|
KOMPAS,
28 Juni 2013
Isu lingkungan sudah menjadi isu
utama publik. Semua orang sudah menggemari kata ”hijau” sebagai sebuah ”label”
gaya hidup.
Sebagai bagian penting dalam
demokrasi partisipatori, kepedulian publik terhadap isu lingkungan tentu
menjadi angin segar. Sebab, pada akhirnya salurannya bermuara pada kehendak
publik untuk mendorong arah kebijakan lingkungan yang lebih baik.
Sayangnya, kepedulian publik tidak
berjalan lurus dengan kebijakan yang pro publik dan lingkungan. Analisis
kondisi lingkungan triwulan I-2013 yang dilakukan Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia (Walhi) menunjukkan, angka protes rakyat dalam tiga bulan terkait isu
lingkungan sebanyak 123 peristiwa dengan isu hutan sebagai isu terbanyak.
Namun, respons negara hampir tidak ada.
Distorsi
pemaknaan
Dalam pertemuan para pakar
lingkungan di Walhi, ada kebahagiaan dan sekaligus kegelisahan dengan situasi
itu. Bahagia, karena kini lingkungan menjadi isu utama di semua sektor dan
lapisan masyarakat. Namun gelisah, karena yang kemudian dipahami adalah
lingkungan bergeser menjadi komoditas baru. Diskursus lingkungan bergeser ke
mekanisme pasar sehingga perubahan iklim, misalnya, disimplikasi hanya pada
pembahasan Reducing Emissions from
Deforestation and Forest Degradation (REDD) dengan mekanisme perdagangan
karbon.
Pasar mendesain lingkungan sebagai
kesempatan untuk memperluas jangkauan ekspansi dan mengakumulasi keuntungan
dengan berbagai label dan standar hijau yang ditentukan pasar, seperti green property dan green farming. Agenda hijau dikooptasi
kekuatan pasar yang mendorong masuknya mekanisme perdagangan bebas yang tidak
adil.
Bahkan, pemerintah menempelkan
ekonomi hijau pada proyek MP3EI (Rencana Induk Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia) untuk menunjukkan seolah-olah MP3EI model
pembangunan berkelanjutan. Namun, itu pun setelah menuai banyak kritik.
Tania Murray Li dalam
bukunya, The Will to Improve,
menyebutkan, di negeri penjajah dan jajahan, laba yang membesarkan modal usaha
disubsidi lewat investasi infrastruktur yang dibangun rezim penguasa dengan
uang publik. Intervensi penguasa perlu agar perekonomian kapitalis berkembang.
MP3EI menjadi relevan jika
urusannya dengan pertumbuhan dan perbesaran kuasa modal karena intervensi
adalah syarat bagi pertumbuhan. Namun, menjadi tidak relevan jika dihubungkan
dengan krisis yang dialami rakyat dan lingkungan hidup.
Dalam sebuah diskusi panel membedah
MP3EI, krisis ekologi, dan konflik agraria, muncul kata kunci bahwa pembangunan
berbasis koridor yang bertumpu pada industri ekstraktif dan berwatak eksploitatif
hanya akan mempercepat kehancuran ekologi dan meningkatkan angka konflik
agraria di Indonesia.
Lingkungan hidup belum dimaknai
sebagai hak asasi manusia, nilai-nilai kemanusiaan dipengaruhi kualitas
lingkungan hidupnya. Di sinilah esensi perjuangan atas lingkungan hidup yang
baik.
Gerakan
politik hijau
Bukan hanya distorsi pemaknaan isu
lingkungan hidup yang meresahkan, melainkan yang lebih mengkhawatirkan adalah
terjadinya pengotak-ngotakan kampanye lingkungan, selain gerakan penyelamatan
lingkungan hidup yang berbasis praksis ”gaya hidup” dipisahkan dari sebuah
kebijakan politik.
Dalam konsep ideal demokrasi
ekologi yang hendak didorong, kebijakan yang menyangkut perlindungan dan
pengelolaan lingkungan tak bisa hanya diserahkan pengurusannya kepada
segelintir elite yang sering justru menjadi aktor dari perusakan lingkungan.
Pertanyaannya kemudian, adakah yang
salah dalam pemaknaan lingkungan hidup hari ini oleh masyarakat yang tidak
terdampak langsung cemaran limbah industri seperti mereka yang hidup di lingkar
tambang atau area perkebunan besar kelapa sawit? Tentu saja tidak.
Apa yang sudah dipahami dan
dilakukan masyarakat sebagai tindakan nyata penyelamatan lingkungan tentu
bernilai signifikan untuk menyelamatkan lingkungan. Namun, kesadaran kritis
masyarakat harus terus didorong pada upaya yang bersifat lebih struktural dan
menyasar kebijakan politik.
Politik hijau hendaklah
mentransformasikan diri menjadi gerakan politik hijau yang populis di tengah
publik yang semakin skeptis terhadap praktik politik buruk hari ini. Yang
terpenting adalah bagaimana mengimplementasikan platform besar agenda politik
hijau menjadi aksi nyata penyelamatan lingkungan yang pada akhirnya mampu
mendorong kebijakan yang berpihak kepada lingkungan hidup.
Semoga Pemilu 2014 menjadi momentum
publik untuk menakar sejauh mana lingkungan hidup menjadi platform utama para
kontestan pemilu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar