Selasa, 18 Juni 2013

Tasrifin dan Belenggu Kemiskinan

Tasrifin dan Belenggu Kemiskinan
Wisnu AJ ;   Sekretaris Forum Komunikasi Anak Daerah (Fokad) Tanjungbalai, Sekretaris Lembaga Pemantau Penyelenggara Pemerintahan NKRI Kota Tanjungbalai
SUARA KARYA, 17 Juni 2013


Kisah Tasrifin bocah berusia dua belas tahun putra dari Sartijo penduduk Dusun Persawahan Desa Gunung Lurah Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas Provinsi Jawa Tengah yang mempunyai tiga orang adik, tiba tiba saja menjadi pembicaraan rakyat Indonesia, Mulai dari para pejabat, sampai kepada buruh. Mulai dari lobi hotel berbintang, sampai warung kopi, setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengirim staf khusus kepresidenan untuk menyampaikan bantuan Presiden kepada Tasrifin.

Sejak itu Tasrifin menjadi terkenal. Iapun diburu oleh berbagai media baik cetak maupun elektronik dan online. Tasfirin pun berobah layaknya salebritis dan politikus yang sering menjadi buruan media.

Kehidupan yang dihadapi oleh Tasrifin dengan tiga orang adiknya yang tertua berusia sembilan tahun dan kedua delapan tahun serta ketiga enam tahun. Merek telah lama ditinggal ibunya yang meninggal dunia akibat tertimbun longsor sewaktu bekerja sebagai penambang pasir, dan ayahnya karena ketiadaan dana untuk modal berusaha kemudian hijrah merantau ke Kalimantan. Sehingga, Tasfirin mengambil alih tugas orang tuanya untuk menjaga dan memberi makan sang adik. Akibatnya Tasrifin harus meninggalkan bangku sekolah alias putus sekolah. Kejadian seperti ini, bahkan lebih parah lagi menjadi kisah hidup biasa dialami banyak anak di negeri ini.

Jika kita merasa sedih terhadap kisah perjalanan hidup Tasrifin, lalu kenapa kita tidak sedih atas perjalanan hidup anak anak nelayan yang berada di pesisir pantai Selat Malaka. Mereka juga mengalami nasib yang sama dengan apa yang dialami oleh Tasfirin. Dalam usia yang sama dengan Tasrifin anak anak nelayan ini sudah bekerja sebagai nelayan, mengharungi lautan berhadapan dengan ombak dan badai yang ganas. Mereka juga putus sekolah. Katakanlah mereka mempunyai orang tua, tapi karena serba kekurangan mereka harus meninggalkan bangku sekolah karena keadaan yang tidak mencukupi didalam lingkungan keluarganya. Mereka rela berhujan dan berpanas serta berembun ditengah lautan untuk membantu penghasilan keluarga.

Jika kita membaca kehidupan manusia Pincalang (Perahu) di Provinsi Riau tentu kita akan lebih terenyuh lagi. Mereka itu hidup didalam pincalang ditengah lautan. Ancaman demi ancaman yang sering datang mendera tanpa mereka ketahui entah kapan berakhir. Berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun secara turun temurun mereka menjadi manusia pincalang. Anak-anak mereka tidak mengenal sama sekali nikmatnya duduk dibangku sekolah. Setiap saat mereka harus siap untuk bertarung dengan ancaman ombak dan badai yang tiada terdeteksi datangnya. Belum lagi ancaman yang datang dari para lanun-lanun laut yang siapa merampok, memperkosa dan membunuh. Namun, mereka tetap tabah tetpi mereka tidak pernah sedikitpun menjadi perhatian.

Manusia pincalang itu jauh dari pandangan mata kita. Mereka hidup berkelompok diatas pincalang ditengah laut atau dibalik pulau di tengah samudera luas.

Mereka adalah anak-anak yang kehilangan masa depannya, menjadi pengemis dan gelandangan dam setiap hari mereka berada di lampu merah. Untuk memperjuangkan hidupnya mereka rela berpanas disiang hari dan berembun pada malam hari.

Tidur mereka juga diemperan toko, gedung bertingkat, dan tidak sedikit pula diantara mereka yang harus tidur dikolong jembatan, karena mereka tidak punya rumah untuk tempat tinggal. Terkadang mereka tinggal dengan adik-adiknya di emperan toko, gedung bertingkat dan dibawah kolong jembatan. Hanya beralaskan koran atau kardus. Untuk memenuhi perut sejengkal mereka terkadang tidak merasa malu jika harus mengorek-ngorek tong sampah untuk mencari sisa makanan yang dibuang oleh orang kaya yang bersipat kapitalis dan borjuis.

Dibanding dengan kehidupan Tasrifin yang masih punya rumah tempat berteduh, dan masih bisa tidur lelap walaupun diatas dipan reot. Jika Tasfirin hidup ditengah masyarakat yang peduli dengan keselamatan. Mereka beda dengan para pengemis dan gelandangan yang harus tidur diemperan toko dan gedung bertingkat atau dibawah kolong jembatan yang keselamatannya juga terancam. Kalau yang gelandangan itu anak perempuan ancaman pemerkosaan dan pelecehan sek setiap saat mengancam dirinya. Jika ia seorang laki-laki, maka ancaman sodomi yang sering didengar menjadi ancaman bagi dirinya.

Kenapa seperti tidak ada kepedulian terhadap mereka. SBY seakan lupa memperhatikan nasib mereka ini. Pada hal kisah perjalanan hidup mereka untuk mempertahankan hidup lebih tragis lagi. Kita tidak apriori terhadap perhatian Presiden SBY kepada Tasrifin. Tapi kita perlu juga menggugat, atas kealfaan Presiden SBY terhadap nasib anak-anak gelandangan dan pengemis yang hidupnya lebih tragis dari Tasrifin. Apakah karena Tasfirin yang dibantu oleh Presiden SBY adalah Tasrifin yang hidup di Pulau Jawa, lantas mengabaikan nasip para Tasrifin yang ada didaerah luar jawa.

Jika seperti ini kebenarannya, pastaslah apa yang dikatakan oleh orang Sumatera bahwa pemimpin yang berasal dari daerah Pulau Jawa mempunyai ismesentris yang tinggi terhadap suku di luar pulau Jawa. Pada hal sebagai seorang pemimpin haruslah menanggalkan ismesentrisnya dan harus menganggap bahwa siapapun dia, berasal dari suku manapun dia tapi tetap sebagai Bangsa Indonesia.
Mari kita buka mata kita, kita pandang Tasfirin Tasrifin yang lain, yang begitu banyak tersebar di Nusantara, tapi luput dari pandangan kita.


Kita menjadi eforia terhadap kisah Tasrifin dalam menjalani kehidupannya. Masih banyak Tasrifin lain tersebar di Nusantara menghadapi persoalan hidup lebih parah dan lebih duka. Mereka mengharapkan perhatian pemerintah, dan Presiden SBY secara Pribadi. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar