Selasa, 25 Juni 2013

Mencari Air di Udara

Mencari Air di Udara
Rhenald Kasali ;   Ketua Program MM UI
JAWA POS, 25 Juni 2013 

  

TAK banyak yang menyadari bahwa bumi ini semakin padat dan terkontaminasi. Dengan 8,1 miliar penduduk, lebih dari 55 persen air yang ada di perut bumi telah menjadi rebutan. Bahkan, sekitar satu miliar manusia diperkirakan tak punya akses terhadap air. Di daerah yang banyak air sekalipun, padatnya manusia telah mengakibatkan air-air bersih terkontaminasi oleh mineral-mineral berbahaya dari tiga sumber: industri (bahan-bahan kimia berbahaya, unorganic minerals), pertanian (pestisida dan pupuk kimia), serta limbah manusia. 

Air bersih yang dulu mengalir dari pegunungan (yang sampai sekarang masih dijadikan tema iklan dalam pemasaran air-air mineral dalam kemasan), kini mulai tampak cokelat. Bahkan, di tepi kota air menghitam kental dengan berbagai jenis sampah, mulai oli bekas, tas kresek, diapers, limbah pabrik, hingga bangkai binatang. 

Air itu lalu meresap ke perut bumi, lalu disedot ke atas untuk konsumsi manusia. Pertanyaannya: Ketika alam berubah, masih layakkah mengonsumsi air dari perut bumi?

Air dari Kelembapan Udara 

Hari-hari ini di Rumah Perubahan kami sedang membangun Rumah Tempe sumbangan Bank BJB dengan teknologi yang dikembangkan dari Mercy Corps. Produksinya dibuat higienis sehingga kelak bisa dipakai untuk melatih produsen tempe rumahan dalam melakukan transformasi. 

Dewasa ini diperkirakan ada 150.000 hingga 200.000 perajin tahu dan tempe rumahan di seluruh Indonesia. Bayangkan kalau kelak air bersih sulit didapat, bagaimana masa depan mereka? Padahal, masyarakatnya akan terus naik kelas dan menuntut kebersihan. Ada yang bilang, biarkan saja. Sebab, yang membuat rasa tempe menjadi enak itu karena kedelainya diinjak-injak dan menetes keringat pekerjanya. Tentu saja ini tak sepenuhnya benar. Masyarakat berubah, produsennya pun harus beradaptasi. 

Semula saya sendiri bingung bagaimana kami mendapatkan airnya. Maklum, mengolah satu kilogram kedelai menjadi tempe membutuhkan sekitar 15-20 liter air untuk mencuci, merebus, dan merendamnya. Tetapi, syukurlah, Rumah Perubahan baru saja mendapatkan sumbangan dari seorang penemu (inventor) Indonesia berupa mesin penangkap air dari udara. 

Alat pembuat air ini bagi saya merupakan bagian dari transformasi yang juga akan mengubah banyak hal. Mencari air ke bawah bakal berubah ke atas, yang jauh lebih mudah, lebih sehat, tetap kaya oksigen, lebih ramah lingkungan, bahkan bisa lebih hemat energi.

Misi Rumah Perubahan sendiri adalah menjadi role model social enterprise yang mengedepankan pentingnya transformasi. Sedangkan tahu dan tempe adalah industri rumahan rakyat yang sangat terkena dampak dari berbagai perubahan yang terjadi belakangan ini. Bayangkan saja, ketika energi berbasiskan fosil semakin langka, bahan kedelai pun semakin mahal. Sebab, di Barat, kedelai telah dikonversi sebagai pengganti energi.

Selain harga bahan kedelai, perajin mulai mengeluhkan kualitas air. Sumur-sumur di dekat sungai mulai terkontaminasi. Letaknya semakin dekat dengan septic-tank yang dibuat rumah-rumah kontrakan. Perubahan iklim dan ledakan penduduk berdampak buruk terhadap kualitas pangan Indonesia. 

Budhi Haryanto, penemu alat penangkap air dari kelembapan udara itu, membantu saya menginstal mesin buatannya. Indonesia adalah negeri yang kadar humidity (kelembapan udaranya) tinggi. Teknologi yang dia kembangkan bahkan bisa mendapat empat hal sekaligus: air embun yang tak terkontaminasi, udara bersih dan dingin semacam pengganti AC, dryer untuk mengeringkan pakaian, dan air panas untuk mandi. Semua itu bisa didapat dari satu sistem dengan listrik satu kali yang jauh lebih hemat. 

Minggu lalu saya menerima kabar, The University of Engineering and Technology (UTEC) di Peru mulai mengembangkan teknologi serupa untuk menolong penduduk yang tinggal di gurun-gurun di sekitar Lima yang tandus. Dengan sebuah billboard iklan, mereka mengubah gaya hidup sekaligus mendapatkan air untuk sekitar 100 rumah tangga. Dalam tempo tiga bulan mereka bisa menghasilkan 9.450 liter.

Kabar ini segera disebarluaskan di kampus terkemuka, MIT di Boston. Ketika mereka baru memikirkannya pada 2013, penemu Indonesia sudah lebih dulu 12 tahun. Kini Budhi pada tahap komersialisasi yang akan mengubah banyak hal. Dia juga sudah mendapatkan hak paten di sini dan sejumlah negara. Bahkan, pada 2005, teknologi Systemized Dew Process (SDP) yang dia kembangkan meraih the Innovation Award dalam AHR Expo di Orlando, Florida, Amerika Serikat.

Saya yakin air dan udara bersih yang tak terkontaminasi akan menjadi kebutuhan yang tak bisa ditawar-tawar. Sehat itu sebuah kebutuhan. Kelak, daerah-daerah tandus akan subur kembali, dan rumah tangga akan kembali membuat air minum sendiri. Bukan dari tanah, melainkan dari udara. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar