|
KOMPAS,
25 Juni 2013
Gunung Padang ada di Indonesia, ”dibangun” di
bumi Indonesia, oleh orang-orang Indonesia, dan dengan cara berpikir Indonesia.
Tepatnya: Gunung Padang dibangun di tanah Sunda oleh orang Sunda dan dengan
cara berpikir masyarakat Sunda.
Nama Gunung Padang bukan hanya ada di
Cianjur, tetapi juga ada di daerah selatan Bandung dan di daerah Ciamis. Nama
itu juga disebut-sebut dalam berbagai naskah kuno Sunda.
Kata padang sendiri dapat diartikan ’terang’
atau ’cahaya’ sehingga Gunung Padang dapat berarti ’gunung cahaya’ atau ’gunung
pencerahan’ jiwa. Itulah sebabnya Gunung Padang disakralkan, tempat yang bersih
dan suci, sehingga terlarang bagi sembarang orang memasukinya.
Terkait ”semesta raya”
Dalam bahasa Sunda, tempat semacam itu
disebut buyut atau terlarang, tabu. Yang boleh memasuki wilayah buyut hanya
orang-orang tertentu dengan kualitas-kualitas tertentu menurut ukuran budaya
setempat.
Kabuyutan-kabuyutan semacam itu di tanah
Sunda masih banyak terdapat sampai hari ini, yang secara ketat masih dipatuhi
sebagai buyut maupun yang sudah agak longgar persyaratannya. Biasanya
orang-orang dengan keyakinan tertentu mendatangi kabuyutan semacam itu
untuk ngalap berkah atas semua yang berkonotasi ”selamat”. Gunung Padang
di Cianjur, saya dengar, juga masih ada yang memperlakukannya semacam itu.
Kabuyutan Sunda semacam Gunung Padang
tak serta-merta keinginan manusia, tetapi keinginan itu harus sesuai dengan
”keinginan” alam lingkungannya. Bahkan ada yang memperhitungkan dalam
hubungannya dengan alam ”semesta raya” ini, yakni adanya pola yang menempatkan
kabuyutan dalam koordinat gunung, sungai, jurang, tanah landai, mata air,
batu-batu besar, dan tanah (berhutan subur).
Kabuyutan dibangun di bagian tanah yang
meninggi dari hunian manusia umumnya pada waktu itu. Biasanya diperhitungkan
adanya sisi yang terjal, jurang, dan sisi yang agak landai. Arah sakral
diletakkan dekat jurang karena di seberang jurang tidak ada apa-apa lagi alias
”kosong”. Gunung Padang di Cianjur juga ditata semacam itu: di sebelah timurnya
terjal berbenteng, sedangkan arah sebaliknya relatif landai sehingga orang
dapat berjalan naik turun dari atas atau bawah.
Kabuyutan juga harus dikelilingi air
yang berupa sungai. Situs Gunung Padang juga diapit dua aliran sungai, di kiri
dan kanannya, mengalir ke arah depan bangunan yang kemudian bertemu di sungai
yang lebih besar di depannya yang akan mengalir ke sungai besar, Cimandiri. Itu
sebabnya, masyarakat Sunda kuno menyebut kabuyutan sebagai
pulo (pulau) yang memiliki makna terisolir dan terasing dari alam sekitar.
Kondisi yang sesuai untuk dinamakan sebagai ”buyut”, terlarang, tadi itu.
Suatu kabuyutan juga harus memenuhi adanya
tiga anasir alam, yakni air sebagai simbol langit bagi kaum peladang, tanah
subur berhutan sebagai simbol bumi, dan batu-batu besar (megalitik) sebagai
simbol manusia. Dengan demikian, kabuyutan adalah kesatuan organis langit,
bumi, dan manusia di atas bumi dan di bawah langit.
Apa makna gunung-gunung yang merupakan salah
satu syarat pembangunan tempat sakral? Gunung oleh masyarakat tua Indonesia
dipercayai sebagai persemayaman roh-roh nenek moyang, bahkan ada raja dan
keluarganya yang dapat ”turun” kembali ke dunia manusia dan memimpin kembali
anak cucunya. Gunung Padang dikitari enam gunung kecil: di barat laut ada
Gunung Karuhun, Pasir Pogor, dan Pasir Gombong; sementara di tenggara terdapat
Gunung Pasir Malang, Gunung Melati, Gunung Emped. Dengan demikian, Gunung
Padang ada di tengah gugusan enam gunung tersebut. Inilah yang disebut pancer
pangawinan sakral semesta dan ilahiah.
Pancar pangawinan adalah bertemunya dua
sumbu semesta, yakni sumbu bapak yang arah timur-barat dan sumbu indung (ibu)
yang arah utara-selatan. Gugusan gunung di barat laut adalah pancer
pangawinan pertama bertemunya sumbu bumi utara-selatan dan barat-timur.
Begitu pula gugusan gunung di tenggara bermakna sama. Dengan demikian, Gunung
Padang adalah pancer pangawinandari pancer-pancer pangawinan sehingga
betapa tingginya makna metafisik Gunung Padang bagi masyarakat Sunda lama.
Barangsiapa ke Gunung Padang akan dikejutkan
oleh adanya tangga batu yang amat tinggi, hampir vertikal, dimulai dari kaki
bukit sampai ke wilayah kabuyutan itu sendiri. Menurut saya, hal ini berkaitan
dengan banyaknya balok batu berpenampang segi lima. Pentagonal ini merupakan
penggabungan atau perkawinan dua segi tiga (tritangtu buana) dari atas ke
puncaknya dan segi tiga puncaknya, dengan alas garis tengah horizontal
pentagonal, yang dibalik ke arah alas bawah pentagonal tersebut.
Ini dapat berarti ”yang di bawah menuju ke
atas” atau ”dari bumi ke langit” dan segi tiga atas yang terbalik berarti ”yang
di atas menuju bawah” atau ”dari langit menuju bumi”. Keduanya bertemu di
tengah-tengah, persis di mana anak tangga berakhir. Boleh dikatakan tangga
tinggi ini ”tangga langit”, mirip mitologi I La Galigo di Sulawesi Selatan.
Punden berundak
Bentuk punden berundak itu sendiri tidak
eksplisit terlihat. Kalaupun mau disebut punden, tidak dibangun utuh dalam
susunan vertikal segi empat, tetapi hanya setengahnya saja atau hanya dua sisi
segi empat yang dibangun, seperti dijelaskan dalam soal arah sumbu semesta di
atas. Di Sunda, bentuk punden semacam itu terdapat di situs Susuru, Bojong,
Ciamis, juga situs Arca Domas di kaki Gunung Salak, Bogor.
Gambaran Gunung Padang sebagai piramida
bertangga mirip budaya Aztec atau Maya, menimbulkan pertanyaan: kapan
orang-orang Amerika Selatan itu berimigrasi ke Indonesia? Juga gambaran adanya
simpanan harta benda logam mulia di bawah bangunan empat tingkat Gunung Padang
juga terlalu banyak dipengaruhi legenda Indiana Jones, manusia Barat yang
berpengalaman menggali piramida-piramida Mesir Kuno yang memang menyimpan emas
berlian segala rupa. Memang ada benda-benda logam yang ditanam di bawah
batu-batu situs, tetapi bukan emas. Kalaupun emas, juga hanya sebesar paku atau
jarum, seperti ditemukan di makam-makam megalitik Pasemah di Sumatera Selatan.
Bongkar pola pikir Sunda
Kalau tersedia anggaran besar untuk situ
Gunung Padang akan lebih baik jika digunakan untuk merekonstruksi kembali wujud
awalnya sebelum rusak berat di masa sekarang ini. Kerja serupa pernah dilakukan
untuk mendirikan kembali Candi Prambanan dan Borobudur seperti bentuknya yang
sekarang ini.
Gunung Padang sendiri bukan kabuyutan
satu-satunya dalam tradisi budaya Sunda. Selalu ada dua kabuyutan yang lain
yang merupakan kesatuan organis makna dengan Gunung Padang.
Kalau Gunung Padang ada di bagian paling hulu
dari Sungai Cimandiri, maka dua kabuyutan yang lain harus berada jauh di bawah,
yakni bagian agak hilir Sungai Cimandiri (mungkinkah wilayah Campaka?), dan dua
kabuyutan lain itu saling berdekatan. Kalau Gunung Padang merupakan kabuyutan
Langit, maka dua kabuyutan jauh di bawahnya adalah kabuyutan Bumi dan kabuyutan
Manusia, atau dalam paham tritangtu nagara Sunda disebut Resi (langit), Ratu
(manusia), dan Rama (bumi).
Gejala tritangtu semacam ini (pola tiga) ada
di mana-mana di tanah Sunda. Bukan hanya waktu membangun kabuyutan-kabuyutan
negara, tetapi juga ketika masyarakat Sunda masa lampau membangun
perkampungannya, rumahnya, senjatanya, alat perkakasnya, motif kainnya, dan
lain-lain.
Gunung Padang jangan dibongkar-bongkar
kedalaman tanahnya. Akan tetapi yang perlu dibongkar adanya pola berpikir yang
tecermin dalam tata susun situs Gunung Padang itu sendiri. Hal itu hanya dapat
dilakukan dengan penelitian terhadap semua benda budaya Sunda, baik yang tampak
maupun tak tampak (dalam pikiran).
Kalau kebudayaan itu merupakan satu struktur
bangunan pikiran yang besar dan luas, maka Gunung Padang hanya dapat dipahami
dari pola berpikir masyarakat Sunda lama. Adapun manifestasi, aktualisasi, dan
eksistensinya ada di warisan benda-benda budaya Sunda. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar