|
SUAR
OKEZONE, 24 Juni 2013
Mendengar kata “politik”, sebagian besar masyarakat awam di
Indonesia sekarang ini pasti akan merujuk kepada konflik kepentingan (dalam
arti negatif), perilaku koruptif dan manipulatif yang dilakukan oleh para
pejabat publik untuk kepentingan kekuasaannya. Artinya “politik” dianggap
sebagai barang haram yang selalu lekat dengan efek negatif didalamnya. Frame
berfikir tersebut tak terlepas dari sokongan pemberitaan di media yang secara
tidak langsung menyelaraskan politik ini dengan tindakan negatif yang
menyimpang.
Tetapi apakah benar politik seperti itu? di mana telah membuat kemandulan pada sistem pemerintahan kita dan telah mengarah ke tindakan-tindakan menyimpang yang dapat kita lihat sekarang ini? seperti perilaku korupsi dan manipulasi, ketidakberpihakan kebijakan kepada rakyat dan porak-porandanya sistem demokrasi ini?
Bagi penulis adalah tidak. Karena fenomena yang tengah terjadi di dalam aras gejolak demokrasi di Indonesia sekarang ini bukan peristiwa yang disebabkan oleh politik. Akan tetapi karena hilangnya politik itu sendiri di dalam relasi demokrasi dan pengambilan keputusan.
Pengeksklusian Politik
Keberadaan “politik” baik di dalam perdebatan pengambilan keputusan kini telah mulai tersingkir. Hilangnya nyawa politik tersebutlah yang kemudian juga turut menghilangkan daya kritisme politik di dalam melihat suatu masalah. Itu terjadi karena di dalam demokrasi liberal yang dibimbing oleh sistem ekonomi yang liberalis ini, telah membuat mekanisme pasar atau kepentingan ekonomi mengangkangi nyawa dari politik tersebut. Artinya politik telah tereksklusi di dalam ranah dan ruang yang seharusnya diri-nya (politik) bersemayam.
Hilangnya politik di dalam kontestasi demokrasi dapat kita lihat di dalam perdebatan tentang kenaikan BBM akhir-akhir ini, baik di parlemen maupun di tengah masyarakat. Masalah yang dimunculkan oleh pemerintah bahwa subsidi BBM telah memberatkan APBN dan tidak tepatnya subsidi BBM tersebut bagi kalangan bawah karena sebagian besar BBM subsidi dinikmati oleh kalangan atas, tidak menjurus kepada perdebatan di dalam ranah politik.
Tetapi perdebatan yang muncul hanya berkutat tentang masalah efisiensi anggaran, subsidi BBM yang salah sasaran dan penting tidaknya BLSM. Tidak menjurus ke perdebatan tentang apakah dengan kenaikan BBM tersebut akan benar-benar dapat menyehatkan anggaran? dan kemudian pengurangan subsidi BBM dapat benar-benar untuk kepentingan dan kesejahtraan rakyat? mengapa pada peristiwa oil boom (harga minyak yang naik tinggi) pada pertengahan 70’an zaman Soeharto Indonesia seperti mendapat durian runtuh tetapi sekarang dengan kenaikan harga minyak yang tinggi malah sempoyongan? apakah itu karena ketidak daulatan Indonesia terhadap sektor energinya? apakah subsidi BBM tersebut benar-benar salah sasaran bila dilihat dari konstitusi Indonesia (Pasal 33)? bukankah pemerintah memang wajib didalam memberikan bantuan kepada rakyatnya berdasarkan konstitusi, sehingga apa arti dari BLSM yang hanya bersifat sementara ini? bagaimana nasib rakyat kecil nantinya akibat efek domino dari kenaikan ini dan apakah cukup dengan pemberian BLSM? dan juga pertanyaan lainnya.
Ketiadaan perdebatan politik tersebut karena yang menjadi aras utama yang mengontrol perdebatan kenaikan BBM ini adalah faktor ekonomi atau mekanisme pasar. Sehingga perdebatan yang terjadi adalah pro-kenaikan BBM sama dengan pro efisiensi dan kesehatan APBN sedangkan kontra-kenaikan BBM sama dengan setuju subsidi salah sasaran serta menolak adanya efisiensi dan kesehatan APBN. Padahal sebenarnya ada beberapa “ruang penanda kosong” (merujuk ungkapan zizek) yang dapat terus digali dan dieksplorasi secara kritis sebagai tempat pertarungan wacana dan tidak menjadi perdebatan beku serta tidak solutif.
Bukan hanya di dalam masalah kenaikan BBM ini saja terjadi penyingkiran politik, tetapi juga dapat dilihat dari pencarian solusi kebijakan didalam masalah melonjaknya harga cabe dan daging sapi beberapa saat lalu. Alternatif kebijakan yang diambil pemerintah sekali lagi dibimbing oleh mekanisme pasar. Artinya kenaikan harga cabe dan daging sapi yang tinggi dipasaran karena menipisnya komoditas cabe dan daging sapi tersebut, disikapi pemerintah dengan melakukan impor cabe dan daging sapi dari luar negeri. Dengan tujuan agar kedua komoditas tersebut dapat selaras dengan permintaan dan penawaran pasar dan kembali menciptakan kestabilan harga.
Pencarian solusi alternatif kebijakan harga cabe dan daging sapi tersebut yang dibimbing mekanisme pasar telah menghilangkan politik didalamnya. Keadaan tersebut turut menghilangkan daya kritis dari politik. Pertarungan ideologis pun menghilang. Padahal ketika politik itu turut ada di dalam pengambilan keputusan, maka pertanyaan perdebatan tentang mengapa tidak dikuatkan para petani cabe serta peternak sapi untuk mengatasi kelangkaan komoditas ini? apakah kita akan berdaulat terhadap pangan bila mekanisme impor ini terus diutamakan? Bukankah pemberdayaan petani dan peternak dapat lebih menciptakan solusi jangka panjang? Dan juga pertanyaan lain untuk menciptakan perdebatan lainnya.
Politik adalah strategi yang dalam hal ini lebih bersifat ideologis. Politik bergerak untuk mencapai suatu pencapaian-pencapaian tertentu yang dipercayai. Ketidakberdaulatan politik di dalam ranah yang seharusnya ditempatinya dipengaruhi oleh pengutamaan liberalisasi ekonomi yang turut menjadikan ekonomi sebagai kekuatan utama di dalam setiap pengambilan keputusan dan juga karena tidak adanya partai yang mengemban idiologinya di Indonesia sekarang ini. Yang menurut bahasa Giovanni Sartori (1996) sebagai kecenderungan sentrifugal dalam partai politik. Yaitu kecenderungan semakin blurnya ideologi partai karena mereka mengarah semakin ketengah. Dan hal tersebutlah yang kemudian menciptakan kepragmatisan dan penyingkiran politik itu sendiri.
Dan fenomena yang kita saksikan di dalam panggung demokrasi saat ini adalah fenomena pemiskinan politik. Tersingkirnya politik telah membuat setiap elit dan pejabat publik bergerak dalam suara yang hampir sama (kalau tidak mau dikatakan sama). Dan ketika suara tersebut telah bergeser terus ke tindakan negatif, maka tindakan negatif tersebut akan terus tertanam dan terawat dengan baik, karena ketiadaan politik sebagai oposisi yang melawan dan menentangnya.
Mungkin saat ini publik tengah gusar dengan konflik kepentingan di dalam politik tersebut, karena ditakutkan akan menciptakan konflik sosial yang panjang. Padahal politik tidak akan pernah ada tanpa konflik kepentingan didalamnya. Dan ketika konflik kepentingan ditekan dan publik menolak politik di tengah rezim yang menindas rakyat, maka yang terjadi adalah pengesahan terhadap penindasan tersebut.
Sehingga kesadaran politik menjadi suatu hal yang sangat penting. Karena lewat kesadaran akan pentingnya politik tersebutlah roda demokrasi akan dapat benar-benar berjalan. Dan anggapan negatif terhadap politik adalah bagian dari ketiadaan kesadaran tentang politik itu sendiri. Karena politik menurut filsuf Yunani Kuno seperti Plato dan Aristoteles merupakan suatu usaha untuk mencapai masyarakat yang terbaik. ●
Tetapi apakah benar politik seperti itu? di mana telah membuat kemandulan pada sistem pemerintahan kita dan telah mengarah ke tindakan-tindakan menyimpang yang dapat kita lihat sekarang ini? seperti perilaku korupsi dan manipulasi, ketidakberpihakan kebijakan kepada rakyat dan porak-porandanya sistem demokrasi ini?
Bagi penulis adalah tidak. Karena fenomena yang tengah terjadi di dalam aras gejolak demokrasi di Indonesia sekarang ini bukan peristiwa yang disebabkan oleh politik. Akan tetapi karena hilangnya politik itu sendiri di dalam relasi demokrasi dan pengambilan keputusan.
Pengeksklusian Politik
Keberadaan “politik” baik di dalam perdebatan pengambilan keputusan kini telah mulai tersingkir. Hilangnya nyawa politik tersebutlah yang kemudian juga turut menghilangkan daya kritisme politik di dalam melihat suatu masalah. Itu terjadi karena di dalam demokrasi liberal yang dibimbing oleh sistem ekonomi yang liberalis ini, telah membuat mekanisme pasar atau kepentingan ekonomi mengangkangi nyawa dari politik tersebut. Artinya politik telah tereksklusi di dalam ranah dan ruang yang seharusnya diri-nya (politik) bersemayam.
Hilangnya politik di dalam kontestasi demokrasi dapat kita lihat di dalam perdebatan tentang kenaikan BBM akhir-akhir ini, baik di parlemen maupun di tengah masyarakat. Masalah yang dimunculkan oleh pemerintah bahwa subsidi BBM telah memberatkan APBN dan tidak tepatnya subsidi BBM tersebut bagi kalangan bawah karena sebagian besar BBM subsidi dinikmati oleh kalangan atas, tidak menjurus kepada perdebatan di dalam ranah politik.
Tetapi perdebatan yang muncul hanya berkutat tentang masalah efisiensi anggaran, subsidi BBM yang salah sasaran dan penting tidaknya BLSM. Tidak menjurus ke perdebatan tentang apakah dengan kenaikan BBM tersebut akan benar-benar dapat menyehatkan anggaran? dan kemudian pengurangan subsidi BBM dapat benar-benar untuk kepentingan dan kesejahtraan rakyat? mengapa pada peristiwa oil boom (harga minyak yang naik tinggi) pada pertengahan 70’an zaman Soeharto Indonesia seperti mendapat durian runtuh tetapi sekarang dengan kenaikan harga minyak yang tinggi malah sempoyongan? apakah itu karena ketidak daulatan Indonesia terhadap sektor energinya? apakah subsidi BBM tersebut benar-benar salah sasaran bila dilihat dari konstitusi Indonesia (Pasal 33)? bukankah pemerintah memang wajib didalam memberikan bantuan kepada rakyatnya berdasarkan konstitusi, sehingga apa arti dari BLSM yang hanya bersifat sementara ini? bagaimana nasib rakyat kecil nantinya akibat efek domino dari kenaikan ini dan apakah cukup dengan pemberian BLSM? dan juga pertanyaan lainnya.
Ketiadaan perdebatan politik tersebut karena yang menjadi aras utama yang mengontrol perdebatan kenaikan BBM ini adalah faktor ekonomi atau mekanisme pasar. Sehingga perdebatan yang terjadi adalah pro-kenaikan BBM sama dengan pro efisiensi dan kesehatan APBN sedangkan kontra-kenaikan BBM sama dengan setuju subsidi salah sasaran serta menolak adanya efisiensi dan kesehatan APBN. Padahal sebenarnya ada beberapa “ruang penanda kosong” (merujuk ungkapan zizek) yang dapat terus digali dan dieksplorasi secara kritis sebagai tempat pertarungan wacana dan tidak menjadi perdebatan beku serta tidak solutif.
Bukan hanya di dalam masalah kenaikan BBM ini saja terjadi penyingkiran politik, tetapi juga dapat dilihat dari pencarian solusi kebijakan didalam masalah melonjaknya harga cabe dan daging sapi beberapa saat lalu. Alternatif kebijakan yang diambil pemerintah sekali lagi dibimbing oleh mekanisme pasar. Artinya kenaikan harga cabe dan daging sapi yang tinggi dipasaran karena menipisnya komoditas cabe dan daging sapi tersebut, disikapi pemerintah dengan melakukan impor cabe dan daging sapi dari luar negeri. Dengan tujuan agar kedua komoditas tersebut dapat selaras dengan permintaan dan penawaran pasar dan kembali menciptakan kestabilan harga.
Pencarian solusi alternatif kebijakan harga cabe dan daging sapi tersebut yang dibimbing mekanisme pasar telah menghilangkan politik didalamnya. Keadaan tersebut turut menghilangkan daya kritis dari politik. Pertarungan ideologis pun menghilang. Padahal ketika politik itu turut ada di dalam pengambilan keputusan, maka pertanyaan perdebatan tentang mengapa tidak dikuatkan para petani cabe serta peternak sapi untuk mengatasi kelangkaan komoditas ini? apakah kita akan berdaulat terhadap pangan bila mekanisme impor ini terus diutamakan? Bukankah pemberdayaan petani dan peternak dapat lebih menciptakan solusi jangka panjang? Dan juga pertanyaan lain untuk menciptakan perdebatan lainnya.
Politik adalah strategi yang dalam hal ini lebih bersifat ideologis. Politik bergerak untuk mencapai suatu pencapaian-pencapaian tertentu yang dipercayai. Ketidakberdaulatan politik di dalam ranah yang seharusnya ditempatinya dipengaruhi oleh pengutamaan liberalisasi ekonomi yang turut menjadikan ekonomi sebagai kekuatan utama di dalam setiap pengambilan keputusan dan juga karena tidak adanya partai yang mengemban idiologinya di Indonesia sekarang ini. Yang menurut bahasa Giovanni Sartori (1996) sebagai kecenderungan sentrifugal dalam partai politik. Yaitu kecenderungan semakin blurnya ideologi partai karena mereka mengarah semakin ketengah. Dan hal tersebutlah yang kemudian menciptakan kepragmatisan dan penyingkiran politik itu sendiri.
Dan fenomena yang kita saksikan di dalam panggung demokrasi saat ini adalah fenomena pemiskinan politik. Tersingkirnya politik telah membuat setiap elit dan pejabat publik bergerak dalam suara yang hampir sama (kalau tidak mau dikatakan sama). Dan ketika suara tersebut telah bergeser terus ke tindakan negatif, maka tindakan negatif tersebut akan terus tertanam dan terawat dengan baik, karena ketiadaan politik sebagai oposisi yang melawan dan menentangnya.
Mungkin saat ini publik tengah gusar dengan konflik kepentingan di dalam politik tersebut, karena ditakutkan akan menciptakan konflik sosial yang panjang. Padahal politik tidak akan pernah ada tanpa konflik kepentingan didalamnya. Dan ketika konflik kepentingan ditekan dan publik menolak politik di tengah rezim yang menindas rakyat, maka yang terjadi adalah pengesahan terhadap penindasan tersebut.
Sehingga kesadaran politik menjadi suatu hal yang sangat penting. Karena lewat kesadaran akan pentingnya politik tersebutlah roda demokrasi akan dapat benar-benar berjalan. Dan anggapan negatif terhadap politik adalah bagian dari ketiadaan kesadaran tentang politik itu sendiri. Karena politik menurut filsuf Yunani Kuno seperti Plato dan Aristoteles merupakan suatu usaha untuk mencapai masyarakat yang terbaik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar