|
KORAN
SINDO, 26 Juni 2013
Setiap 26 Juni, masyarakat internasional memperingati Hari
Internasional Mendukung Korban-korban Penyiksaan (International Day in Support of Victims of Torture).
Pada 26 Juni 1987, 26 tahun silam, merupakan momentum bersejarah, yakni awal gerakan internasional dalam menentang penyiksaan. Salah satu instrumen HAM internasional yang pokok, yakni Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan, Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia) yang lazim dikenal CAT.
Konvensi yang terdiri atas tiga bab dan 33 pasal ini diadopsi melalui Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 39/46 tanggal 10 Desember 1984 dan dinyatakan berlaku sejak 26 Juni 1987. Dalam perkembangannya, CAT telah diterima dan disahkan 78 negara dan 153 negara pihak, termasuk Indonesia. Pada 23 Oktober 1985, Indonesia menandatangani CAT, dan menyatakan berlaku melalui ratifikasi berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1998 pada 28 September 1998. Kini, lebih dari satu dekade Indonesia telah menyatakan berlakunya CAT sekaligus tunduk pada standar dan mekanisme hukum HAM internasional.
Tahun ini, Aliansi Masyarakat Sipil Anti-Penyiksaan (SIKAP) di Sumatera Utara menggelar kegiatan menyambut Hari Internasional Mendukung Korban-korban Penyiksaan pada 26 Juni. SIKAP yang terdiri atas 30 puluhan lembaga dari masyarakat sipil Sumut termasuk Pusham Unimed, YPRP, LBH Medan, Ikohi, KontraS, PKPA, dan Bitra Indonesia terus mengampanyekan pemahaman dan kesadaran universal di Sumut, khususnya bagi penyelenggara pemerintahan daerah untuk mewujudkan perlindungan HAM bebas dari penyiksaan (right to freedom from torture).
Selain menggelar pentas budaya sehari penuh berisikan orasi, musikalisasi puisi, tarian, dan lukisan refleksi, SIKAP juga mengadakan diskusi publik menghadirkan LPSK, Komnas HAM, Kapoldasu, Pangdam I/BB, pemerintahan daerah, dan testimoni para korban penyiksaan.
Substansi Penyiksaan
Perihal HAM bebas dari penyiksaan ditegaskan pada Pasal 5 DUHAM 1948 yang berbunyi, tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, memperoleh perlakuan atau dihukum secara tidak manusiawi atau direndahkan martabatnya. Hal ini kembali diperkuat melalui ketentuan Pasal 7 ICCPR (diratifikasi melalui UU Nomor 11 Tahun 2005) yang berbunyi, tidak seorang pun yang dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Pada khususnya, tidak seorang pun dapat dijadikan obyek eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuanyang diberikansecara bebas.
Kehadiran CAT semakin meneguhkan pendirian akan pentingnya perlindungan HAM bebas dari penyiksaan yang dikuatkan berbagai klausula yang mewajibkan negara pihak untuk tunduk pada mekanisme HAM universal. Ketentuan Pasal 17 CAT mengamanatkan lahirnya sebuah komite bernama Committee Against Torture,yang di antaranya berperan memberikan rekomendasi kepada negara pihak untuk mengambil langkah-langkah tertentu untuk menyelesaikan pelanggaran terhadap CAT.
Untuk memperkuat basis dukungan dan mandat serta kinerja komite, maka melalui Resolusi Majelis Umum PBB No. A/RES/57/199 yang diadopsi pada 18 Desember 2002 dan efektif berlaku pada 22 Juni 2006, lahirlah Optional Protocol to the Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman Degrading Treatment or Punishment (OPCAT). Yang terakhir juga telah dinyatakan akan diratifikasi, sebagaimana ditegaskan dalam Perpres No. 23 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional HAM Indonesia 2011–2014.
Protokol tambahan yang terdiri atas tujuh bab dan 37 pasal ini memberikan pengaruh signifikan dalam memperkuat kedudukan komite, khususnya memastikan negara pihak untuk menjalankan kewajibannya berdasarkan CAT. Kecuali menekankan mandat yang penuh bagi subkomite pencegahan, juga penekanan pada mekanisme pencegahan nasional. Negara sebagai the duty bearer (pemangku kewajiban) memiliki kewajiban universal melindungi setiap orang dari berbagai tindakan penyiksaan, perlakuan kejam dan tidak manusiawi.
Sangat ditekankan bahwa negara mesti melakukan langkahlangkah sistematis dalam melindungi HAM bebas dari penyiksaan, sebagaimana ditegaskan Pasal 2 ayat 1 CAT berbunyi, setiap negara pihak harus mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, hukum, dan langkah-langkah efektif untuk mencegah tindakan penyiksaan di wilayah manapun dalam batas kekuasaannya.
Dalam konteks Indonesia, UUD 1945 memberikan perhatian penting, namun sayangnya ketentuan normatif HAM bebas dari penyiksaan digabungkan dengan hak mendapatkan suaka politik (right to seek asylum). Padahal, hal tersebut merupakan dua sisi yang berbeda. Ketentuan Pasal 28 ayat (2) menyatakan, setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.
Pada ketentuan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, uraian tentang HAM bebas dari penyiksaan jauh lebih tegas. Setidaknya terdapat beberapa ketentuan, yakni Pasal 1 angka 4; Pasal 33 ayat 1; Pasal 66 ayat 1; dan Penjelasan Pasal 104 ayat 1. Bahkan pada ketentuan terakhir ini, penyiksaan masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat. Tentang hal ini memang membutuhkan penjelasan teoretis, tentang perbedaan kategori penyiksaan dalam CAT dan ICC atau Statuta Roma.
Lalu, apakah yang dimaksud dengan penyiksaan? CAT mendefinisikan penyiksaan (torture) sebagai setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja. Sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang luar biasa, baik jasmani maupun rohani ... (any act by which severe pain or suffering whether physical or mental). Kelihatannya, definisi ini juga dipakai dalam ketentuan Pasal 1 angka 4 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Kalau berdasarkan pengertian ini, penyiksaan hanya terjadi pada lingkup perbuatan dengan sengaja (commission), lalu bagaimana jika negara abai terhadap kewajibannya dengan melakukan tindakan pembiaran (ommission)?
Hak Rehabilitasi
Adapun tema yang diangkat tahun ini adalah “Hak Rehabilitasi Bagi Korban Penyiksaan (Right To Rehabilitation For Those Who Have Been Tortured)”. Para korban penyiksaan kerap kali mengalami penderitaan, baik fisik maupun mental, tanpa pernah diperhatikan langkah dan upaya cerdas yang menyeluruh dalam memulihkannya. Para korban penyiksaan, bahkan dalam tataran yang lebih luas di level masyarakat kita,, sering pula dipandang secara permisif sebagai hal biasa dari akibat logis tindakan perlawanan mereka.
Perjuangan masyarakat adat dalam menuntut hak-hak agraria mereka misalnya, sering mengalami penderitaan melalui beragam penyiksaan oleh oknum aparatur keamanan, bahkan melalui praktik keamanan internal korporasi mengatasnamakan keamanan dan menegakkan hukum. Selain minusnya kreasi ruang dialogis yang diambil dan diterapkan, korupsi di lapangan bisnis menjadi pemicu penting munculnya tindakan- tindakan penyiksaan.
Tidak jarang, masyarakat adat atau siapa saja dalam kategori pembela HAM seperti kelompok tani, nelayan, guru, jurnalis, penyandang disabilitas, advokat, dan sebagainya, diposisikan sebagai kelompok lemah yang tidak berdaya serta harus pasrah dengan kenyataan penyiksaan yang dilakukan. Melalui tema ini, dunia yang bebas dari penyiksaan (world without torture) sebagai idaman bersama mesti mampu diselaraskan dengan langkahlangkah pemulihan yang sistematis dan holistik.
Hak atas rehabilitas sejatinya menjadi tanggung jawab dan kewajiban negara karena sebagai duty bearer, negara berkewajiban menghormati (obligation to respect), melindungi (obligation to protect) dan memenuhi (obligation to fulfill) HAM, termasuk di dalamnya HAM bebas dari penyiksaan. Akhirnya, di tengah semarak demokratisasi dan upaya pengukuhan demokrasi konstitusional Indonesia, penyiksaan dan aneka motifnya mesti dihentikan secepatnya.
Negara dan agen-agen negara termasuk pemerintahan daerah, TNI, dan Polri adalah pihak-pihak yang paling berkewajiban dan bertanggung jawab memastikan bahwa perilaku penyiksaan harus sedapat mungkin dihindari karena selain berpotensi terjadinya pelanggaran HAM, penyemaian impunitas terhadap aktor-aktor penyiksaan yang berlindung di balik “tongkrongan” kekuasaan akan semakin menyempurnakan jauhnya manusia dari nilai-nilai kemartabatannya.
Semoga kampanye SIKAP tahun ini sebagai bagian dari kampanye masyarakat internasional, benar-benar memahamkan dan menyadarkan kita bahwa hidup dalam kemartabatan adalah perjuangan dan capaian bersama karena identik dengan perjuangan menegakkan kemartabatan manusia. ●
Pada 26 Juni 1987, 26 tahun silam, merupakan momentum bersejarah, yakni awal gerakan internasional dalam menentang penyiksaan. Salah satu instrumen HAM internasional yang pokok, yakni Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan, Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia) yang lazim dikenal CAT.
Konvensi yang terdiri atas tiga bab dan 33 pasal ini diadopsi melalui Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 39/46 tanggal 10 Desember 1984 dan dinyatakan berlaku sejak 26 Juni 1987. Dalam perkembangannya, CAT telah diterima dan disahkan 78 negara dan 153 negara pihak, termasuk Indonesia. Pada 23 Oktober 1985, Indonesia menandatangani CAT, dan menyatakan berlaku melalui ratifikasi berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1998 pada 28 September 1998. Kini, lebih dari satu dekade Indonesia telah menyatakan berlakunya CAT sekaligus tunduk pada standar dan mekanisme hukum HAM internasional.
Tahun ini, Aliansi Masyarakat Sipil Anti-Penyiksaan (SIKAP) di Sumatera Utara menggelar kegiatan menyambut Hari Internasional Mendukung Korban-korban Penyiksaan pada 26 Juni. SIKAP yang terdiri atas 30 puluhan lembaga dari masyarakat sipil Sumut termasuk Pusham Unimed, YPRP, LBH Medan, Ikohi, KontraS, PKPA, dan Bitra Indonesia terus mengampanyekan pemahaman dan kesadaran universal di Sumut, khususnya bagi penyelenggara pemerintahan daerah untuk mewujudkan perlindungan HAM bebas dari penyiksaan (right to freedom from torture).
Selain menggelar pentas budaya sehari penuh berisikan orasi, musikalisasi puisi, tarian, dan lukisan refleksi, SIKAP juga mengadakan diskusi publik menghadirkan LPSK, Komnas HAM, Kapoldasu, Pangdam I/BB, pemerintahan daerah, dan testimoni para korban penyiksaan.
Substansi Penyiksaan
Perihal HAM bebas dari penyiksaan ditegaskan pada Pasal 5 DUHAM 1948 yang berbunyi, tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, memperoleh perlakuan atau dihukum secara tidak manusiawi atau direndahkan martabatnya. Hal ini kembali diperkuat melalui ketentuan Pasal 7 ICCPR (diratifikasi melalui UU Nomor 11 Tahun 2005) yang berbunyi, tidak seorang pun yang dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Pada khususnya, tidak seorang pun dapat dijadikan obyek eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuanyang diberikansecara bebas.
Kehadiran CAT semakin meneguhkan pendirian akan pentingnya perlindungan HAM bebas dari penyiksaan yang dikuatkan berbagai klausula yang mewajibkan negara pihak untuk tunduk pada mekanisme HAM universal. Ketentuan Pasal 17 CAT mengamanatkan lahirnya sebuah komite bernama Committee Against Torture,yang di antaranya berperan memberikan rekomendasi kepada negara pihak untuk mengambil langkah-langkah tertentu untuk menyelesaikan pelanggaran terhadap CAT.
Untuk memperkuat basis dukungan dan mandat serta kinerja komite, maka melalui Resolusi Majelis Umum PBB No. A/RES/57/199 yang diadopsi pada 18 Desember 2002 dan efektif berlaku pada 22 Juni 2006, lahirlah Optional Protocol to the Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman Degrading Treatment or Punishment (OPCAT). Yang terakhir juga telah dinyatakan akan diratifikasi, sebagaimana ditegaskan dalam Perpres No. 23 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional HAM Indonesia 2011–2014.
Protokol tambahan yang terdiri atas tujuh bab dan 37 pasal ini memberikan pengaruh signifikan dalam memperkuat kedudukan komite, khususnya memastikan negara pihak untuk menjalankan kewajibannya berdasarkan CAT. Kecuali menekankan mandat yang penuh bagi subkomite pencegahan, juga penekanan pada mekanisme pencegahan nasional. Negara sebagai the duty bearer (pemangku kewajiban) memiliki kewajiban universal melindungi setiap orang dari berbagai tindakan penyiksaan, perlakuan kejam dan tidak manusiawi.
Sangat ditekankan bahwa negara mesti melakukan langkahlangkah sistematis dalam melindungi HAM bebas dari penyiksaan, sebagaimana ditegaskan Pasal 2 ayat 1 CAT berbunyi, setiap negara pihak harus mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, hukum, dan langkah-langkah efektif untuk mencegah tindakan penyiksaan di wilayah manapun dalam batas kekuasaannya.
Dalam konteks Indonesia, UUD 1945 memberikan perhatian penting, namun sayangnya ketentuan normatif HAM bebas dari penyiksaan digabungkan dengan hak mendapatkan suaka politik (right to seek asylum). Padahal, hal tersebut merupakan dua sisi yang berbeda. Ketentuan Pasal 28 ayat (2) menyatakan, setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.
Pada ketentuan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, uraian tentang HAM bebas dari penyiksaan jauh lebih tegas. Setidaknya terdapat beberapa ketentuan, yakni Pasal 1 angka 4; Pasal 33 ayat 1; Pasal 66 ayat 1; dan Penjelasan Pasal 104 ayat 1. Bahkan pada ketentuan terakhir ini, penyiksaan masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat. Tentang hal ini memang membutuhkan penjelasan teoretis, tentang perbedaan kategori penyiksaan dalam CAT dan ICC atau Statuta Roma.
Lalu, apakah yang dimaksud dengan penyiksaan? CAT mendefinisikan penyiksaan (torture) sebagai setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja. Sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang luar biasa, baik jasmani maupun rohani ... (any act by which severe pain or suffering whether physical or mental). Kelihatannya, definisi ini juga dipakai dalam ketentuan Pasal 1 angka 4 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Kalau berdasarkan pengertian ini, penyiksaan hanya terjadi pada lingkup perbuatan dengan sengaja (commission), lalu bagaimana jika negara abai terhadap kewajibannya dengan melakukan tindakan pembiaran (ommission)?
Hak Rehabilitasi
Adapun tema yang diangkat tahun ini adalah “Hak Rehabilitasi Bagi Korban Penyiksaan (Right To Rehabilitation For Those Who Have Been Tortured)”. Para korban penyiksaan kerap kali mengalami penderitaan, baik fisik maupun mental, tanpa pernah diperhatikan langkah dan upaya cerdas yang menyeluruh dalam memulihkannya. Para korban penyiksaan, bahkan dalam tataran yang lebih luas di level masyarakat kita,, sering pula dipandang secara permisif sebagai hal biasa dari akibat logis tindakan perlawanan mereka.
Perjuangan masyarakat adat dalam menuntut hak-hak agraria mereka misalnya, sering mengalami penderitaan melalui beragam penyiksaan oleh oknum aparatur keamanan, bahkan melalui praktik keamanan internal korporasi mengatasnamakan keamanan dan menegakkan hukum. Selain minusnya kreasi ruang dialogis yang diambil dan diterapkan, korupsi di lapangan bisnis menjadi pemicu penting munculnya tindakan- tindakan penyiksaan.
Tidak jarang, masyarakat adat atau siapa saja dalam kategori pembela HAM seperti kelompok tani, nelayan, guru, jurnalis, penyandang disabilitas, advokat, dan sebagainya, diposisikan sebagai kelompok lemah yang tidak berdaya serta harus pasrah dengan kenyataan penyiksaan yang dilakukan. Melalui tema ini, dunia yang bebas dari penyiksaan (world without torture) sebagai idaman bersama mesti mampu diselaraskan dengan langkahlangkah pemulihan yang sistematis dan holistik.
Hak atas rehabilitas sejatinya menjadi tanggung jawab dan kewajiban negara karena sebagai duty bearer, negara berkewajiban menghormati (obligation to respect), melindungi (obligation to protect) dan memenuhi (obligation to fulfill) HAM, termasuk di dalamnya HAM bebas dari penyiksaan. Akhirnya, di tengah semarak demokratisasi dan upaya pengukuhan demokrasi konstitusional Indonesia, penyiksaan dan aneka motifnya mesti dihentikan secepatnya.
Negara dan agen-agen negara termasuk pemerintahan daerah, TNI, dan Polri adalah pihak-pihak yang paling berkewajiban dan bertanggung jawab memastikan bahwa perilaku penyiksaan harus sedapat mungkin dihindari karena selain berpotensi terjadinya pelanggaran HAM, penyemaian impunitas terhadap aktor-aktor penyiksaan yang berlindung di balik “tongkrongan” kekuasaan akan semakin menyempurnakan jauhnya manusia dari nilai-nilai kemartabatannya.
Semoga kampanye SIKAP tahun ini sebagai bagian dari kampanye masyarakat internasional, benar-benar memahamkan dan menyadarkan kita bahwa hidup dalam kemartabatan adalah perjuangan dan capaian bersama karena identik dengan perjuangan menegakkan kemartabatan manusia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar