|
SUARA
KARYA, 17 Juni 2013
Kisah Tasrifin bocah berusia dua
belas tahun putra dari Sartijo penduduk Dusun Persawahan Desa Gunung Lurah
Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas Provinsi Jawa Tengah yang mempunyai tiga
orang adik, tiba tiba saja menjadi pembicaraan rakyat Indonesia, Mulai dari
para pejabat, sampai kepada buruh. Mulai dari lobi hotel berbintang, sampai
warung kopi, setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengirim staf khusus
kepresidenan untuk menyampaikan bantuan Presiden kepada Tasrifin.
Sejak itu Tasrifin menjadi
terkenal. Iapun diburu oleh berbagai media baik cetak maupun elektronik dan
online. Tasfirin pun berobah layaknya salebritis dan politikus yang sering
menjadi buruan media.
Kehidupan yang dihadapi oleh
Tasrifin dengan tiga orang adiknya yang tertua berusia sembilan tahun dan kedua
delapan tahun serta ketiga enam tahun. Merek telah lama ditinggal ibunya yang
meninggal dunia akibat tertimbun longsor sewaktu bekerja sebagai penambang
pasir, dan ayahnya karena ketiadaan dana untuk modal berusaha kemudian hijrah
merantau ke Kalimantan. Sehingga, Tasfirin mengambil alih tugas orang tuanya
untuk menjaga dan memberi makan sang adik. Akibatnya Tasrifin harus
meninggalkan bangku sekolah alias putus sekolah. Kejadian seperti ini, bahkan
lebih parah lagi menjadi kisah hidup biasa dialami banyak anak di negeri ini.
Jika kita merasa sedih terhadap
kisah perjalanan hidup Tasrifin, lalu kenapa kita tidak sedih atas perjalanan
hidup anak anak nelayan yang berada di pesisir pantai Selat Malaka. Mereka juga
mengalami nasib yang sama dengan apa yang dialami oleh Tasfirin. Dalam usia
yang sama dengan Tasrifin anak anak nelayan ini sudah bekerja sebagai nelayan,
mengharungi lautan berhadapan dengan ombak dan badai yang ganas. Mereka juga
putus sekolah. Katakanlah mereka mempunyai orang tua, tapi karena serba
kekurangan mereka harus meninggalkan bangku sekolah karena keadaan yang tidak
mencukupi didalam lingkungan keluarganya. Mereka rela berhujan dan berpanas
serta berembun ditengah lautan untuk membantu penghasilan keluarga.
Jika kita membaca kehidupan
manusia Pincalang (Perahu) di Provinsi Riau tentu kita akan lebih terenyuh
lagi. Mereka itu hidup didalam pincalang ditengah lautan. Ancaman demi ancaman
yang sering datang mendera tanpa mereka ketahui entah kapan berakhir.
Berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun secara turun temurun mereka menjadi
manusia pincalang. Anak-anak mereka tidak mengenal sama sekali nikmatnya duduk
dibangku sekolah. Setiap saat mereka harus siap untuk bertarung dengan ancaman
ombak dan badai yang tiada terdeteksi datangnya. Belum lagi ancaman yang datang
dari para lanun-lanun laut yang siapa merampok, memperkosa dan membunuh. Namun,
mereka tetap tabah tetpi mereka tidak pernah sedikitpun menjadi perhatian.
Manusia pincalang itu jauh dari pandangan
mata kita. Mereka hidup berkelompok diatas pincalang ditengah laut atau dibalik
pulau di tengah samudera luas.
Mereka adalah anak-anak yang
kehilangan masa depannya, menjadi pengemis dan gelandangan dam setiap hari
mereka berada di lampu merah. Untuk memperjuangkan hidupnya mereka rela
berpanas disiang hari dan berembun pada malam hari.
Tidur mereka juga diemperan toko,
gedung bertingkat, dan tidak sedikit pula diantara mereka yang harus tidur
dikolong jembatan, karena mereka tidak punya rumah untuk tempat tinggal.
Terkadang mereka tinggal dengan adik-adiknya di emperan toko, gedung bertingkat
dan dibawah kolong jembatan. Hanya beralaskan koran atau kardus. Untuk memenuhi
perut sejengkal mereka terkadang tidak merasa malu jika harus mengorek-ngorek
tong sampah untuk mencari sisa makanan yang dibuang oleh orang kaya yang
bersipat kapitalis dan borjuis.
Dibanding dengan kehidupan
Tasrifin yang masih punya rumah tempat berteduh, dan masih bisa tidur lelap
walaupun diatas dipan reot. Jika Tasfirin hidup ditengah masyarakat yang peduli
dengan keselamatan. Mereka beda dengan para pengemis dan gelandangan yang harus
tidur diemperan toko dan gedung bertingkat atau dibawah kolong jembatan yang
keselamatannya juga terancam. Kalau yang gelandangan itu anak perempuan ancaman
pemerkosaan dan pelecehan sek setiap saat mengancam dirinya. Jika ia seorang
laki-laki, maka ancaman sodomi yang sering didengar menjadi ancaman bagi
dirinya.
Kenapa seperti tidak ada
kepedulian terhadap mereka. SBY seakan lupa memperhatikan nasib mereka ini.
Pada hal kisah perjalanan hidup mereka untuk mempertahankan hidup lebih tragis
lagi. Kita tidak apriori terhadap perhatian Presiden SBY kepada Tasrifin. Tapi
kita perlu juga menggugat, atas kealfaan Presiden SBY terhadap nasib anak-anak
gelandangan dan pengemis yang hidupnya lebih tragis dari Tasrifin. Apakah
karena Tasfirin yang dibantu oleh Presiden SBY adalah Tasrifin yang hidup di
Pulau Jawa, lantas mengabaikan nasip para Tasrifin yang ada didaerah luar jawa.
Jika seperti ini kebenarannya,
pastaslah apa yang dikatakan oleh orang Sumatera bahwa pemimpin yang berasal
dari daerah Pulau Jawa mempunyai ismesentris yang tinggi terhadap suku di luar
pulau Jawa. Pada hal sebagai seorang pemimpin haruslah menanggalkan
ismesentrisnya dan harus menganggap bahwa siapapun dia, berasal dari suku
manapun dia tapi tetap sebagai Bangsa Indonesia.
Mari kita buka mata kita, kita
pandang Tasfirin Tasrifin yang lain, yang begitu banyak tersebar di Nusantara,
tapi luput dari pandangan kita.
Kita menjadi eforia terhadap kisah
Tasrifin dalam menjalani kehidupannya. Masih banyak Tasrifin lain tersebar di
Nusantara menghadapi persoalan hidup lebih parah dan lebih duka. Mereka
mengharapkan perhatian pemerintah, dan Presiden SBY secara Pribadi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar