Kamis, 27 Juni 2013

KARLINA SUPELLI Di Batas Cakrawala

KARLINA SUPELLI
Di Batas Cakrawala
Maria Hartiningsih dan Ilham Khoiri ;  Wartawan Kompas
KOMPAS, 27 Juni 2013


“Teori-teori kosmologi membawa kita ke batas, ke suatu tepi cakrawala. Di batas paling jauh dari yang kita bisa raih, di tempat hal-hal tidak bisa diselesaikan lagi dengan berpikir, di situlah ada tahap iman.”   Karlina Supelli

Tak banyak orang berkesempatan menjalani hidup seperti Karlina Supelli (55). Ia harus meninggalkan seluruh cita-citanya ketika keberhasilan tinggal selangkah. Di tengah kesendirian ia kehilangan kakak yang amat dicintainya. Belum selesai masa berkabung, enam bulan kemudian Karlina didiagnosis dokter terkena kanker. Dari suatu kematian yang riil, ia menghadapi risiko lain yang berujung sama.

Penderitaan bertubi-tubi itu tak membuat Karlina luruh. Bekal ilmiahnya membantu untuk bangkit. ”Nalar berpikir menuntun saya memilah mana yang harus diselesaikan secara teknis, mana yang perlu dipikirkan mendalam, dan mana yang memerlukan rasa perasaan,” kata Karlina.

Namun, ketika nalar berpikir tak mampu lagi menjangkau, hanya iman yang bisa menuntun. Iman pula yang membuatnya berserah. Seperti pasienpasien kanker lainnya, kemoterapi merontokkan fungsi pertahanan tubuhnya. Ia tidak boleh bertemu banyak orang karena kondisinya amat rentan. Rambutnya yang tebal mengurai berguguran. Ia sangat lemah. Hanya otaknya yang bergerak bebas, berkelana ke ranah-ranah yang jauh. Dalam kesakitan yang panjang ia bangkit menyelesaikan pikiran utama dalam buku Dari Kosmologi ke Dialog, Mengenal Batas Pengetahuan, Menentang Fanatisme (Desember 2011).

”Belajar kosmologi membuat saya sampai pada kesimpulan bahwa hidup terlalu berharga untuk tidak diperjuangkan,” kata Karlina.

Menjalani hidup

Sosok Karlina yang kami temui suatu siang, pekan lalu, penuh daya hidup. Wajahnya bersinar dan terlihat segar berbalut batik lereng biru dengan sepatu terbuka bertali merah-hitam. ”Sepatu saya sudah ketularan para romo di sini, ha-ha-ha,” ujarnya.

Rambut yang sudah kembali tumbuh dipotong pendek yang mengingatkan sosoknya ketika usia 40 tahun.
Di kamar kerjanya, di gedung Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, buku-bukunya memenuhi rak dinding sampai ke langit-langit. Ruang berukuran 3 x 3,3 meter persegi itu memang hanya berisi seperangkat meja kerja dan tempat tidur lipat kecil, tempat ia mengistirahatkan badan jika jalan pulang tertutup banjir. Sudut ruangan berhias beberapa foto Alexander Supelli, kakak tercintanya, yang meninggal tiga hari setelah pesawat Super Decathlon buatan PT Dirgantara Indonesia yang dipilotinya jatuh terbakar pada Bandung Air Show, 24 September 2010. Selebihnya adalah buku, buku, dan buku, termasuk yang bertumpuk menutup lantai.

Ketika jam makan siang, Karlina mengajak turun dari kantornya di lantai empat, berjalan melintasi lapangan basket menuju ruang makan. Menu para dosen siang itu adalah sayur asem, tongkol goreng, dan ikan asin. ”Wah, sebagai orang Sunda menu ini enggak boleh dilewatkan. Enggak apa-apa, deh, sekali-sekali makan ikan asin,” katanya sambil bolak-balik mencomot ikan asin.

Ditemani Kepala Pascasarjana STF Driyarkara J Sudarminta, Karlina makan dengan lahap. Inilah keseharian yang ia jalani selama 13 tahun terakhir. ”Sebenarnya masih ada beberapa kegiatan lain seperti menjadi dewan penasihat Suara Ibu Peduli dan anggota komisi pendidikan beberapa sekolah. Namun, kegiatan utama saya adalah mengajar dan penelitian,” katanya.

Tahun 1998, ketika mahasiswa dan kelompok lain belum bergerak, di Bundaran Hotel Indonesia, para ibu yang bergabung dalam Suara Ibu Peduli memprotes harga susu yang meroket akibat krisis moneter. Karlina bersama Gadis Arivia dan Wilarsih diinterograsi pihak keamanan selama 23 jam. Namun, langkah Suara Ibu Peduli telah mengawali gelombang reformasi yang berpuncak pada jatuhnya Presiden Soeharto.

”Saya terus digugat pertanyaan apakah akan terus enak-enakan berpikir tentang teori, menikmati kosmologi yang sunyi, sementara kesulitan hidup meruyak di sekitar saya,” ujarnya. Ia memutuskan memindahkan risetnya dari langit menjadi karya nyata untuk manusia.

Perjalanan hidupnya mengalami perubahan dramatis pada masa reformasi. Ia bergabung dalam suatu jaringan yang tanpa sengaja masuk dalam kehidupannya ketika kuliah filsafat di Universitas Indonesia, melalui Jurnal Perempuan. Ia memasuki dunia aktivisme yang penuh dinamika.

Namun, setelah reformasi usai, ia kembali ke dunia sunyi. ”Pada dasarnya memang saya tidak terlalu suka keramaian. Dunia saya adalah dunia penelitian. Saya masih membantu temanteman aktivis, tetapi dari sisi penguatan konseptualnya.”

Pergulatan kini

Karlina—lahir di Jakarta, 15 Januari 1958—lulus dengan predikat cum laude sebagai sarjana bidang astronomi di Institut Teknologi Bandung. Sempat ke Inggris untuk mewujudkan cita-citanya menjadi ilmuwan kosmologi, jalan hidupnya berubah total ketika harus kembali ke Indonesia sebelum waktunya. Ia sempat merasa buntu, tetapi kemudian sadar bahwa dalam hidup tidak semua pintu tertutup dan tidak semua jendela terbuka. ”Selalu ada jalan, asal mau melangkah,” kata Karlina.

Suatu kebetulan yang tidak kebetulan terjadi ketika Karlina menggantikan temannya duduk di kelas filsafat di UI dan mendengarkan Toeti Heraty, budayawan dan guru besar filsafat, mengajar. Ia seperti menemukan apa yang sedang dicarinya. Babak baru kehidupan intelektualnya dimulai dengan mendaftar dan akhirnya berhasil menyelesaikan program doktor filsafat dengan disertasi ”Wajah-Wajah Alam Semesta, Suatu Kosmologi Empiris Konstruktif". Itulah dunianya sejak 1994 setelah 15 tahun sebelumnya mendalami bidang kosmologi dan riset.

Di tengah kesibukannya mengajar, mata dan hatinya terus terjaga. Ia mengamati dengan penuh keprihatinan kondisi cuaca kultural yang semakin dangkal, antara lain terlihat dari budaya komentar di media elektronik, media sosial, yang serba pendek. Orang bangga jika akun Twitter-nya punya banyak pengikut (follower) atau akun Facebooknya punya banyak teman. Dan lewat komentar singkat orang merasa sudah bekerja.

Akibatnya, sikap pragmatis jangka pendek menjadi panglima. Hasil akhir menegasikan proses. Jadilah negara pasar, tempat semua produk dijual dan masyarakat yang tergoda, selalu ingin membeli yang terbaru. Ini saling kait dan berkelindan dengan kehidupan politik, sosial, bahkan spiritual, sehingga pendidikan hanya menghasilkan generasi serba konsumtif dan menggampangkan.

”Tugas perguruan tinggi adalah menghasilkan lulusan yang mau berpikir. Di situ tempat dan tugas saya sekarang,” katanya.


Ia kembali menapaki jalan sunyi. Mengutip Robert Frost, the road less traveled…. ●

3 komentar: