|
KOMPAS,
26 Juni 2013
Selain
meningkatkan kualitas teknik, digitalisasi televisi seharusnya juga membuka
kesempatan kepada banyak pihak menjadi pemain di industri televisi.
Ini
berarti sekaligus memecah konsentrasi kepemilikan. Sebab, dalam sistem analog,
yang satu frekuensi hanya bisa dilalui satu program/lembaga penyiaran,
sementara dengan digital bisa menjadi banyak. Namun, Peraturan Menkominfo Nomor
22 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrail (Permen 22)
justru melanggengkan konsentrasi yang ada: menghilangkan peranan Komisi
Penyiaran Indonesia, menjadikan pemerintah sebagai penguasa tunggal.
Mahkamah
Agung pada 3 April 2013 membatalkan Permen No 22 dengan mengabulkan gugatan
Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) dan Asosiasi Televisi Jaringan
Indonesia (ATVJI). Namun, tampaknya pemerintah bersikeras menjalankan
digitalisasi berdasarkan permen dan tak akan membatalkan keputusan yang telah
dilakukan. Menkominfo pada pertengahan Mei lalu, bahkan mengatakan ”lebay” bila
dianggap melawan MA.
Permen
dan gugatan
Dalam
teknologi digital (DVB-T2), satu kanal frekuensi akan dapat menampung sekitar
12 program siaran televisi sekaligus, sementara dalam sistem analog hanya satu.
Berdasarkan rencana pemerintah, kanal frekuensi yang dipergunakan adalah band
IV dan V UHF, yaitu kanal 28 sampai 45 (18 kanal). Namun, yang dipergunakan
adalah 6 kanal, sementara 12 kanal digunakan di wilayah sekitarnya. Itu
memperlihatkan bahwa frekuensi tetap terbatas. Jadi, harus dimanfaatkan secara
adil dan baik untuk kepentingan masyarakat.
Permen
No 22 ini membagi dua lembaga penyiaran, yaitu Lembaga Penyiaran Penyelenggara
Program Siaran (LPPPS) dan Lembaga Penyiaran Penyelenggara Penyiaran
Multipleksing (LPPPM) yang menyalurkan program siaran. Bentuk ini tidak
terdapat dalam UU Penyiaran. Lebih jauh lagi, untuk bisa jadi LPPPM harus punya
izin penggunaan spektrum frekuensi radio, dan sebelumnya sudah mempunyai izin
penyelenggaraan penyiaran (IPP). Itu adalah lembaga penyiaran yang kini eksis.
LPPPM
dapat melayani tidak hanya satu zona, tetapi juga pada lainnya. Terdapat
sekitar 15 zona di seluruh Indonesia. Pada tiap zona ada enam kanal yang secara
teknis bisa menyalurkan 6 kali 12, yaitu 72 LPPPS. Artinya, secara teoretis
bisa terdapat lebih dari 1.000 LPPPS di Indonesia. Masing-masing zona melayani
beberapa wilayah yang di seluruh Indonesia berkisar sekitar 216 wilayah.
Menyedihkan, Lembaga Penyiaran Publik TVRI diperkenankan menjadi LPPPM hanya
pada satu kanal dari enam kanal yang disediakan, sementara lima kanal lain
diberikan kepada pihak swasta.
Gugatan
terhadap Permen No 22 ini sebenarnya telah dilakukan oleh banyak pihak, antara
lain oleh DPR yang meminta agar permen dibatalkan. Pengaturan digitalisasi
harus berdasarkan UU Penyiaran baru yang sedang dibahas. Permen No 22 dinilai
melanggengkan pemusatan kepemilikan/konsentrasi dan oligarki dalam industri
penyiaran.
ATVJI
dalam gugatannya melalui MA, antara lain, mengatakan, Permen No 22 bertentangan
dengan jiwa UU Penyiaran karena tidak ada jaminan bagi lembaga penyiaran swasta
(LPS) yang sudah memiliki IPP dapat melakukan kegiatan penyiaran. Penerapan
analog switch off bertentangan dengan UU karena tidak diatur pada UU Penyiaran.
Keberadaan LPS dalam Permen No 22 yang dipisahkan jadi LPPPS dan LPPPM
bertentangan dengan LPS dalam konsep UU Penyiaran. KPI dicabut peranannya.
Sementara itu, ATVLI menegaskan bahwa permen ini tidak melibatkan KPI. Ini
berarti melanggar UU Penyiaran dan PP No 50/2005 tentang Penyelenggaraan
Penyiaran Swasta yang peranan KPI diatur dan diakui.
Dalam
petitumnya ATVJI meminta MA menyatakan Permen No 22 bertentangan dengan UU
Penyiaran, tidak berlaku dan dinyatakan batal. Sementara ATVLI meminta MA
menyatakan Permen No 22 bertentangan dengan PP No 50/2005 dan tak sah. MA dalam
putusannya mengabulkan kedua permohonan ini.
Konsentrasi
Menarik
melihat apa yang dilakukan pemerintah dengan Permen No 22 dalam menentukan
pemenang seleksi LPPPM. Pada 30 Juli 2012, pemerintah mengumumkan hasil seleksi
Zona 4 (DKI Jakarta dan Banten), Zona 5 (Jawa Barat), Zona 6 (Jawa Tengah),
Zona 7 (Jawa Timur), dan Zona 15 (Kepulauan Riau). Pemenangnya adalah para
penguasa TV nasional, yaitu kelompok RCTI/Grup MNC, TV One/ANTV, SCTV/Indosiar,
Trans TV, dan Metro TV. Hanya PT Banten Sinar Dunia Televisi yang ikut menang
di daerah Zona 4. Keputusan ini kontroversial karena diduga ada tekanan agar
kelompok tertentu dikalahkan.
Uniknya,
pasca-keputusan MA, pada 26 April 2013 pemerintah mengumumkan pemenang Zona 1
(Aceh dan Sumatera Utara) dan Zona 14 (Kalimantan Timur dan Selatan).
Pemenangnya juga lima kelompok besar tadi. Dengan demikian, secara kasatmata
digitalisasi penyiaran versi permen justru melanggengkan konsentrasi, bahkan
terhadap infrastruktur komunikasi dalam bentuk LPPPM.
Kini,
sebaiknya semua pihak menyadari bahwa digitalisasi harus dilakukan berdasarkan
UU Penyiaran yang menjamin keanekaragaman kepemilikan dan isi sebagaimana
terjadi di negara demokrasi lain. UU Penyiaran kini sedang intensif dibahas di
DPR, itulah tempat memperdebatkannya. Bila pemerintah terus ”ngotot”
menjalankan proses digitalisasi berdasarkan permen, kata apa lagi yang pantas
diucapkan? Siapa yang ”lebay”? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar