occupy) global. Syriza dianggap sebagai
wadah politik yang dapat menyalurkan aspirasi rakyat Yunani yang
termarginalisasi oleh krisis ekonomi sekaligus kebijakan teknokratis di Yunani
dan Eropa. Ketiga, di saat yang bersamaan, Syriza juga tetap
berkomitmen terhadap penggunaan mata uang Euroa sekaligus keanggotan Yunani di
Uni Eropa. Menurut Syriza, yang seharusnya menjadi fokus perjuangan adalah
kebijakan ekonomi yang lebih demokratis pasca diberlakukannya kebijakan ekonomi
pemangkasan yang teknokratis alih-alih keluar dari Uni Eropa atau Eurozone
– suatu hal yang juga dikampanyekan oleh beberapa kelompok elit di Yunani
demi kepentingan mereka sendiri.
Tantangan
yang tidak kalah beratnya lagi adalah naiknya sentimen Fasisme dan Neo-Nazi di
Yunani yang diwakili oleh Golden Dawn (Fajar Emas), suatu partai
sayap kanan ekstremis yang, seperti halnya banyak partai ekstrim kanan lainnya
seperti British National Party (Partai
Nasional Inggris) di Inggris dan National
Front (Front Nasional) di Perancis, menyalahkan krisis ekonomi kepada
‘para imigran’ dan menyerukan ‘kepentingan dan kedaulatan Yunani.’ Berbagai
laporan media dan rekaman video di Youtube juga menunjukkan
bagaimana simpatisan Fajar Emas melakukan aksi-aksi vigilantis dan premanisme
serta menyerang berbagai kelompok minoritas di Yunani – suatu sentimen yang
juga didukung oleh para politisi Fajar Emas dalam pidato dan retorika politik
mereka (Mckenna, 2013).
Syriza juga berkomitmen untuk menghadang naiknya Fajar
Emas dan sentimen Fasis di Yunani. Bahkan, boleh dikatakan, Syriza adalah
partai yang paling terdepan dalam menghadapi Fajar Emas – setelah hilangnya
kepercayaan publik terhadap para pemain lama dalam politik Yunani seperti
partai kiri-tengah Gerakan Sosialis Panhellenik (PASOK) dan Demokrasi Baru (New Democracy).
Hasilnya? Meskipun Syriza kalah dalam pemilu legislatif
Yunani pada Juni tahun lalu, ia berhasil memantapkan posisinya sebagai partai
oposisi terbesar di parlemen nasional Yunani, dengan memenangkan 71 dari 300
kursi di parlemen. Apabila ditambah dengan suara dua partai Kiri lainnya, yaitu
Partai Komunis Yunani (KKE) yang memenangkan 12 kursi dan Partai Kiri
Demokratik (Democratic Left) yang
memenangkan 14 kursi, maka blok Kiri memiliki sekitar 97 kursi atau sekitar
sepertiga dari total jumlah kursi di parlemen Yunani. Kekuatan politik ini,
yang juga didukung oleh kebijakan Syriza untuk menjaga komunikasi dengan
partai-partai Kiri lainnya, diharapkan dapat menjadi benteng yang efektif untuk
menghadang kekuatan politik teknokratis yang disebut Marx sebagai ‘pemerintahan
teknikal’ (Musto, 2011) dan kebijakan
ekonomi neoliberal di Yunani.
Keberhasilan
Syriza dalam kontes politik elektoral dan parlementarian di Yunani, perlu kita
sambut sebagai secercah harapan menuju kemenangan politik Kiri-progresif di
berbagai belahan dunia. Dalam berbagai diskusi dalam forum Festival Subversif (Subversive
Festival), sebuah festival film rutin yang baru-baru ini diadakan pada
bulan Mei di Zagreb, Kroasia, yang juga mengundang berbagai aktivis gerakan
Kiri-progresif, di tengah-tengah ‘meredanya’ gejolak gerakan Occupy, hilangnya
momentum Arab Uprising yang ‘dibajak’ oleh gerakan Islamis pasca
gerakan rakyat di Timur Tengah, keberhasilan Syriza merupakan suatu gebrakan di
tengah mandeknya gerakan progresif dan pencapaian yang dapat menjaga momentum
dan semangat perjuangan.
Pelajaran
bagi kita
Berkaca dari pengalaman Yunani, adakah pelajaran yang
dapat kita ambil? Tentu saja, konteks Indonesia dan Yunani amatlah jauh
berbeda. Namun, bukan berarti tidak ada pelajaran yang dapat kita petik.
Antusiasme politik pasca pilkada Jakarta, beberapa gebrakan kebijakan seperti
Kartu Jakarta Sehat (KJS), serta pemilu nasional yang akan digelar tahun depan,
merupakan beberapa hal yang perlu kita amati dengan seksama dan barangkali
dapat menjadi momentum untuk setidaknya menjaga repertoire perjuangan.
Dalam
hal ini, saya tidak berpretensi menjadi seorang pengamat politik atau ahli
nujum yang dapat menebak tren politik ke depan. Namun, apabila ada hal yang
bisa kita ambil dari ‘pelajaran Yunani,’ setidaknya pelajaran tersebut dapat
kita ringkas menjadi tiga hal: pertama, kombinasi antara
eksistensi wadah politik yang representatif ‘dari atas’ dan gerakan rakyat
‘dari bawah’ dapat mewujudkan transformasi politik; kedua, organisasi
dalam politik adalah penting; dan ketiga, berangkat dari
asumsi bahwa politik adalah suatu arena dominasi elit, maka memahami karakter
para elit dan kelemahan mereka amatlah penting untung mencari celah di mana
gerakan rakyat dapat mencari peluang dan memanfaatkan peluang tersebut untuk
transformasi sosial sekaligus untuk mematahkan dan melampaui dominasi elit.
Poin kedua dan ketiga perlu dibahas lebih lanjut di sini.
Mengenai poin kedua, Jodi Dean (2012) dalam refleksinya atas
gerakan Occupy mengajak kita kembali ke perdebatan lama antara kaum
anarkis dan Marxis. Dalam pemaparannya, ‘asosiasi’ atau ‘praktek-praktek sosial
alternatif’ yang dengan pretensi egalitarianisme namun justru menghasilkan
fenomena ‘kuasi-kepemimpinan’ justru akan mencederai gerakan.
Bagi Dean,
organisasi dengan fungsi yang jelas, adalah penting demi keberlangsungan dan
keberhasilan gerakan itu sendiri. Dalam pengamatannya atas gerakan Occupy, Dean menjelaskan bahwa
slogan ‘tanpa bentuk’ dan ‘tanpa pimpinan’ ala beberapa segmen dari gerakan Occupy, justru memunculkan
‘pemimpin informal’ (quasi-leaders)
dan agenda-agenda yang dianggap sebagai ‘konsensus bersama,’ yang padahal,
hanyalah agenda-agenda yang muncul dari beberapa kelompok dominan dalam
gerakan Occupy. Dalam konteks inilah, Dean berpendapat, organisasi
dengan fungsi, hierarkhi dan kepemimpinan yang jelas justru dibutuhkan demi
proses-proses politik yang deliberatif, transparansi dan keberlangsungan dari
gerakan itu sendiri. Pengalaman Syriza adalah pengalaman bagaimana mengtransformasikan
potensi gerakan progresif menjadi organisasi politik dengan tujuan, fungsi, dan
hierarkhi yang jelas, terukur dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam kaitannya dengan poin ketiga, agaknya tidaklah
berlebihan untuk kembali melihat kepada ‘kondisi objektif’ politik Indonesia di
lapangan, terutama pada tingkat subnasional atau lokal. Berbagai studi tentang
politik Indonesia dewasa ini, terutama dari perspektif ekonomi politik, telah
menggarisbawahi kenyataan dominasi elit pasca-Soeharto terutama di tingkat
lokal. Dari perspektif yang lebih empirik, kita bisa melihat bahwa berdasarkan
data dari Kementerian Dalam Negeri (2011) tentang latar belakang para kepala
daerah pasca pemilihan umum kepala daerah tahun 2010, dominasi beberapa
kelompok elit seperti birokrat (yang beberapa diantaranya dapat kita asumsikan
mengalami hidup di bawah rezim Orde Baru dan karenanya mungkin juga mewarisi
mentalitas Orba) dan pengusaha (yang memiliki kapital yang dapat dengan mudah
‘ditransfer’ menjadi kekuatan politik) nampaknya mengamini hipotesis dominasi
elit di tingkat lokal.
Suatu saat, akankah kita memiliki organisasi progresif
yang mewakili gerakan rakyat yang memiliki legitimasi yang kuat seperti Syriza?
Tentu, hanya kita sendiri yang dapat memberi jawaban atas pertanyaan tersebut.
●
Kepustakaan
Dean, J. (2012). The Communist Horizon. London:
Verso.
Douzinas, C., and Bourke, J. (2012, June 17). A Syriza victory will mark the beginning of the end of Greece’s
tragedy. Retrieved June 25, 2013, from The Guardian: http://www.guardian.co.uk/commentisfree/2012/jun/17/syriza-victory-greece-austerity-crisis
Galbraith, J. K., and Varoufakis, Y. (2013, June
23). Only Syriza Can Save Greece. Retrieved 25 June,
2013, from New York Times: http://www.nytimes.com/2013/06/24/opinion/only-syriza-can-save-greece.html?_r=2&
Kementerian Dalam Negeri. (2011). Profil Kepala Daerah Hasil Pemilukada 2010. Jakarta:
Direktorat Jenderal Otonomi Daerah, Kementerian Dalam Negeri, Republik
Indonesia.
Martalis, S. (2013, June 5). The role of the left in SYRIZA. Retrieved June 25,
2013, from SocialistWorker.org:
http://socialistworker.org/2013/06/05/role-of-the-left-in-syriza
Mckenna, T. (2013, February 10). Golden Dawn: The Development of Greek Fascism. Retrieved
June 25, 2013, from Monthly Review:
http://mrzine.monthlyreview.org/2013/mckenna100213.html
Musto, M. (2011, November 17). Political Crisis in Italy and Greece: Marx on ‘Technical
Government.’Retrieved June 25, 2013, from Monthly Review:
http://mrzine.monthlyreview.org/2011/musto171111.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar