Senin, 24 Juni 2013

Salah Paham BLSM

Salah Paham BLSM
Sapto Waluyo ;   Direktur Eksekutif Center for Indonesian Reform
DETIKNEWS, 24 Juni 2013 


Bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) akhirnya diluncurkan bersamaan dengan pengumuman pemerintah tentang pengurangan subsidi BBM. Banyak orang salah paham, terutama kaum politisi, yang menyebut bantuan tersebut sebagai politik uang (money politic) menjelang Pemilihan Umum 2014.

Mungkin waktu peluncuran bantuan dipandang tidak tepat, mendekati tahun pergantian rezim, sebagaimana kritik atas kebijakan penaikan harga BBM yang dilakukan menjelang bulan Ramadhan (ketika konsumsi publik meningkat) dan tahun ajaran baru (saat pengeluaran keluarga tercurah untuk pendidikan anak). Namun, ketidaktepatan waktu bukan alasan untuk menafikan urgensi kebijakan pengurangan subsidi barang yang boros dan pemihakan kepada kesejahteraan rakyat.

Di tengah riuhnya kontraversi BBM dan BLSM, kebanyakan orang lupa bahwa pemeliharaan dan peningkatan kesejahteraan rakyat merupakan kewajiban Pemerintah sesuai dengan Undang-undang nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. BLSM adalah hak masyarakat, bukan kebaikan hati atau sogokan politik, tapi tanggung-jawab Pemerintah (pasal 4). Kewajiban pemerintah untuk melakukan Catur Program Kesejahteraan Sosial, yakni rehabilitasi, pemberdayaan, perlindungan dan jaminan sosial (pasal 6).

Dalam pasal 14 ayat 1 ditegaskan: “Perlindungan Sosial dimaksudkan untuk mencegah dan menangani risiko dari guncangan dan kerentanan sosial seseorang, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat agar kelangsungan hidupnya dapat dipenuhi sesuai dengan kebutuhan dasar minimal.”

Guncangan yang dimaksud bisa berupa bencana alam, konflik sosial yang meluas, atau kebijakan Pemerintah yang berdampak menyeluruh. Kita sering menyaksikan bencana besar seperti tsunami di Aceh (2004), gempa bumi di Sumatera Barat (2009) atau erupsi Merapi di Yogyakarta dan Jawa Tengah (2010) yang menyebabkan korban jiwa dan kerugian besar, sekaligus menurunkan kualitas hidup warga. Selain itu, ada pula konflik komunal di Maluku dan Maluku Utara (1999), Poso (2000) atau Sampit (2001), yang dampaknya masih dirasakan hingga sekarang.

Tak ketinggalan, bila ada kebijakan Pemerintah yang berdampak menyeluruh, semisal pengurangan subsidi, maka wajib dilakukan perlindungan sosial, terutama bagi warga yang sangat miskin dan kelompok rentan. Kenaikan harga BBM memicu inflasi harga barang dan jasa, serta pada gilirannya memukul daya beli masyarakat. Apabila Pemerintah tidak melakukan tindakan apapun pasca penaikan harga BBM, maka justru masyarakat bisa menggugat (class action atau legal standing) untuk menuntut haknya.

Revolusi Pembangunan

Sebenarnya, bukan hanya kebijakan Pemerintah yang berdampak menyeluruh, tapi juga guncangan ekonomi seperti resesi ekonomi global yang menurunkan produktivitas nasional dan selanjutnya mengakibatkan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal, maka Pemerintah wajib melakukan perlindungan sosial bagi warga paling rentan. Politisi yang hanya pandai mengutak-atik postur APBN atau APBD, namun gagal mengukur dampak kebijakan atau tekanan ekonomi global/nasional terhadap kelompok marjinal, sungguh tak berhati-nurani.

Lalu, mengapa bantuan diberikan dalam bentuk dana tunai (cash transfer) dan bersifat sementara (temporary)? Bantuan langsung tunai (BLT) itu bersifat fleksibel karena di masa darurat, masyarakat miskin paling tahu apa kebutuhan dasar yang harus dipenuhinya. 

Riset serius dari Joseph Hanlon, Armando Barrientos dan David Hulme (2010) membuktikan bahwa di negara-negara dunia bagian selatan, BLT telah meningkatkan kemampuan warga miskin untuk membeli pangan cukup dan sehat. Selain itu, kebutuhan pakaian dan keperluan sekolah anak jadi prioritas. Jika jumlah bantuan memadai dan pengaturan keuangan warga miskin makin berkualitas, maka dapat menunjang kebutuhan pendidikan dan kesehatan dasar.

Karena itulah, Barrientos dan kawan-kawan menyebut BLT sebagai “revolusi pembangunan dari Dunia Selatan”. Tatkala, warga miskin diberi kebebasan (just give money to the poor) untuk menata keuangan dan mencukupi kebutuhan dasarnya secara mandiri. 

BLT memangkas proses birokrasi bantuan yang biasanya berbelit-belit, sehingga tidak sedikit warga miskin yang mengalami kelaparan akut atau menemui kematian sebelum menerima bantuan reguler. Dampak guncangan atau kebijakan ekonomi bersifat segera, bahkan sebelum kebijakan ditetapkan sudah terasa efeknya, karena itu solusinya juga harus langsung dirasakan masyarakat.

Kisah sukses BLT bisa dipelajari dari Afrika Selatan, Brasil, Meksiko, India hingga Cina. Indonesia juga memiliki pengalaman berharga tentang penyaluran BLT di tahun 2005 dan 2008. Bahkan, lebih maju dan cerdas lagi, Indonesia mengembangkan BLT Bersyarat (conditional cash transfer) berujud Program Keluarga Harapan (PKH) sejak tahun 2007 hingga sekarang.

Jika ada pengamat yang menyebut BLT tidak mendidik karena bersifat konsumtif, maka kita bisa mendidik warga agar melakukan belanja cerdas (smart spending) untuk kebutuhan dasar keluarga di masa darurat, bukan beli rokok atau minuman keras, misalnya. Prasyarat semacam itu yang diberlakukan untuk peserta PKH, sehingga apabila peserta PKH tidak melaksanakan tugasnya (menjaga kesehatan dan pendidikan anak), maka bantuan dapat dikurangi atau dicabut.

Jika ada Gubernur atau Bupati menolak BLT, lalu menyarankan agar diberikan bantuan modal kerja atau program padat karya, maka program pembangunan infrastruktur pedesaan justru diarahkan untuk tujuan itu. Di samping itu, program regular Kelompok Usaha Bersama (KUBE), Usaha Ekonomi Produktif (UEP) dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri juga dapat dioptimalkan.

BLT merespon dampak yang bersifat segera dalam jangka waktu terbatas. Pada mulanya, usulan Pemerintah untuk BLSM selama 9 bulan, namun kesepakatan APBN-P akhirnya hanya 4 bulan. Dalam jangka waktu itu, masyarakat diperkirakan dapat beradaptasi dengan kondisi ekonomi baru. Untuk BLT jangka panjang sudah ada PKH yang saat ini diperluas menjangkau 2,5 juta rumah tangga sangat miskin dan berlangsung selama 6 tahun.

Akan halnya, nilai BLT yang hanya Rp 150.000 per bulan dinilai terlalu kecil, sehingga tidak mampu meringankan beban masyarakat yang terhempas inflasi. Maka, kita perlu melihat kondisi riil di lapangan. Dana Rp 150.000 bernilai sangat besar bagi warga yang berpengeluaran Rp 248.700 per kapita per bulan (garis kemiskinan di Indonesia, menurut BPS, tahun 2012). 

Masih banyak warga miskin di pedesaan yang bekerja sebagai buruh tani, malah dibayar dengan sisa panen ala kadarnya. Mereka tak punya uang tunai sepeserpun. Atau, warga miskin di perkotaan yang menjadi kuli angkut di pasar, dengan penghasilan pas-pasan. BLT akan membuat mereka bertahan hidup di masa sulit. Di samping itu, program subsidi beras miskin, jaminan kesehatan masyarakat dan beasiswa miskin semakin memperkuat stamina hidup rakyat.

Standar kemiskinan nasional memang dipandang masih terlalu rendah dan nilai BLT juga dipersepsi terlalu kecil. Standar 2012 sebenarnya lebih tinggi dibandingkan 2011 sebesar Rp 233.700 per kapita per bulan. Menurut perkiraan Bappenas, dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Pengurangan Kemiskinan Indonesia (MP3KI), garis kemiskinan itu akan dinaikkan Rp 318.000 pada tahun 2015 saat PDB per kapita USD 6.097, lalu menjadi Rp 467.000 (tahun 2020, saat pendapatan USD 10.278), hingga Rp 686.000 (2025, pendapatan USD 14.963). 

Semua prediksi itu bisa dipercepat, bila ada kesepakatan nasional untuk memperkuat dan menyehatkan alokasi APBN. Pemerintah telah berpikir jauh ke depan, tidak tutup mata dan tutup telinga. Sudah saatnya warga miskin kini sadar akan haknya dan tidak terprovokasi politisi atau pengamat tak berhati-nurani. 

Warga yang cerdas bersikap kritis terhadap kebijakan Pemerintah, namun juga berpartisipasi untuk mensejahterakan masyarakat secara adil dan merata. BLSM merupakan hak masyarakat, bukan trik beli langsung suara masyarakat, dan karenanya jangan dipolitisasi elite manapun.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar