|
SINAR
HARAPAN, 25 Juni 2013
Para pejabat dan tokoh, terutama yang
bergelar guru besar dan doktor, seyogianya berhati-hati memakai istilah yang
berasal dari bahasa asing. Makna yang dikemukakan para tokoh yang “sangat
terpelajar”, meskipun keliru, biasanya akan ditiru, padahal ada
kemungkinan punya akibat hukum.
Istilah yang artinya paling
sering diselewengkan adalah kata “oknum”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), “oknum” berarti “penyebut diri Tuhan di agama Katolik; pribadi:
kesatuan antara Bapak, Anak dan Roh Kudus sebagai oknum keesaan Tuhan”.
Artinya, kata “oknum” telah
didegradasi sedemikian rendahnya dari “bersifat Ketuhanan” menjadi “oknum” yang
berarti “orang yang sifatnya kurang baik”. Degradasi kata “oknum” dilakukan
oleh tokoh partai politik; kadernya yang terbaik, yang dijadikan pucuk pemimpin partai,
bila tersangkut kejahatan akan dinyatakan sebagai “oknum”, agar partainya tidak
terseret.
Pejabat di istana
kepresidenen pernah menggunakan kata “aubade” untuk acara sore hari penurunan
bendera merah putih pada Hari Proklamasi Kemerdekaan.
Arti “aubade” yang benar
tercantum dalam KBBI; kata “aubade” berarti “nyanyian atau musik
untuk penghormatan pada pagi hari”. Pejabat Istana juga memberi nama
gedung di kompleks istana “Bina Graha”.
Padahal, kalau kita merujuk
KBBI, “graha” artinya “buaya”. Di KBBI tidak tercantum bahwa “graha” berarti
“rumah” atau “gedung” karena bahasa Sansekerta “Grha” biasanya ditransliterasi
menjadi “griya” (rumah), bukan “graha”.
Kesalahan memilih kata yang
ada kemungkinan menganiaya seseorang, dilakukan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi. Ketuanya, Abraham Samad, menyatakan telah “membredel” mobil yang
disangkakan milik Luthfi Hasan Ishaaq. Seharusnya kata yang dipakai adalah
“menyegel”. Selain itu seharusnya papan yang ditempelkan di rumah istri
Fathanah bertulisan “disegel”, bukan “disita KPK”.
Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono juga tidak cermat. Beliau gemar berpidato dengan campuran bahasa
Inggris. Sayangnya, kata asing yang diucapkannya kadang-kadang maknanya keliru.
Hal itu terlihat pada ucapannya, bahwa beliau tidak akan mencampuri
“justice”, padahal, maksudnya, mungkin, tidak akan mencampuri “judiciary”.
Nampaknya beliau lupa bahwa
“criminal justice system” di USA (yang pernah disebutnya sebagai negerinya yang
kedua) terdiri dari Police, Court and
Correctional Institution; sedangkan di Indonesia terdiri dari Kepolisian,
Kejaksaan, Kehakiman, dan Lembaga Pemasyarakatan.
Jadi, sesungguhnya
Presiden Yudhoyono membawahi tiga lembaga dalam integrated criminal justice
system. Seyogianya beliau bertanggung jawab mempercepat terlaksananya
keadilan dengan pedoman delayed
justice is injustice. Mengingat pula ajaran Ibn Khaldun, bahwa
negara adalah lembaga yang mencegah agar penduduk negeri tidak mengalami
ketidakadilan.
Pancasila sebagai Pilar
atau Fundamen?
Pada peringatan Hari Lahir
Pancasila 1 Juni 2006, Presiden Yudhoyono mengucapkan pidato berjudul “Menata
Kembali Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”. Beliau mengingatkan, konsensus
dasar yang kita sepakati ada empat, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan
Bineka Tunggal Ika.
Istilah yang dipakai adalah
“konsensus dasar”, bukan “pilar”. Beliau menggunakan istilah “pilar” untuk kata
lain, yaitu freedom atau “kebebasan”, rule
of law atau “aturan hukum” dan tolerance atau “toleransi”.
Beberapa tahun kemudian, Dr (HC)
Taufiq Kiemas, setelah menjadi Ketua MPR, menyatakan bahwa kehidupan
berbangsa dan bernegara kita terdiri dari empat pilar yaitu Pancasila, UUD
1945, Bineka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian
pendapatnya diterima oleh pemimpin MPR.
Singkatnya, masalah timbul
karena istilah yang dipakai pemimpin MPR, DPR, dan pemerintah
yang tercantum dalam Pasal 34 Ayat (a) UU Nomor 11 Tahun 2008
tidak sesuai dengan teori konstitusi yang dianut oleh Pendiri Negara. Selain
itu, “UUD 2002” (UUD 1945 hasil amandemen) ada yang melanggar asas konstitusi (constitutional principles) yang dianut
oleh Pendiri Negara.
Dapat dikemukakan bahwa
pendapat Ketua MPR itu juga berbeda dengan pendapat Guru Besar Universitas
Gadjah Mada, Prof Notonagoro (yang menjadi promotor penganugerahan doctor honoris causa kepada Ir Sukarno,
juga dikenal sebagai Begawan Pancasila) yang menyatakan bahwa “Pembukaan merupakan dasar, rangka, dan
suasana yang meliputi seluruh kehidupan bangsa dan negara, serta
tertib hukum Indonesia, sehingga kebaikan hukum positif Indonesia, termasuk
UUD, harus diukur dari asas yang tercantum dalam Pembukaan, dan karena itu
Pembukaan dan Pancasila harus digunakan sebagai pedoman bagi penyelesaian
soal-soal pokok kenegaraan dan tertib hukum Indonesia”.
Pernyataan Prof Notonagoro
tersebut menunjukkan ada hirarkhi norma dan Pembukaan UUD 1945, termasuk
Pancasila yang tercantum di alinea empat adalah staatsfundamentalnorm (pokok kaidah negara yang fundamental) yaitu
norma tertinggi.
Artinya ada axiological hierarchy (hirarki nilai)
dan hirarki norma. Ada core values
dan values. Ada grundnorm dan norm
yang tercantum di Grundgesetz (UUD).
Sama-sama memakai kata grund (dasar)
tetapi tingkatnya berbeda. Jauh berbeda dengan “pilar”.
Pancasila adalah “sumber
dari sumber”, “fundamen”, “dasar” dari “dasar”. Staatsfundamentalnorm dapat
menurunkan “pilar” yang berbeda. Pembukaan UUD 1945 (staatsfundamentalnorm) menghasilkan NKRI. Mukadimah Konstitusi RIS
(staatsfundamentalnorm) menurunkan
ketentuan yang berbeda, yaitu negara federal; artinya sejumlah pendiri negara
kita menyatakan NKRI bukan harga mati.
Beliau-beliau itu memilih
“merdeka” (liberty/freedom), “daulat rakyat”
(popular sovereignty), republik, dan
“persamaan di muka hukum” (equality
before the law) sebagai harga mati. Jadi, meskipun staatsfundamentalnorm-nya sama, besar
kemungkinan suatu pemerintahan akan mengutamakan “pilar” tertentu,
seperti halnya Presiden Yudhoyono yang mengutamakan freedom, rule of law, dan tolerance.
Dalih pemimpin MPR
bahwa menurut KBBI kata “pilar” juga berarti “dasar” tidak dapat diterima
dengan alasan sebagai berikut; Pertama, menurut KBBI, “fundamen” berarti
“asas, dasar, hakikat”; “fundamental” berarti “bersifat dasar (pokok)”.
“Pilar” berarti “tiang
penguat; dasar (yang pokok)”. Sebenarnya KBBI telah menjelaskan bahwa
“fundamen” lebih mendasar dari “pilar”, terlihat dari kata “hakikat” dan
“asas”, sedangkan “pilar” sifatnya “penguat” atau “penyokong”. Tetapi sayangnya,
ada keterangan di KBBI yang kurang tepat, yaitu bahwa “pilar” berarti “dasar
(yang pokok)”.
KBBI disusun oleh puluhan
petugas dan penyelia yang kepakarannya tidak sama. Seyogianya pemimpin Pusat
Bahasa menjelaskan kepada masyarakat apakah pilar yang berarti “yang pokok”
dapat dipertanggungjawabkan seperti yang diterangkan pemimpin MPR.
Kedua, menurut Bung Karno,
Pancasila adalah philosofische grondslag,
fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang
sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang
abadi.
Sebagai insinyur, Bung Karno
membuat kiasan (metafora) bahwa membangun gedung itu memerlukan fundamen yang
kokoh, mendukung seluruh bangunan, sedangkan “pilar” hanya menyangga sebagian
atap bangunan. Artinya, “fundamen” lebih mendasar dari “pilar”.
Ketiga, Dr Radjiman
Wedyodiningrat adalah Ketua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
(BPUPK), yang mengimbau agar para anggota mengemukakan gagasan mengenai “Dasar
Negara”. Dalam Kata Pengantar buku Lahirnya Pancasila terbitan 1 Juli
1947, menyatakan Pancasila adalah Dasar (Beginsel)
Negara. Radjiman menafsirkan bahwa Pancasila adalah suatu demokratisch beginsel, suatu Rechts-ideologie
(Cita Hukum ) dari negara kita.
Keempat, dalam bahasa
Belanda, “grondslag” padanannya
adalah “beginsel” artinya “asas”,
“dasar”, atau principle
(Inggris).
Tentang Grundnorm
dan Staatsfundamentalnorm
Bulan Juni 2011, Prof Mahfud
MD, di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia menyatakan, staatsfundamentalnorm lebih tinggi
daripada grundnorm. Sebab, staatfundamentalnorm berupa ide tentang
hukum, sedangkan grundnorm sudah
merupakan norma yang tertinggi, yakni UUD. Kemudian, pada Februari 2012,
di Metro TV, Prof Mahfud membenarkan pendapat Wakil Ketua MPR, Lukman
Hakim Saefudin, bahwa UUD adalah grundnorm.
Almarhum Taufiq Kiemas
berjasa membangkitkan minat kita mempelajari Pancasila dan UUD 1945. Demikian
pula Prof Mahfud adalah “pakarnya-pakar” Hukum Tata Negara. Bagaimanapun,
sebaiknya kita menyertakan rujukan untuk mendukung pendapat tentang grundnorm dan staatsfundamentalnorm. Lalu, demi pengamalan Hukum Tata Negara,
sebaiknya rumusan di Pasal 34 Ayat (a) UU Nomor 8 Tahun 2011
ditinjau kembali.
Referensi tentang
“grundnorm” dan “staatsfundamentalnorm”
bisa disimak dari yang diajarkan Prof Djokosutono di Fakultas Hukum
Universitas Indonesia sejak tahun 1956. Prof Djokosutono ketika itu juga
mengingatkan agar para anggota Konstituante dan opinion leaders yang akan menyusun UUD yang baru memahami
teori Konstitusi dan perbedaan paham di antara tokoh-tokohnya.
Kuliah Prof Djokosutono
terutama membahas debat antara Carl Schmitt, Hermann Heller, dan Hans
Kelsen. Juga mengemukakan pendapat Von Savigny, Rudolf Smend, Paul Laband,
George Jellinek, dan Adolf Merkel. Beliau tidak menyebut nama Hans
Nawiasky maupun istilah staatsfundamentalnorm.
Buku yang mengemukakan debat
tentang grundnorm, antara lain
buku karangan David Dyzenhaus, 2003; Peter Caldwell, 1997; Artur Jacobson, dan
Bernard Schlink, 2000; dan Carl Frederich, semuanya menyatakan bahwa grundnorm adalah norma tertinggi. Juga Stufenbau der Rechtsordnung menyatakan
bahwa grundnorm di atas grundgesetz. Dua-duanya memakai kata “grund” (dasar).
Kemudian, istilah staatsfundamentalnorm dipakai Prof Notonagoro
sejak tahun 1953, tetapi beliau tidak menyebut asalnya dari Hans Nawiasky. Tahun
1990 dalam disertasinya, Prof Attamimi menyatakan Hans
Nawiasky adalah tokoh yang pertama kali memakai istilah tersebut. Penulis
berpendapat pengetahuan kita mengenai teori Hans Kelsen dan Hans Nawiasky perlu
didalami lagi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar