|
JAWA
POS, 25 Juni 2013
TIDAK percaya tapi nyata. Setidaknya, sepanjang publikasi yang bisa
diakses, baru sekali ini ada seorang rektor kampus negeri (Rektor Universitas
Mulawarman Zamruddin Hasid, Red) menandatangani ijazah doktor untuk dirinya
sendiri. Ketika ada yang mempertanyakan, si penyoal justru akan dibawa ke
sidang komisi etik senat untuk klarifikasi. Tapi, sidang itu tidak
mempersoalkan proses keluarnya dan substansi ijazah, namun berkaitan dengan
pembeberan ke publik ihwal ijazah yang tidak lazim tersebut ( Jawa Pos ,
21/6).
Ada dua hal yang berkaitan dengan ijazah tersebut, berangkat dari fakta yang mencuat sebagai dasar untuk memberikan kepastian tentang nilai ijazah itu. Pertama dalam perspektif hukum, yaitu hukum administrasi. Bahwa secara administratif, didasarkan pada aturan, jenjang pendidikan strata 3 (doktor) itu harus melalui beberapa tahap. Pertama, ada mata kuliah (MK) yang merupakan pembekalan dengan nilai SKS (satuan kredit semester) tertentu. Termasuk, penilaian akhir yang dikuantifikasikan dengan nilai A, B, dan C (lulus) serta D, E (tidak lulus). Proses untuk ini biasanya ditempuh minimal dalam dua semester yang menguras pikiran.
Pada semester ketiga, ada ujian usul penelitian, sekurang-kurangnya satu semester. Usul penelitian disertasi, lazim disebut proposal, diuji dan kemudian biasanya selalu ada perbaikan tertentu. Pada semester keempat, ada seminar hasil penelitian. Berikutnya, ada ujian tertutup dan terakhir adalah ujian terbuka (biasanya ada yang menggunakan istilah kolokium I, II, dan III).
Dari rentang penelitian sampai ujian terbuka itu, jika jalan reguler, tidak akan bisa selesai dalam waktu setahun. Kalaupun jalannya ''super-tol'', akan selesai dalam waktu setahun. Jadi, total memerlukan waktu dua tahun atau empat semester.
Silang selisih mengenai ijazah yang dipermasalahkan itu, pada satu sisi, adalah 1 tahun 11 bulan (menurut versi rektor 34 bulan atau 2 tahun 10 bulan). Pelacakan administratif terhadap hal itu tentu bisa dilakukan. Karena bukan rahasia negara, dokumennya bisa diklarifikasi secara terbuka pula.
Di dalam hukum administrasi, permasalahan jenjang waktu tersebut bersifat aanvullen atau mengatur. Tidak bersifat dwiggen atau memaksa dan diikuti dengan sanksi. Artinya, jika tidak dituruti, sanksinya adalah moral. Karena prosedur administratif sudah dilewati, menurut hukum administrasi, hal itu tidak menjadi masalah. Dengan demikian, secara administratif klir.
Permasalahannya tidak terletak pada absah atau tidaknya secara administratif, melainkan pada ranah etika yang juga diatur dalam UU. Pasal 3 UU Nomor 28/1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bebas dari KKN menyebutkan bahwa asas penyelenggaraan administrasi pemerintahan harus didasarkan pada asas umum pemerintahan yang layak (AUPL). Asas itu meliputi asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, dan asas akuntabilitas.
Rektor adalah pejabat negara, dalam arti dalam melaksanakan kinerjanya terikat dengan UU tersebut dan karena itu harus menuruti UU tersebut, termasuk dalam pembuatan ijazah. Jika menandatangani ijazah untuk dirinya sendiri, rektor bisa dianggap tidak sesuai dengan asas proporsionalitas, profesionalitas, dan akuntabilitas,. Meski tidak ada konsekuensi secara yuridis, secara etika itu tidak semestinya. Memang tidak ada larangan. Namun, asas hukum administrasi tidak berangkat pada: kalau tidak dilarang berarti boleh. Itu asas hukum pidana. Namun, harus mengacu pada AUPL tersebut.
Untuk dosen yang mempertanyakan ijazah tersebut, berlebihan jika sanksinya adalah nestapa yang akan membawa dampak secara ekstrem. Misalnya, penurunan pangkat, apalagi sampai pada pemecatan. Dalam bahasa pendidikan, itu tidak mendidik, tetapi terkesan membalas dendam serta sakit hati. Dalam bahasa politik, itu main kuasa dan pasti berbuntut panjang.
Karena itu, solusi yang elegan, pertama, hendaknya diklarifikasi apakah masa studi benar sebagaimana yang didalilkan bahwa itu selama 34 bulan. Taruhlah itu benar, apakah semua kualifikasi sebagaimana penjenjangan tersebut telah dilewati dengan semestinya? Karena itu, secara kesatria, rektor seharusnya menanyakan kepada etika pada diri sendiri ihwal tersebut.
Proses keluarnya ijazah tersebut perlu dijernihkan, apakah sudah sesuai dengan prosedur. Kedua, manakala ternyata tidak benar, bahwa masa studinya hanya 1 tahun 11 bulan yang berarti 23 bulan, itu (bahasa Asmuni) adalah hil yang mustahal . Bahwa pengujinya datang dari mana pun, itu bukan argumentasi yang menjawab masalah. Tentu karena penguji itu diundang, sesuai dengan expert yang bersangkutan tidak akan menolak (dan tidak mempersoalkan masa studi).
Kasus unik ini adalah momentum untuk penegakan nilai-nilai kemuliaan kejujuran akademis yang kerap sulit ditegakkan. Kejujuran, sebuah istilah yang dalam khotbah sekali pun, sudah jarang disampaikan. ●
Ada dua hal yang berkaitan dengan ijazah tersebut, berangkat dari fakta yang mencuat sebagai dasar untuk memberikan kepastian tentang nilai ijazah itu. Pertama dalam perspektif hukum, yaitu hukum administrasi. Bahwa secara administratif, didasarkan pada aturan, jenjang pendidikan strata 3 (doktor) itu harus melalui beberapa tahap. Pertama, ada mata kuliah (MK) yang merupakan pembekalan dengan nilai SKS (satuan kredit semester) tertentu. Termasuk, penilaian akhir yang dikuantifikasikan dengan nilai A, B, dan C (lulus) serta D, E (tidak lulus). Proses untuk ini biasanya ditempuh minimal dalam dua semester yang menguras pikiran.
Pada semester ketiga, ada ujian usul penelitian, sekurang-kurangnya satu semester. Usul penelitian disertasi, lazim disebut proposal, diuji dan kemudian biasanya selalu ada perbaikan tertentu. Pada semester keempat, ada seminar hasil penelitian. Berikutnya, ada ujian tertutup dan terakhir adalah ujian terbuka (biasanya ada yang menggunakan istilah kolokium I, II, dan III).
Dari rentang penelitian sampai ujian terbuka itu, jika jalan reguler, tidak akan bisa selesai dalam waktu setahun. Kalaupun jalannya ''super-tol'', akan selesai dalam waktu setahun. Jadi, total memerlukan waktu dua tahun atau empat semester.
Silang selisih mengenai ijazah yang dipermasalahkan itu, pada satu sisi, adalah 1 tahun 11 bulan (menurut versi rektor 34 bulan atau 2 tahun 10 bulan). Pelacakan administratif terhadap hal itu tentu bisa dilakukan. Karena bukan rahasia negara, dokumennya bisa diklarifikasi secara terbuka pula.
Di dalam hukum administrasi, permasalahan jenjang waktu tersebut bersifat aanvullen atau mengatur. Tidak bersifat dwiggen atau memaksa dan diikuti dengan sanksi. Artinya, jika tidak dituruti, sanksinya adalah moral. Karena prosedur administratif sudah dilewati, menurut hukum administrasi, hal itu tidak menjadi masalah. Dengan demikian, secara administratif klir.
Permasalahannya tidak terletak pada absah atau tidaknya secara administratif, melainkan pada ranah etika yang juga diatur dalam UU. Pasal 3 UU Nomor 28/1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bebas dari KKN menyebutkan bahwa asas penyelenggaraan administrasi pemerintahan harus didasarkan pada asas umum pemerintahan yang layak (AUPL). Asas itu meliputi asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, dan asas akuntabilitas.
Rektor adalah pejabat negara, dalam arti dalam melaksanakan kinerjanya terikat dengan UU tersebut dan karena itu harus menuruti UU tersebut, termasuk dalam pembuatan ijazah. Jika menandatangani ijazah untuk dirinya sendiri, rektor bisa dianggap tidak sesuai dengan asas proporsionalitas, profesionalitas, dan akuntabilitas,. Meski tidak ada konsekuensi secara yuridis, secara etika itu tidak semestinya. Memang tidak ada larangan. Namun, asas hukum administrasi tidak berangkat pada: kalau tidak dilarang berarti boleh. Itu asas hukum pidana. Namun, harus mengacu pada AUPL tersebut.
Untuk dosen yang mempertanyakan ijazah tersebut, berlebihan jika sanksinya adalah nestapa yang akan membawa dampak secara ekstrem. Misalnya, penurunan pangkat, apalagi sampai pada pemecatan. Dalam bahasa pendidikan, itu tidak mendidik, tetapi terkesan membalas dendam serta sakit hati. Dalam bahasa politik, itu main kuasa dan pasti berbuntut panjang.
Karena itu, solusi yang elegan, pertama, hendaknya diklarifikasi apakah masa studi benar sebagaimana yang didalilkan bahwa itu selama 34 bulan. Taruhlah itu benar, apakah semua kualifikasi sebagaimana penjenjangan tersebut telah dilewati dengan semestinya? Karena itu, secara kesatria, rektor seharusnya menanyakan kepada etika pada diri sendiri ihwal tersebut.
Proses keluarnya ijazah tersebut perlu dijernihkan, apakah sudah sesuai dengan prosedur. Kedua, manakala ternyata tidak benar, bahwa masa studinya hanya 1 tahun 11 bulan yang berarti 23 bulan, itu (bahasa Asmuni) adalah hil yang mustahal . Bahwa pengujinya datang dari mana pun, itu bukan argumentasi yang menjawab masalah. Tentu karena penguji itu diundang, sesuai dengan expert yang bersangkutan tidak akan menolak (dan tidak mempersoalkan masa studi).
Kasus unik ini adalah momentum untuk penegakan nilai-nilai kemuliaan kejujuran akademis yang kerap sulit ditegakkan. Kejujuran, sebuah istilah yang dalam khotbah sekali pun, sudah jarang disampaikan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar