|
MEDIA
INDONESIA, 24 Juni 2013
MARI bertanya kepada orang bijak
dan coba mencari tahu apa kira-kira jawabannya jika kita mengajukan
pertanyaan-pertanyaan ini. Pertama, faktor apakah yang paling dominan dalam
memproduksi rasa dan nilai superioritas seseorang secara intelektual?
Jawabannya adalah sekolah. Jika sekolah dipercayai sebagai tempat untuk menempa
seseorang dalam mengembangkan kapasitas intelektual, dengan ribuan teks dan
buku yang diajarkan dan dibaca secara reguler dan inspiratif melalui
serangkaian proses belajar mengajar yang baik, tak mengherankan apabila sampai
saat ini masih banyak orang yang menaruh harapan terhadap eksistensi sekolah.
Meskipun sekolah kerap dikritik sebagai tempat atau
karantina yang mungkin saja membelenggu kebebasan manusia dalam berekspresi (deschooling society), hingga saat ini
hanya lembaga itulah (sekolah) yang di luar keluarga (family) masih memiliki
kekuatan melakukan perubahan, baik terhadap perorangan maupun kelompok.
Hasil dari pendidikan di sekolah juga yang membuat orang
memiliki sistem dan skema nilai (value)
seseorang secara material berdasarkan tingkat pendidikannya. Siswa terus
dinilai berdasarkan grades/ kelasnya, guru dinilai berdasarkan lama dan
pengalaman bekerjanya, kurikulum dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan pembiayaan orangtua/komunitas tertentu, dan lain sebagainya.
Pendek kata, semua pendekatan yang berkaitan dengan sekolah
selalu memiliki nilai material lantaran semakin lebar letak stratifikasi sosial
terjadi, semakin besar pula tingkat perbedaan kualitas satu sekolah dengan lainnya.
Di zaman yang serbamaterial ini, tujuan sekolah gampang dibentuk berdasarkan
teori kapitalisme sederhana: supply and
demand. Semakin masyarakat menginginkan sebuah sekolah berkualitas,
kebutuhan pembiayaan sekolah pun meningkat.
Selain itu, menurut Prof Dr Komaruddin Hidayat sistem
pendidikan kita terlihat gamang dengan lamban dalam menghadapi dan
mengantisipasi realitas global. Beliau menyebut setidaknya ada 4 (empat) tantangan
global yang belum sepenuhnya menjadi policy dari otoritas pendidikan kita.
Pertama adalah belum merata dan rendahnya penguasaan IT di
sekolah-sekolah kita, padahal arus informasi yang dibenamkan TV makin tak bisa
dikendalikan. Kedua adalah berkembangnya isu internasional standar yang menjadi
ciri dominan pendidikan global saat ini. Di kota-kota besar di Indonesia
bertumbuhan sekolah dengan karakteristik dan menamakan dirinya sebagai sekolah
internasional. Itu yang menyebabkan otoritas pendidikan kita juga seperti latah
ingin mengembangkan program serupa, tapi minim assessment dan terkesan hanya
upaya pemborosan dana.
Ketiga, menyangkut kondisi Indonesia yang secara geografi amat
luas sehingga disparitas di antara satu wilayah dan wilayah lainnya juga amat
luas. Hal ini bukan saja menyangkut isu disparitas mutu pendidikan, melainkan
juga kemampuan pendanaan wilayah yang juga berbeda. Tantangan ketiga ini bahkan
diperluas dengan penerapan sistem ujian nasional yang tidak jarang menimbulkan
masalah disparitas yang baru antardaerah, antarsiswa, bahkan antarguru.
Adapun yang keempat, secara regional institusi pendidikan
tinggi kita juga lemah dengan salah satu indikator terjelasnya adalah
ketidakmampuan fakultas pendidikan dalam menghasilkan guru yang bermutu. Belum
lagi dengan sistem rekrutmen tenaga pendidikan yang buruk sehingga tak mampu
membenahi manajemen sekolah secara baik. Akibatnya, banyak sekolah tak mampu
dibenahi karena kemampuan leadership guru dalam menggalang dukungan masyarakat
sangat lemah. Karena itu, pendidikan kita kehilangan banyak sekali aset budaya
pendidikan yang terabaikan dan membuat ketergantungan masyarakat semakin tinggi
terhadap pemerintah.
Dalam bahasa Prof Dr Komaruddin Hidayat, relasi antara state-market-society dalam dunia
pendidikan kita sama sekali tidak berjalan. Negara terlalu dominan mengatur
seluruh aspek kebutuhan pendidikan. Kekuasaan birokrasi menjadi faktor penyebab
menurunnya semangat partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan
di sekolah.
Selain itu, peran swasta sebagai representasi dunia usaha
dan partner masyarakat dalam mengelola pendidikan masih jarang terlihat. Gebyar
corporate social responsibility (CSR)
lebih banyak dilakukan dalam rangka menghindari beban pajak perusahaan
ketimbang usaha murni dan ikhlas membantu pengembangan dunia pendidikan. Jangan
ditanya bagaimana peran partai politik, yang hanya bisa menjual skema
pembiayaan dengan jargon sekolah gratis tanpa mengetahui persoalan proses
pendidikan itu sendiri. ‘Pseudo
government it is happen here’, kata Prof Dr Komaruddin.
Jalan keluarnya hanya satu, yaitu visi pendidikan kita
harus terus menerus diperbarui, bukan oleh pemerintah, melainkan oleh
masyarakat itu sendiri. Sebagai pengguna (user),
masyarakat perlu mengambil alih peran pemerintah yang terlalu besar dalam
urusan pendidikan. Etos kerja masyarakat harus senantiasa ditumbuhkan dan
pemerintah harus bertanggung jawab membangun kembali kepercayaan masyarakat
sebagai pemilik sekolah/ madrasah.
Bentuk pemberdayaan terhadap masyarakat paling tidak
mencakup program pemberdayaan orangtua (parent
empowerment) dan kemitraan masyarakat dan sekolah (partnership/communal parents and teachers collaborate equitably). Dalam
banyak penelitian tentang peran serta masyarakat dalam pendidikan, bentuk kedua
berupa kemitraan sekolah dan masyarakat yang sederajat (equal partnership)
merupakan strategi yang paling efektif dan memberi pengaruh besar terhadap
hasil belajar siswa (Bauch and Goldring,
1998).
Dari program pemberdayaan ini akan muncul kesimpulan,
apakah misalnya sebuah sekolah harus dikelola berdasarkan prinsip-prinsip
pembiayaan yang berorientasi pasar atau dibangun berdasarkan kemampuan
masyarakat itu sendiri. Di tengah desakan liberalisasi ekonomi yang merambah
hingga ke jantung sekolah, pola partnership sekolah dan masyarakat adalah
pilihan strategis dan fundamental untuk menentukan posisi masyarakat dan
sekolah secara bersamaan.
Posisi tawar masyarakat terhadap kualitas sekolah, dengan
demikian, harus terus digiring ke arah pertumbuhan yang sesuai dengan tingkat
kemampuan pembiayaan masyarakat itu sendiri sehingga hal ini diharapkan akan
menjadi pertanda bangkitnya kepedulian masyarakat terhadap sekolah. Banyak
kasus ditemukan bahwa semakin demokratis masyarakat dalam merencanakan
kebijakan sekolah, kualitas sebuah proses pendidikan akan berlangsung semakin
baik (Resnick, 2000). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar