|
SUARA
MERDEKA, 24 Juni 2013
’’PADA zaman
Hindia Belanda, negara kita masih dijajah pemerintahan asing, banyak idealis
bermimpi akan Indonesia merdeka, rakyat adil makmur, dan dunia sejahtera bagi
semua manusia,’’ kata guru saya, biarawati
yang ’’cuma’’ lulusan SGB (usia 16 tahun sudah menjadi guru) saat saya duduk di
sekolah rakyat (SR, sekarang SD).
Cerita itu diulang terus dengan variasi peristiwa dan
tokoh, seperti memberi PR. Kisah sejarah RI dan dunia 55 tahun lalu itu membuat
saya memikirkan kenyataan sehari-hari, yaitu kaum idealis pemimpi ’’kemerdekaan, rakyat adil makmur, dunia
sejahtera bagi semua manusia’’ itu telah menjadi ketidakjelasan.
Di tengah ketidakjelasan itu, dunia kita berkembang tiada
henti, menghabiskan begitu banyak waktu, sehingga saya sering berpikir apakah
dunia sekarang sudah mendekati sempurna? Di jagat sibernetika kerap dikatakan
kita hidup di dunia serbabaru dengan perspektif serbahebat. Benarkah? Bahwa
banyak orang sibuk dengan banyak hal serbabaru dan serbahebat, barangkali
benar.
Tetapi apakah kesibukan itu membuat banyak orang menjadi
serbabaru dan serbahebat? Berapa ketua RT (pemimpin negara paling penting,
paling strategis, dan paling tahu rakyat secara nyata) dari Sabang sampai
Merauke, yang sudah menggarap soal itu, bersama rakyat di lingkungannya? Juga,
pernahkah soal kinerja dinamika sosial antara ketua RTdan warga di lingkungan
itu digarap serius oleh semua pejabat pemerintah, dari lurah sampai presiden,
dan seluruh ikutannya sejak 17 Agustus 1945 sampai hari ini, sehingga misalnya,
menjadi GBHN? Pasalnya, kaum idealis pernah bermimpi tentang kinerja dinamika
sosial rakyat dalam lingkup administratif paling sempit (mikro), sebagai dasar
dan penentu lingkup administratif negara secara total (makro). Benar-salah dan
baik-buruk RI ditentukan oleh parameter ini sebagai yang terpenting. Faktanya,
terjadi hal terbalik. Yang mestinya ditentukan (hasil kinerja dari
gedung-gedung resmi di Jakarta dan seluruh ikutannya) menjadi penentu dinamika
ke-RT-an.
Inilaah salah satu asal usul dan biang kerok kompleksitas
ketidakberesan kehidupan berbangsa dan bernegara. Yang juga nyata hari-hari
ini, pada sebagian jagat maya sibernetika berkibar-kibar optimisme, mengajak
orang berpikir positif: toleransi terhadap semua agama serta faham hidup, dunia
tanpa korupsi, antiperang, properdamaian, segala isme bersatu-padu, seluruh
ambiguitas nilai (kanan-kiri, jiwa-badan, lambat-cepat, akal-rasa, diam-gerak,
baik-buruk, benar-salah dan seterusnya) saling berdamai. Singkatnya, optimisme
adalah jalan lempang peradaban dunia seisinya menuju kemuliaan semesta, dan
mohon jangan lupa, itulah sikap dan tujuan awal para perintis sibernetika.
Mereka begitu percaya diri tanpa pamrih, dengan sikap dan tujuan itu, peradaban
akan menuju masa depan pembawa kebahagiaan universal.
Namun sikap dan tujuan mulia itu dicerai-beraikan kawanan oportunis
pada banyak profesi terutama saudagar, makelar, politikus, pejabat negara, dan
bahkan profesi pendidikan. Mereka beroperasi lebih cepat, bukan cuma ambil
bagian melainkan bahkan bisa menguasai jagat sibernetika sambil merusak sikap
dan tujuan para idealis dengan akses, aset, dan jaringan mereka. Hal sama juga
terjadi dalam kehiruk-pikukan tetekbengek
berlabel ’’budaya’’dan saling cumbu pasar dengan pabrik di media televisi. Ini
terjadi di seluruh dunia, apalagi di negara kita, sejak televisi dan sibernetika
lahir sampai hari ini.
Zaman Keemasan Artinya, media televisi dilanda masalah.
Banyak stasiun televisi menggiring khalayak menikmati 1.001 jenis tayangan, dan
berhasil membius amat banyak pemirsa (di negara kita jangan-jangan mayoritas),
menjadi penikmat tayangan selera rendah berkat gegar budaya yang campurbaur
dengan mental minderwaardigheidscomplex
warisan masa silam. Hal sama juga terjadi dalam politik (hura-hura kekenesan
demokrasi semu berbasis uang dan nafsu berkuasa) yang mengabaikan hakikat
rakyat sebagai basis politik. Akibatnya, hati nurani sukar berfungsi dan
politik hancur harga dirinya sebab amat lentur terhadap idealisme. Jika
idealisme mengganggu, ia jalan terus tanpa idealisme: dengan ’’idealisme’’.
Artinya, porsi terbesar komunikasi massa telah dikuasai kaum oportunis.
Mereka sudah amat kuat malang melintang, mempengaruhi, dan
mencuci otak orangorang yang pada dasarnya gagap dalam mindset, memanipulasi
idealisme dengan ìidealismeî, memperpanjang daftar pembeo arus besar budaya
ìpopulerî hura-hura hedonistik peleceh pendidikan. Sungguh ironis, itu semua
berlangsung pada zaman yang disebut era komunikasi saat komunikasi massa
mencapai zaman keemasan dan dianggap segalanya, di depan peradaban: seluruh
dunia terhubung, segala masalah dirundingkan, seruan-seruan perdamaian dan
seterusnya. Menakjubkan? Mungkin.
Yang jelas, kenyataan saat ini: para idealis pemimpi sejati
tetap tidak jelas tempat berhimpunnya, kucar-kacir, atau barangkali sudah amat
lelah meneruskan mimpi-mimpinya. Mereka mungkin telah menjadi kawanan binatang
jalang dalam puisi Chairil Anwar, menjadi entitas yang absurd pada zaman
keemasan komunikasi massa hari-hari ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar